free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Ekonomi

Deflasi 5 Bulan Berturut-turut, tapi Orang Masih Berburu iPhone 16 dan Labubu?

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

04 - Oct - 2024, 16:54

Placeholder
Antrean pembelian Labubu beberapa waktu lalu. (Foto: Instagram)

JATIMTIMES - Berita mengenai deflasi yang melanda Indonesia selama lima bulan berturut-turut menuai perhatian. Fenomena ini tidak hanya menjadi topik utama di ranah ekonomi, tetapi juga mengundang banyak pertanyaan dari masyarakat. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah, “Kok katanya krisis, tapi orang-orang masih ramai beli iPhone 16 dan Labubu?” 

Untuk diketahui, dari Mei hingga September 2024, Indonesia mengalami deflasi. Artinya harga-harga barang dan jasa justru turun. Namun, penurunan harga ini bukan pertanda baik bagi kesehatan ekonomi. 

Baca Juga : TPK Hotel di Jatim Capai 42,39 Persen, Surabaya Tertinggi

Menurut Andriy Hadinata, seorang podcaster di Ecommurz, deflasi biasanya muncul karena daya beli masyarakat yang melemah. Sehingga pedagang menurunkan harga, supaya barangnya laku. "Tapi, beneran laku nggak? Ya... belum tentu juga," ujar Andriy, dikutip dari utas yang dibagikan di X @giovani_andriy, Jumat (4/10). 

Penurunan harga memang tampak menyenangkan, tetapi ini adalah gejala dari masalah yang lebih rumit dalam perekonomian. "Di mana deflasi menunjukkan bahwa konsumen lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka, dan bahkan dalam kondisi harga yang lebih murah, banyak orang memilih untuk menabung atau membayar utang daripada berbelanja," katanya. 

Apa Itu Deflasi dan Bahayanya?
Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi. Jika inflasi menyebabkan harga-harga naik, deflasi justru menurunkan harga. “Kelihatannya sih enak, karena harga-harga jadi lebih murah. Tapi nyatanya, deflasi itu bisa jadi sinyal kalau orang-orang nggak mampu beli barang seperti biasanya,” ungkap Andriy. 

Contoh fenomena deflasi adalah pedagang baju terpaksa menurunkan harga karena sepi pembeli. Tetapi jika daya beli masyarakat masih lemah, barang tersebut tetap tidak akan laku. 

Selama lima bulan deflasi, menurut Andriy, masalah ekonomi semakin terlihat jelas. Di mana orang lebih milih nabung atau bayar utang daripada belanja. Akibatnya, ekonomi nggak bergerak, dan banyak bisnis yang tutup atau menurunkan produksi. "Harga barang boleh turun, tapi yang punya duit buat beli malah makin sedikit," ujarnya. 

Ini menunjukkan bahwa deflasi yang berkepanjangan justru menjadi sinyal bahwa roda perekonomian tidak berputar seperti yang seharusnya. 

Salah satu hal yang membingungkan adalah di tengah kondisi deflasi, antrean panjang untuk membeli barang mewah seperti iPhone 16 dan mainan edisi terbatas seperti Labubu masih sering terlihat. Fenomena ini, menurut Andriy, memperlihatkan paradoks di tengah krisis ekonomi yang melanda kelas menengah. 

“Nah, di sinilah letak paradoksnya. Di tengah krisis ini, kita masih sering lihat berita soal orang antre beli iPhone 16 atau buru-buru beli mainan limited edition kayak Labubu. Ini kan aneh banget? Padahal, banyak data yang nunjukin kalau middle class kita lagi terpuruk!” ungkapnya. 

Lebih lanjut Andriy mengatakan bahwa mereka yang antre untuk membeli barang-barang mewah tersebut hanyalah sebagian kecil dari masyarakat yang masih memiliki penghasilan tinggi dan tidak terlalu terpengaruh oleh krisis. Sebagian besar kelas menengah lainnya justru berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membayar cicilan rumah, dan biaya pendidikan anak. 

“Kebanyakan kelas menengah yang lain justru sedang struggling buat bayar cicilan rumah dan biaya sekolah anak. Kesenjangan antara yang kaya dan yang susah ini makin nyata di tengah deflasi,” tambah Andriy. 

Selain itu, di Indonesia, FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi salah satu faktor yang memicu konsumsi barang mewah, meskipun banyak yang sebenarnya tidak mampu membelinya.

"Ketika ada produk baru atau diskon, banyak orang merasa harus segera membeli, meskipun harus berutang. Fenomena ini menciptakan ilusi bahwa daya beli masyarakat masih kuat, padahal kenyataannya tidak begitu," katanya. 

Tak hanya itu, pinjaman online (pinjol) dan layanan kredit seperti paylater, kata Andriy juga menjadi solusi instan bagi banyak orang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya di luar jangkauan mereka. Namun, hal ini sering kali menyebabkan mereka terjerat dalam utang yang semakin membengkak. “Jadi, jangan heran kalau banyak yang kelihatannya kaya & sukses tapi aslinya terjebak utang,” jelas Andriy. 

Baca Juga : Memasuki Bulan Rabiul Akhir, Berikut Ini Jadwal Puasa Sunahnya

Deflasi ini juga mengungkap realitas pahit bahwa kelas menengah Indonesia semakin terjepit. Kelas yang sebelumnya kuat menopang perekonomian kini mulai goyah. Jika sebelumnya mereka bisa menikmati belanja mingguan, makan di luar, dan berlibur secara rutin, kini mereka harus berhati-hati dalam mengeluarkan uang. 

Sebagaimana dikutip Andriy dari CNBC Indonesia, sekitar 9,48 juta warga kelas menengah di Indonesia telah mengalami penurunan status ekonomi sejak pandemi. "Dengan pendapatan yang stagnan dan biaya hidup yang terus meningkat, banyak orang kini terjebak dalam siklus penurunan standar hidup. Mereka yang sebelumnya mampu menabung dan berinvestasi, kini harus berfokus pada pembayaran utang dan menahan pengeluaran," tandas Andriy. 

Untuk mencegah kelas menengah terpuruk lebih dalam, Andriy menilai perlu langkah-langkah strategis yang harus segera diambil. Solusi ini tidak dapat terjadi secara instan, tetapi membutuhkan kebijakan yang tepat, edukasi finansial yang menyeluruh, dan perubahan perilaku konsumtif.

"Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan sektor riil dan mengurangi ketergantungan pada konsumsi barang mewah. Reformasi ekonomi yang berfokus pada pengembangan industri manufaktur dan teknologi dapat menciptakan lapangan kerja yang stabil dengan pendapatan yang layak," jelas Andriy. 

Selain itu, kebijakan pajak progresif perlu diterapkan lebih tegas. Di mana orang kaya membayar pajak lebih tinggi, sementara insentif diberikan kepada bisnis yang memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian. 

"Edukasi mengenai literasi keuangan juga sangat penting, terutama untuk mengajarkan kelas menengah tentang cara mengelola keuangan secara bijak, menghindari utang konsumtif, dan fokus pada investasi jangka panjang," tandas Andriy. 

Dari berbagai argumen di atas, Andriy menyimpulkan Indonesia mungkin belum mengalami krisis yang terlihat seperti kebangkrutan total, tetapi tanda-tandanya sudah ada. Deflasi berkepanjangan, penurunan daya beli, dan melemahnya kelas menengah adalah masalah yang perlu segera ditangani. 

"Jika langkah-langkah yang tepat tidak diambil, dampak krisis ini akan semakin meluas, dan kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi bisa benar-benar runtuh," ujarnya. 

"Krisis ini bukan hanya tentang antrean panjang untuk membeli iPhone 16 atau mainan mewah seperti Labubu. Di balik itu semua, ada masalah besar yang menyangkut masa depan ekonomi Indonesia yang perlu diselamatkan, sebelum semuanya terlambat," pungkas Andriy.


Topik

Ekonomi Deflasi ekonomi labubu iPhone 16



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Binti Nikmatur

Editor

Sri Kurnia Mahiruni