JATIMTIMES - Siang itu sinar matahari cukup cerah di lereng kaki Gunung Semeru (3.676 mdpl) yang ada di Desa Sumber Mujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Meski demikian, hawa di sana cukup sejuk dengan ditambah rindangnya pepohonan. Cuaca di ponsel memperkirakan kedingingan di sana saat itu mencapai 25 derajat celcius.
Baca Juga : Luluk-Lukman Kampanyekan Perlindungan Anak dan Perempuan di CFD Bungkul
Sehingga di sana bak berada di ruangan AC tanpa sekat tembok. "Memang dingin kalau di sini. Apalagi malam," terang Suci Ayu Widari, salah satu warga di sana yang dengan ramah menyapa kami, rombongan wartawan Pokja Grahadi dari Surabaya, Selasa (17/9).
Pada akhir tahun 2022 silam diketahui gunung tertinggi di Pulau Jawa ini mengalami erupsi. Sehingga banyak warga harus diungsikan. Erupsi Gunung Semeru ini terutama dirasakan oleh warga yang ada di Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Pronojiwo.
Ribuan warga akhirnya terpaksa harus meninggalkan rumahnya lantaran rusak. Karena selain erupsi awan panas, saat itu Gunung Semeru juga memuntahkan lahar dingin sehingga sempat terjadi banjir bandang.
Beruntung kini ribuan warga tersebut tidak perlu khawatir akan tempat tinggal. Sebab, oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR yang bekerja sama dengan Pemprov Jatim serta Pemkab Lumajang, sudah dibuatkan hunian tetap (huntap) sebanyak 1.951 unit yang terletak di Desa Sumber Mujur.
Ayu menceritakan meski sederhana rumah yang dia tempati sangat layak. Baik dari sisi ketebalan tembok maupun kaca. "Insya Allah kuat. Kacanya saja pakai kaca mobil," terangnya.
Jika mengingat peristiwa erupsi sekilas ada rasa trauma dalam batin yang dia rasakan. Namun, sebagai masyarakat asli Lumajang yang memang besar dan lahir di kaki Gunung Semeru dia coba berdamai dengan alam.
"Kadang kalau malam ya ada perasaan takut, apalagi kalau dengar letusan. Tapi sama orang-orang tua disuruh tenang. Itu gunungnya cuma kentut," terang ibu satu orang anak tersebut.
Di rumah sederhana yang dia tempati tersebut kini Ayu coba membuka usaha baru. Yakni, dengan membuka counter jual beli pulsa maupun pembayaran elektronik lainnya. "Kalau lagi rame ya Alhamdulillah hasilnya," imbuh perempuan 23 tahun tersebut.
- Barikan dan Tradisi Masyarakat Lereng Gunung Semeru
Pada hari biasa suasa di Huntap memang terlihat sepi. Ramainya di sana pada hari tertentu saja saat warga kumpul beramai-ramai untuk membaca do'a bersama.
Kepala Desa Sumber Mujur, Yayuk Sri Rahayu menceritakan tradisi selamatan masyarakat lereng Gunung Semeru yang tetap dilakukan saat ini adalah Barikan. "Kalau kebudayaan tradisi dari masyarakat setiap Jum'at legi adakah barikan," tuturnya kepada JatimTIMES.
Dalam kalender atau Weton Jawa Jum'at legi biasanya terjadi satu bulan sekali. Karena Jum'at lainnya adalah Pon, Wage, Pahing dan Kliwon.
Tradisi tersebut adalah saat warga kumpul bersama untuk memanjatkan doa bersama. Dan yang diharuskan ada pada suguhan menu makannya adalah bubur gula merah dan bubur putih salah satunya.
Dan doa bersama ini jelas Yayuk biasa dilakukan di tempat atau lapangan terbuka. "Kalau di sini biasa kami lakukan di perempatan jalan gitu," bebernya.
Cara tersebut menurut dia adalah salah satu cara masyarakat Gunung Semeru berdamai dengan alam. "Harapannya ya bisa selamat bersama," tegas dia.
Meskipun tradisi masyarakat setempat, doa yang dilakukan pada saat itu dengan cara Islam. "Karena mayoritas masyarakat di sini Muslim," imbuhnya.
Yayuk yang baru periode pertama menjabat sebagai kepala desa ini masih ingat betul tentang peristiwa erupsi Gunung Semeru pada Tahun 2022 silam. "Saya baru menjabat dua hari ketika Gunung Semeru erupsi melanda di Pronojiwo dan Candipuro," kata perempuan berjilbab ini.
Huntap yang saat ini ditempati jelas Yayuk dahulunya adalah kebun cengkeh seluas 82 hektare milik Perhutani. Yang kemudian digunakan untuk pemukiman relokasi sebanyak 1.951 rumah warga.
Fasilitas yang ada lanjut dia mulai dari fasos satu sampai lima. Seperti masjid, IPAL instalasi pengolahan air limbah), tempat pengolahan atau daur ulang sampah, kandang kambing maupun sapi secara komunal, lapangan sepak bola. Kemudian ada juga fasilitas pendidikan mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA.
Ditanya soal juru kunci Gunung Semeru, Yayuk meyakini sosok tersebut ada. Namun tidak bisa ditemui oleh sembarangan orang.
"Kalau orang-orang bilang Mbah Sedek. Saya tidak tahu orangnya kayak apa, orang-orang (di sini) meyakini," imbuhnya.
- Sedekah Desa dalam Setahun Sekali
Di tempat lain, tepatnya Desa Kloposawit, Kecamatan Candipuro, Jembatan Selorejo menjadi saksi bisu saat Gunung Semeru erupsi. Jembatan yang menghubungkan Desa Kloposawit dengan Desa Tumpeng di kecamatan yang sama Candipuro tersebut sempat putus dua kali karena diterjang banjir lahar dingin.
Tercatat jembatan di sana pertama putus pada 7 Juli 2023 dan kembali putus pada 18 April 2024. Sehingga akhirnya dibangun dengan model Bailey sepanjang 39 meter dan lebar 4,2 meter.
Kepala Desa Kloposawit, Marjoko menyampaikan saat Gunung Semeru erupsi tidak ada tanda-tanda terlihat. Yang dirasakan saat itu hanya sering hujan lebat selama satu minggu sebelum kejadian.
Baca Juga : Hari Ini KPU Tetapkan Rijanto-Beky dan Rini-Ghoni sebagai Paslon Resmi Bupati Blitar
"Sehingga terjadi banjir bandang. Begini waktu banjir pertama tidak begitu besar. Kemudian susulan kedua, ketiga besar sampai memutuskan jembatan," ujarnya.
Menurut Marjoko selain sebagai penghubung dua desa, jembatan juga sebenarnya bisa sebagai alternatif penghubung Kabupaten Lumajang ke Kabupaten Malang. Karena jalan memang merupakan status provinsi.
Sementara soal budaya, berbeda di Sumber Mujur dengan Kloposawit. Jika di Sumber Mujur biasa ada tradisi Barikan dalam satu bulan sekali, maka di Kloposawit gelaran budaya selamatan dalam setahun sekali.
Marjoko mengatakan hajatan akbar itu biasa dilakukan di bulan Suro. Sama halnya dengan budaya masyarakat Jawa pada umumnya.
"Setiap tahun kita mengadakan sedekah desa untuk kita berdoa. Agar kita selamat masyarakat," tutur kepala desa yang baru menjabat satu periode ini.
Biasanya dalam sedekah desa imbuh dia dilakukan masyarakat bersama. "Kita membawa sebagian hasil bumi kita kumpulkan di balai desa. Kemudian ramai-ramai untuk menikmati baik makanan ataupun hidangan," imbuhnya.
- Juru Kunci Gunung Semeru Mbah Sedek yang Diyakini Ada
Di tempat terpisah Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Lumajang Patria Dwi Hastiadi menyampaikan masih ada keyakinan pada masyarakat Lumajang jika berbuat baik pada alam, maka alam juga bisa berbuat baik ke manusia. Sebaliknya, jika manusia sembarangan dalam memperlakukan alam maka bisa menimbulkan celaka atau bala.
Karena itu menurut dia, pasca adanya peristiwa erupsi Gunung Semeru masyarakat di lereng Gunung Semeru lebih aware dan mudah jika diberi tahu oleh pihak pemerintah.
"Setelah mereka terkena bencana seperti ini ya gampang untuk diingatkan, diedukasi dan sebagainya. Ini triggernya," kata Patria mewakili pihak Pemkab Lumajang belum lama ini.
Sebab erupsi ini memang pernah terjadi sebelumnya selain pada tahun 2022 silam. Hanya saja itu puluhan tahun silam medio tahun 1980-an. "Setelah jalan puluhan tahun mereka lupa," tegasnya secara khusus kepada JatimTIMES.
Ditanya soal tradisi masyarakat lereng Gunung Semeru soal tolak bala, Patria menjelaskan tidak jauh beda dengan masyarakat Tengger Bromo. Karena leluhur masyarakat Gunung Semeru memang berasal dari sana.
"Hanya saja nuansanya lebih kental di Tengger Bromo. Karena di sana masih masyarakat Hindu," tuturnya.
Misalnya juga soal menyembelih kepala kerbau untuk gunung, hal tersebut tutur Patria sempat dilakukan. Namun kemudian malah menjadi pro dan kontra oleh sebagian ulama Muslim.
Demikian halnya tentang sosok Mbah Sedek. Patria membenarkan jika masyarakat lereng Gunung Semeru meyakini jika Mbah Sedek ini adalah juru kunci atau penunggu gunung.
"Terlepas dari itu. Kalau dari sisi supranatural yang jaga di sana Mbah Sedek," imbuhnya.
- Budayawan Sujiwo Tejo Nilai Sah Masyarakat Semeru Yakini Mbah Sedek Juru Kunci
Sementara itu Budayawan Sujiwo Tejo menilai wajar soal keyakinan masyarakat lereng gunung tentang adanya sosok penunggu atau juru kunci. "Itu sah saja kepercayaan seperti itu. Seperti Merapi yang Petruk tadi, seperti di Gunung Kelud dan sebagainya. Itu kan bisa saja setiap orang punya mitos," ujarnya ketika ditanya tentang sosok Mbah Sedek kepada JatimTIMES.
Demikian halnya dengan tradisi selamatan seperti Barikan maupun Sedekah Desa, Mbah Tejo sapaan akrabnya menilai hal tersebut harus dilestarikan. "Ya tidak apa selamatan. Saya termasuk yang tidak sepakat dengan ulama yang mengatakan bid'ah. Itu budaya toh mereka tetap meyakini adanya Tuhan yang Maha Kuasa," tuturnya kembali saat ditemui usai wayangan semalam suntuk di Surabaya, Minggu (22/9) pagi dini hari.
Menurut dia Juru kunci gunung dan yang lebih penting dari menjaga gunung adalah membuat cerita tentang gunung.
"Saya setuju dengan Mbah Rono ahli geologi dan ahli gunung. Bahwa gunung di Indonesia sudah kehabisan cerita baru," bebernya.
Mestinya kata Sujiwo Tejo dibikin cerita, karena masyarakat saat ini senang dengan narasi. "Tidak cukup misalkan digambarkan dengan Petruk, Dieng, Arjuna dan sebagainya harus ada narasi baru," imbuhnya.