JATIMTIMES - Suasana Dusun Pakel, Desa Kebonsari, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar terasa begitu sakral pada Selasa, 17 September 2024. Ratusan warga tumpah ruah menyaksikan prosesi Siraman Wayang Kiai Bonto, salah satu ritual budaya yang penuh makna di Kabupaten Blitar.
Aroma kembang dan gema doa mengiringi upacara tersebut, memberikan kesan khusyuk dan magis. Warga dari berbagai penjuru berdatangan, membawa harapan untuk ngalap berkah dari air bekas siraman wayang keramat itu.
Baca Juga : Tahun Ini Dishub Kota Blitar Tambah 6 Titik Lampu Penerangan Jalan Umum
Acara Siraman Wayang Kiai Bonto ini dilaksanakan bersamaan dengan prosesi Siraman Gong Kiai Pradah yang digelar di Alun-Alun Lodoyo. Tradisi ini menjadi bagian dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dirayakan dengan penuh suka cita oleh masyarakat Kabupaten Blitar. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blitar, Suhendro Winarso, menjelaskan bahwa ritual Siraman Kiai Bonto ini diselenggarakan dua kali dalam setahun, yakni setiap 1 Syawal dan Rabiul Awal, bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW.
"Masyarakat menyambut baik tradisi ini sebagai bagian dari kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur. Ritual ini tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga menambah daya tarik wisata budaya di Blitar," ujar Suhendro Winarso.
Meski Siraman Gong Kiai Pradah lebih populer, ritual Siraman Wayang Kiai Bonto tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. Acara ini selalu dipadati oleh ratusan warga yang percaya bahwa air bekas siraman wayang tersebut membawa berkah. Air tersebut dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, mendatangkan rezeki, menjaga awet muda, serta membantu para bujangan menemukan jodohnya. Selain itu, ada juga keyakinan bahwa air bekas siraman tersebut dapat menyuburkan tanaman dan mencegahnya dari serangan hama.
Prosesi Siraman yang Penuh Makna
Tradisi Siraman Wayang Kiai Bonto ini tergolong unik karena yang disiram bukanlah pusaka seperti keris atau tombak, melainkan wayang krucil. Ada tiga buah wayang krucil, dan salah satu di antaranya diberi nama Mbah Bonto. Menurut cerita lisan yang berkembang, dua wayang lainnya hanyalah sebagai pendamping Mbah Bonto di alam gaib.
Prosesi siraman dimulai dengan Kepala Desa Kebonsari membuka kotak hitam tempat wayang disimpan. Wayang krucil Kiai Bonto menjadi yang pertama disiram, diikuti oleh dua wayang lainnya. Setelah disiram, wayang-wayang ini diangkat dan diperlihatkan kepada para penonton di bawah. Bunga yang digunakan dalam prosesi siraman kemudian dicampurkan ke dalam gentong air, lalu dibagikan kepada seluruh pengunjung dengan cara diguyurkan dari atas, mirip dengan prosesi Siraman Gong Kiai Pradah di Alun-Alun Lodoyo.
Menurut Suhendro, tradisi ini telah hidup selama ratusan tahun. Pada tahun 2022, ritual Siraman Kiai Bonto diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pengakuan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Blitar, yang berharap agar tradisi ini dapat terus dilestarikan dan menjadi daya tarik wisata budaya.
Sejarah Keramat Wayang Kiai Bonto
Berdasarkan cerita lisan, kisah keramat wayang Kiai Bonto bermula dari perjalanan seorang bangsawan Mataram bernama Pangeran Prabu yang menyingkir ke Blitar. Di Blitar Selatan, putri Pangeran Prabu meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan. Putri tersebut bernama Raden Ayu Suwartiningsih. Pangeran Prabu kemudian meninggalkan sekotak wayang krucil di Dusun Pakel, yang menjadi asal-usul tradisi Siraman Kiai Bonto. Hingga kini, ziarah ke makam Raden Ayu Suwartiningsih menjadi bagian penting dari prosesi ritual ini.
Wayang Mbah Bonto saat ini disimpan di rumah Musiman, seorang mantan perangkat desa. Sepintas, wayang tersebut terlihat mirip dengan Semar, tokoh punakawan dalam dunia pewayangan. Dua wayang lainnya berbentuk seperti Buto dan Pragata. Cerita lain yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa pada waktu tertentu, Kiai Bonto menjelma menjadi macan putih. Beberapa penduduk setempat bahkan mengaku pernah melihat jelmaan macan putih tersebut.
Baca Juga : Promo Spesial Lantai Vinyl TACO di Graha Bangunan: Diskon hingga 50 Persen Selama September 2024
Wayang Kiai Bonto juga memiliki keterkaitan dengan Gong Kiai Pradah yang ada di Lodoyo. Kedua pusaka ini merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang dibawa oleh Pangeran Prabu saat menyingkir dari Kartasura. Kisah ini sejalan dengan narasi yang tertulis dalam Babad Alit, di mana Pangeran Prabu atau Penggawa Suroloyo membawa sebuah bende (gong kecil) dan wayang kesayangannya ke wilayah Jawa Timur, dan menetap di hutan yang kemudian dikenal sebagai Lodoyo.
Pelestarian Budaya dan Harapan ke Depan
Dalam kesempatan yang sama, Plt. Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemkab Blitar, Rully Wahyu Prasetyowanto, turut hadir dalam prosesi Siraman Wayang Kiai Bonto. Rully menjelaskan bahwa ritual ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sejak tahun 2022.
"Kami berharap ke depannya, Siraman Kiai Bonto bisa terus dilestarikan dan menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di Blitar," ujar Rully. Ia juga menambahkan bahwa pelestarian tradisi ini merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat.
Kemeriahan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kabupaten Blitar semakin terasa lengkap dengan dua prosesi budaya yang unik ini. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan budaya lokal, tradisi Siraman Wayang Kiai Bonto juga menjadi ajang masyarakat untuk menyatu, berbagi, dan memohon berkah untuk kehidupan yang lebih baik.
Dengan adanya pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dan dukungan dari pemerintah, tradisi ini diharapkan mampu menarik perhatian wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, untuk mengenal dan merasakan kearifan lokal yang dimiliki Kabupaten Blitar.