JATIMTIMES- Alun-Alun Lodoyo disesaki ribuan orang pada Selasa, 17 September 2024. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk menyaksikan prosesi Siraman Gong Kiai Pradah. Ritual ini merupakan sebuah tradisi sakral yang telah menjadi bagian dari identitas budaya Kabupaten Blitar selama bertahun-tahun.
Pagi itu, suasana di alun-alun terasa begitu khusyuk. Udara pagi masih segar ketika jarum jam mendekati pukul 10.00 WIB, tanda prosesi akan segera dimulai. Sorak-sorai dan bisik-bisik antusias masyarakat semakin meningkat seiring dengan persiapan ritual.
Baca Juga : Bawaslu: Pilkada Dinilai Lebih Rawan Ketimbang Pileg
Tepat pukul 10.00 WIB, prosesi Siraman Gong Kiai Pradah resmi dimulai. Gong yang diyakini memiliki kekuatan gaib tersebut dimandikan dengan air kembang setaman.
Setiap gerakan dalam ritual ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan penghormatan, menciptakan suasana yang penuh dengan nilai spiritual. Begitu prosesi siraman usai, suasana berubah menjadi riuh.
Air bekas jamasan Gong Kiai Pradah, yang sebelumnya telah disucikan dalam prosesi tersebut, langsung menjadi rebutan masyarakat. Mereka rela berdesak-desakan demi mendapatkan air yang diyakini membawa berkah dan keselamatan.
Bagi warga yang hadir, air ini bukan sekadar cairan biasa. Air ini dinilai mengandung harapan akan kehidupan yang lebih baik, perlindungan dari segala marabahaya, dan doa-doa untuk kesehatan serta keberuntungan di masa depan.
Bupati Blitar, Rini Syarifah, turut hadir dalam acara ini dan menekankan pentingnya melestarikan tradisi Siraman Gong Kiai Pradah sebagai bagian integral dari identitas budaya daerah.
“Siraman Gong Kiai Pradah adalah tradisi yang sudah ada sekian lama, yang mengandung nilai-nilai luhur dan sekaligus mengangkat potensi wisata daerah. Melalui acara ini, kita ingin mengenalkan kekayaan budaya dan seni yang dimiliki oleh masyarakat agar tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan,” ujarnya.
Rini Syarifah juga menekankan bahwa tradisi ini diharapkan dapat berdampak positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya minat wisatawan untuk menikmati tradisi tersebut, sektor ekonomi akan ikut berkembang. "Sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaga dan mempromosikan tradisi ini agar tetap menjadi bagian integral dari identitas kita," tambahnya.
Gong Kiai Pradah, Pusaka Sakral dengan Sejarah Panjang
Gong Kiai Pradah adalah pusaka paling sakral milik Kabupaten Blitar. Berbeda dari pusaka tradisional lain seperti keris atau tombak, Gong Kiai Pradah adalah alat musik gamelan yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Pusaka ini sering digunakan sebagai medium untuk memohon berkah dan keselamatan. Setiap tahunnya, tradisi siraman atau jamasan Gong Kiai Pradah menjadi momen yang dinantikan masyarakat. Air bekas siraman dipercaya membawa keberuntungan, melindungi dari berbagai bencana, dan menyembuhkan penyakit.
Gong Kiai Pradah memiliki sejarah panjang. Awalnya, pusaka ini bernama Bendil Kiai Bicak, milik Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam. Sebelum menjadi milik Senopati, Bendil Kiai Bicak dimiliki oleh Ki Ageng Selo, leluhur Panembahan Senopati yang berdarah Majapahit. Cerita mistis dan sakral kerap mengiringi perjalanan pusaka ini, termasuk ketika Pangeran Prabu membawanya ke Blitar setelah terbuang dari istana Kerajaan Mataram di Kartasura.
Selain Gong Kiai Pradah, pada waktu yang sama juga dilaksanakan ritual siraman pusaka Wayang Kiai Bonto di Desa Kebonsari, Kecamatan Kademangan. Wayang Kiai Bonto, yang merupakan peninggalan Pangeran Prabu, juga dipercaya memiliki kekuatan magis. "Pangeran Prabu membawa pusaka berharga, yaitu Gong Kiai Pradah dan Wayang Kiai Bonto, yang kini menjadi simbol kekuatan spiritual di Kabupaten Blitar," jelas Suhendro Winarso, salah satu tokoh masyarakat setempat.
Prosesi Ritual dan Harapan Warga
Baca Juga : Demam Bukan Dikompres di Dahi, Tapi Lakukan pada Lipatan Ini Pakai Air Hangat
Ritual jamasan Gong Kiai Pradah berlangsung dengan penuh khidmat. Gong tersebut dimandikan dengan air kembang setaman di hadapan ribuan warga yang antusias. Air bekas siraman menjadi incaran banyak orang, yang percaya air ini membawa berkah, terutama dalam hal kesehatan dan keberuntungan. Masyarakat sekitar Lodoyo juga memandang siraman ini sebagai sarana memohon hujan, khususnya saat musim kemarau panjang.
Momen ini juga dimanfaatkan untuk berdoa memohon perlindungan dan keselamatan. Meski zaman terus berkembang, tradisi siraman ini tetap dilestarikan sebagai simbol kuat antara masyarakat dan leluhur. Prosesi ini diiringi dengan berbagai ritual lain, seperti pentas seni tradisional dan doa bersama, menjadikannya lebih dari sekadar acara spiritual, tetapi juga ajang pelestarian seni dan budaya lokal.
"Kami berharap lebih banyak wisatawan datang untuk menyaksikan langsung upacara ini. Selain melestarikan budaya, ini juga bisa menjadi daya tarik wisata budaya,” ungkap Suhendro Winarso.
Mendukung Pariwisata dan Ekonomi Lokal
Jamasan Gong Kiai Pradah tidak hanya sekadar ritual budaya, namun juga mendukung pariwisata Kabupaten Blitar. Setiap tahun, wisatawan dari berbagai daerah hadir untuk menyaksikan prosesi sakral ini. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blitar menyatakan pentingnya perhatian masyarakat dan wisatawan terhadap tradisi ini. “Jamasan Gong Kiai Pradah adalah bagian dari kekayaan budaya yang tak ternilai. Kami akan terus mendorong pelestarian tradisi ini, sekaligus mengembangkannya menjadi daya tarik wisata budaya,” jelasnya.
Dengan prosesi yang berlangsung di dua lokasi, Alun-Alun Lodoyo untuk Gong Kiai Pradah dan Desa Kebonsari untuk Kiai Bonto, tahun ini diprediksi akan lebih meriah dibandingkan tahun sebelumnya. Pengunjung dapat merasakan nuansa spiritual yang kuat dan keindahan seni serta budaya Kabupaten Blitar yang kaya.
Melalui Siraman Gong Kiai Pradah, Blitar kembali mengukuhkan diri sebagai daerah yang kaya akan tradisi dan budaya, serta sebagai destinasi wisata budaya yang menarik bagi para pelancong.