JATIMTIMES - Sejak dahulu kala, wilayah ujung timur Pulau Jawa, terutama Jawa Timur, telah menjadi sasaran empuk dan kawasan yang diincar oleh banyak kekuatan besar. Pesona wilayah ini tidak hanya terletak pada sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi juga pada posisinya yang strategis sebagai pintu gerbang menuju kawasan-kawasan penting lainnya di Jawa.
Salah satu periode paling menarik dalam sejarah Jawa Timur adalah ketika para keturunan Suropati menguasai berbagai daerah di wilayah ini, termasuk Pasuruan, Lumajang, Malang, hingga Ponorogo, dan bagaimana akhirnya dominasi mereka dihancurkan oleh kekuatan kolonial Belanda.
Baca Juga : BKD Jatim Tekankan Peran Aktif Atasan Langsung untuk Tegakkan Disiplin Pegawai
Pada tahun 1686, Untung Suropati, seorang tokoh legendaris yang dikenal karena ketangguhannya, berhasil menguasai Pasuruan. Keberhasilan ini tidak hanya membuatnya semakin berambisi, tetapi juga menambah daftar wilayah yang ingin dikuasainya, termasuk Puger, Lumajang, Malang, Ngantang, Lodoyo, dan Ponorogo.
Suropati dan keturunannya bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah simbol perlawanan yang tangguh terhadap hegemoni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Jawa.
Asal Usul dan Kehidupan Untung Surapati
Untung Surapati, yang nama aslinya Surawiraaji, lahir di Gelgel, Bali pada tahun 1660. Kehidupannya yang sederhana sebagai seorang anak dari kalangan rakyat jelata berubah drastis ketika ia dijual sebagai budak oleh VOC. Saat berusia tujuh tahun, Surawiraaji dibeli oleh seorang perwira VOC bernama van Moor, yang membawanya ke Batavia. Karena dianggap membawa keberuntungan bagi tuannya, ia kemudian diberi nama "Si Untung."
Ketika Untung berusia 20 tahun, ia dimasukkan ke dalam penjara oleh van Moor karena menjalin hubungan dengan putrinya, Suzane. Namun, Untung berhasil melarikan diri bersama para tahanan lainnya dan menjadi buronan. Dalam perjalanannya, Untung bertemu dengan Pangeran Purbaya dari Banten yang sedang dalam pelarian setelah kekalahan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, oleh VOC. Ketika dihadapkan pada pilihan antara hidup sebagai buronan atau bergabung dengan VOC, Untung memilih untuk bergabung dan dilatih sebagai tentara.
Misi pertama Untung sebagai tentara VOC adalah menjemput Pangeran Purbaya yang bersembunyi di Gunung Gede. Namun, ketika Vaandrig Kuffeler, seorang perwira VOC lainnya, memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar, Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong pada 28 Januari 1684. Akibat tindakannya, Untung kembali menjadi buronan dan melarikan diri ke berbagai tempat, termasuk ke Kesultanan Cirebon. Di sana, ia terlibat perkelahian dengan Raden Surapati, anak angkat sultan, yang akhirnya dihukum mati. Nama "Surapati" kemudian diberikan kepada Untung oleh sultan Cirebon sebagai tanda kehormatan.
Untung Surapati tiba di Kartasura bersama Raden Ayu Gusik Kusuma, istri dari Pangeran Purbaya. Di Kartasura, ia mendapati bahwa Patih Nerangkusuma, seorang tokoh anti-VOC, sedang berupaya memengaruhi Amangkurat II untuk membatalkan perjanjian dengan VOC. Untung kemudian menikahi Gusik Kusuma dan bersama-sama dengan Patih Nerangkusuma merencanakan pemberontakan.
Ketika Kapten François Tack, perwira VOC yang terkenal, tiba di Kartasura untuk menangkap Untung, pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur dan Kapten Tack tewas di tangan Untung.
Setelah pertempuran di Kartasura, Amangkurat II yang takut pengkhianatannya terhadap VOC terbongkar, merestui Surapati dan Patih Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Untung berhasil mengalahkan Bupati Pasuruan Anggajaya yang melarikan diri ke Surabaya.
Di Pasuruan, Untung Surapati mengangkat dirinya sebagai bupati dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada tahun 1690, Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan, namun pertempuran ini hanya sandiwara untuk mengelabui VOC.
Setelah Amangkurat II wafat pada tahun 1703, terjadi perebutan takhta antara Amangkurat III dan Pangeran Puger. Amangkurat III yang kemudian terusir dari Kartasura berlindung di Pasuruan pada tahun 1705. Pada bulan September 1706, pasukan gabungan VOC, Mataram, Madura, dan Surabaya menyerbu Pasuruan. Untung Surapati tewas dalam pertempuran di benteng Bangil pada 17 Oktober 1706. Sebelum meninggal, ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan dan makamnya dibuat rata dengan tanah untuk mengelabui musuh.
Setelah kematian Untung Surapati, perjuangannya diteruskan oleh putra-putranya, seperti Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga. Mereka memimpin pengikut ayahnya yang terdiri dari orang Jawa dan Bali dalam berbagai perlawanan terhadap VOC. Beberapa pengikutnya tertangkap dan dibuang ke Srilangka, sementara yang lainnya terus melawan hingga akhirnya takluk.
Salah satu keturunan Untung Surapati, Adipati Malayakusuma, juga turut berjuang mempertahankan wilayah Malang dari serangan VOC hingga tahun 1768, menandai akhir dari perjuangan anak keturunan Untung Surapati.
Lumajang dan Perjanjian Mataram Warisan Sunan Pakubuwono II
Namun, konflik di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari peristiwa Perjanjian Mataram dengan VOC pada tahun 1743. Perjanjian ini, yang dilakukan secara sepihak oleh Pakubuwono II, semakin mempersulit situasi di wilayah Jawa Brang Wetan atau yang dikenal sebagai Java Oosthoek. Ketidakpastian dan kekacauan yang tercipta akibat perjanjian ini seperti mencoba mencari jarum dalam tumpukan jerami. Pakubuwono II, yang kala itu menjadi penguasa Mataram, seolah melepas tanggung jawab atas wilayah timur Jawa, membuat VOC semakin leluasa untuk memperluas pengaruhnya.
Perjanjian Mataram dan VOC tahun 1743 menandai babak baru dalam sejarah Jawa, di mana kekuasaan VOC mulai menguat dan semakin mengikis kedaulatan Kerajaan Mataram. Kesepakatan ini ditandatangani pada bulan November 1743 antara Susuhunan Pakubuwono II dari Mataram dan VOC, yang telah membantu Pakubuwono dalam merebut kembali tahtanya. Bantuan tersebut diberikan setelah Pakubuwono II berhasil menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, yang juga dikenal sebagai Sunan Kuning. Pemberontakan ini merupakan kelanjutan dari perlawanan orang Tionghoa di Pasisir terhadap VOC, yang pada gilirannya dipicu oleh peristiwa "Geger Pacinan" di Batavia pada 9 Oktober 1740, di mana banyak warga Tionghoa dibantai.
Sebagai imbalan atas bantuan militer VOC, Pakubuwono II menyerahkan sejumlah wilayah strategis kepada VOC, termasuk Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, dan Blambangan. Wilayah-wilayah ini memiliki nilai ekonomi dan politik yang sangat tinggi, terutama karena letaknya yang strategis di sepanjang pesisir utara Jawa. Selain itu, sebagian dari bea cukai dari semua pelabuhan lain di Pasisir juga diserahkan kepada VOC, menjadikan kontrol ekonomi VOC semakin kuat.
VOC juga memperoleh hak untuk menguasai lahan di sepanjang seluruh Pasisir Jawa dan di sepanjang semua sungai yang bermuara di kawasan tersebut. Ini memberikan VOC akses yang lebih besar untuk mengontrol perdagangan dan aktivitas ekonomi di Jawa, yang sangat penting bagi kepentingan komersial mereka.
Pakubuwono II tidak hanya menyerahkan wilayah dan bea cukai, tetapi juga diharuskan untuk mengirimkan 5.000 koyan (sekitar 8.600 ton) beras setiap tahunnya kepada VOC secara cuma-cuma dan untuk selamanya. Ini merupakan beban berat bagi Mataram, yang secara efektif menjadi pemasok bahan pangan gratis bagi VOC.
Lebih lanjut, Perjanjian 1743 ini juga menegaskan bahwa Patih Mataram, salah satu jabatan tertinggi dalam pemerintahan, hanya boleh diangkat dengan izin dari VOC. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh VOC dalam urusan dalam negeri Mataram, yang membuat kerajaan tersebut semakin tergantung pada kekuatan kolonial ini.
Baca Juga : PDIP Umumkan 6 Pasang Cagub-Cawagub, Belum Ada Nama Anies Baswedan
Sebagai langkah terakhir untuk mengamankan kekuasaannya, VOC menempatkan garnisun di Kartasura, ibu kota Mataram, dan melarang orang Jawa berlayar di luar pulau Jawa, Madura, dan Bali. Pembatasan ini semakin mempersempit ruang gerak Mataram, baik secara politik maupun ekonomi, menjadikan perjanjian ini sebagai simbol awal dominasi VOC di Tanah Jawa.
Keluarga Suropati dan Kekuasaan Lumajang
Di Lumajang, pergolakan kekuasaan pun terus terjadi. Wilayah ini beberapa kali mengalami pergantian pemimpin atau adipati yang berasal dari berbagai trah keluarga. Pada awal abad ke-18, dua adipati dari keturunan Suropati, yaitu Tumenggung Kartanagara (berkuasa pada 1700-an hingga 1767) dan Tumenggung Kartayuda (berkuasa pada 1767-1768), berhasil memegang kendali atas Lumajang. Mereka adalah keturunan langsung dari Suropati yang masih mempertahankan semangat perlawanan terhadap VOC.
Peran penting yang dimainkan oleh putra, cucu, dan keturunan Suropati dalam konflik di Jawa Timur dan Jawa Tengah berlangsung hampir satu abad, dari tahun 1686 hingga 1770. Ketangguhan mereka dalam melawan kekuatan kolonial VOC menjadi bukti betapa gigihnya keluarga ini mempertahankan kemerdekaan dan kekuasaan di tanah Jawa, berbeda dengan keluarga elite Jawa lainnya yang cenderung lebih patuh terhadap kekuasaan asing.
Namun, keberanian dan ketangguhan keluarga Suropati tidak hanya membuat mereka terkenal, tetapi juga membuat mereka menjadi musuh utama VOC. Otoritas Belanda, yang tidak ingin kehilangan kendali di Jawa, harus menghadapi keluarga Suropati dengan cara-cara yang sangat opresif dan agresif. VOC mengadopsi kebijakan "Tumpes Kelor," sebuah strategi untuk menumpas seluruh anggota keluarga Suropati hingga ke akar-akarnya. Ini berarti bahwa setiap anggota keluarga Suropati yang tertangkap akan dihukum mati, dengan tujuan untuk melenyapkan keturunan Suropati dari panggung kekuasaan dan perpolitikan di Jawa secara permanen.
Ketika Lumajang jatuh ke tangan VOC pada medio September-Oktober 1768, keluarga Kartanagara yang berkuasa di sana menjadi target utama. Keturunan Kartanagara diburu habis-habisan oleh VOC, yang bekerja sama dengan Sultan Mataram untuk menumpas sisa-sisa keluarga ini. Pada tahun 1770, setelah dua tahun pengejaran, prajurit Sultan dan VOC berhasil menangkap 21 anggota keluarga Kartanagara yang merupakan kelompok terakhir yang berhasil ditemukan. Namun, VOC masih meyakini bahwa banyak anggota keluarga Suropati yang berhasil lolos dan bersembunyi di berbagai wilayah Jawa, tak terdeteksi oleh kekuatan kolonial.
Meskipun demikian, setelah hampir satu abad konflik, akhirnya pada akhir tahun 1770, kekisruhan di wilayah Brang Wetan atau Java Oosthoek berhasil dipadamkan oleh koalisi VOC. Wilayah Lumajang kemudian diserahkan kepada seorang Tumenggung baru dari trah Kadipaten Kasepuhan Surabaya, yang diharapkan mampu memulihkan ketertiban dan mengamankan kepentingan VOC di wilayah tersebut.
Takluknya Trah Suropati di Lumajang
Lumajang secara resmi jatuh dan terintegrasi ke dalam kekuasaan Belanda pada akhir abad ke-18, tepatnya pada tahun 1768. Setelah keturunan Suropati berhasil ditaklukkan, kekuasaan atas wilayah Lumajang diberikan kepada Raden Condro, putra dari Tumenggung Joyonegoro, Adipati Banger. Raden Condronegoro kemudian menjadi Adipati Lumajang pada periode 1768-1805, sekaligus menjadi Adipati terakhir Lumajang.
Keputusan Raden Condronegoro untuk menjalankan pemerintahannya bukan di ibu kota Lumajang yang lama, melainkan di distrik Klakah, menunjukkan adanya kekhawatiran akan sisa-sisa keluarga dan pengikut Kartanagara yang mungkin masih menyimpan dendam. Keputusan ini juga mencerminkan betapa traumatisnya konflik yang telah berkepanjangan di wilayah tersebut, di mana penduduk Lumajang tercatat hanya tersisa sekitar 4000 jiwa akibat peperangan yang tiada henti.
Konflik yang berkepanjangan ini, yang dimulai dari ekspansi Mataram oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1613, hingga huru-hara perebutan kekuasaan di Brang Wetan antara 1686-1768, telah menyebabkan banyak korban jiwa. Lumajang, yang dulunya merupakan pusat kekuasaan penting, perlahan-lahan kehilangan kemegahannya akibat konflik-konflik ini.
Pada tahun 1805, Condronegoro pindah menjadi Adipati Probolinggo menggantikan ayahnya yang telah mengundurkan diri. Perpindahan ini menandai akhir dari era Adipati Lumajang sebagai sebuah kadipaten yang merdeka. Sejak saat itu, Lumajang diturunkan statusnya menjadi sebuah distrik (kecamatan) yang dipimpin oleh seorang Wedono, dan menjadi bagian dari Kadipaten Probolinggo. Sejarah Lumajang sebagai pusat kekuasaan independen berakhir, dan daerah ini sepenuhnya berada di bawah kendali kolonial Belanda.
Penunjukan R.A.A Kartodiredjo: Awal Kepemimpinan Baru
Pada awal abad ke-19, Kabupaten Lumajang mengalami kebangkitan yang signifikan sebagai bagian dari struktur administratif baru di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Periode ini menandai perubahan besar setelah beberapa dekade Lumajang dipimpin oleh Patih Afdelling, yang merupakan pejabat lokal dengan otoritas terbatas dalam kerangka administratif Belanda.
Kebangkitan Lumajang sebagai kabupaten baru ditandai dengan penunjukan R.A.A Kartodiredjo sebagai Bupati Lumajang pertama di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kartodiredjo memulai masa jabatannya pada 1 Juli 1928, membawa angin segar dan perubahan dalam administrasi kabupaten tersebut. Sebagai Bupati, Kartodiredjo memimpin Lumajang selama lebih dari satu dekade, hingga 20 Februari 1940, dan selama periode ini, banyak aspek pemerintahan lokal mengalami pembaruan.
Di bawah kepemimpinan Kartodiredjo, Lumajang mengalami transformasi administratif yang mencerminkan upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk memperkuat kontrol dan meningkatkan efisiensi administrasi lokal. Penunjukan Kartodiredjo sebagai Bupati adalah langkah strategis untuk menyesuaikan struktur pemerintahan lokal dengan kebijakan kolonial yang lebih terpusat dan terorganisir.
Kartodiredjo dikenal sebagai sosok yang berkomitmen untuk membangun dan memajukan Kabupaten Lumajang. Selama masa jabatannya, ia menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan kebijakan Belanda dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
Sejarah panjang Lumajang, dari masa kejayaannya hingga kejatuhannya, mencerminkan betapa kompleksnya dinamika kekuasaan di Jawa Timur. Konflik demi konflik, yang melibatkan berbagai pihak, dari kerajaan-kerajaan lokal hingga kekuatan kolonial, telah membentuk sejarah wilayah ini. Namun, di balik semua itu, kisah keteguhan dan perlawanan keluarga Suropati tetap menjadi salah satu cerita paling heroik dalam sejarah Jawa Timur. Meskipun pada akhirnya mereka dikalahkan, semangat mereka dalam melawan penindasan dan mempertahankan kedaulatan tanah air tetap hidup dalam kenangan sejarah