JATIMTIMES - Setiap tahunnya lahan perkebunan apel di Kota Batu terus menyusut lantaran banyak petani yang menyerah untuk mempertahankan ikon Kota Batu tersebut. Alasannya, harga perawatan tak sebanding dengan hasil panen.
Meski demikian, di balik itu masih ada seorang petani bernama Utomo, warga Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang kukuh mempertahankan ikon Kota Batu agar tak punah. “Supaya nggak mau punah. Saya mau mempertahankan apel Kota Batu,” ungkap Utomo, Minggu (25/8/2024).
Baca Juga : Cak Nur-Heli Ingin Kolaborasikan Batu Agropolitan dan Kota Wisata
Utomo mengaku sudah menjadi petani apel sejak tahun 2008 silam. Dengan demikian, sudah 16 tahun lamanya menggeluti pertanian apel. Tentu suka dan duka menyelimuti perjalanannya untuk mempertahankan apel di atas lahannya 2,5 hektare.
Ia pun mengaku, saat kondisi pohon apel maksimal bisa panen mencapai 2 ton. Namun saat ini paling banyak 5 kuintal, karena usia pohon serta hama lalat buah yang jadi musuh petani apel.
Ya hama lalat buah serta kondisi tanah menjadi faktor berkurangnya hasil panen. Ditambah biaya operasional yang tinggi membuat sebagian petani gulung tikar.
“Petani yang lainnya sudah dimusnahkan karena beralih ke jeruk atau sayur. Biaya operasional sama harga nggak nututi saat itu,” ujar bapak dua anak ini.
Karena berkurangnya jumlah petani serta lahan apel, berimbas dengan harganya. Saat ini Utomo mengaku harga apel dalam kurun 2 bulan terakhir cenderung lebih bagus, yakni Rp 14 ribu sampai Rp 16 ribu per kilogramnya.
“Kalau harga sekarang ini bagus dibanding dulu, karena posisinya sekarang apel berkurang atau tidak sebanyak dulu. Makanya saya tetap bertahan di apel karena mengingat apel ini sebagai ikon Kota Batu, kalau tidak ada yang mempertahankan nanti musnah,” terang pria 61 tahun ini.
Kisah pilunya menjadi petani apel tentu cukup banyak. Namun selama 16 tahun terakhir ia pernah merugi hingga ratusan juta. Saat itu harga apel hanya Rp 4 ribu per kilogramnya. Juga karena hama lalat buah.
“Saya tahun lalu rugi banyak, karena tidak berbuah karena saat itu musim. Harga buahnya hanya Rp 4.000. Satu musim saya merugi Rp 137 juta,” ujar Utomo.
Baca Juga : KPU Resmi Umumkan Jadwal dan Syarat Pendaftaran Cagub-Cawagub Jatim 2024
Meski demikian, Utomo tetap bertahan hingga saat ini. Agar lalat buah tak menjadi-jadi dan mengurangi hasil panennya, Utomo pun memutar otaknya agar tak merugi.
Kini Utomo memilih untuk menutupi buah apel agar tidak diserang hama lalat buah. Ada empat jenis apel yang dikembangkan Utomo, yakni 4 room beauty, manalagi, anna, dan graanly smith. Dengan cara itu terbukti efektif menghindari hama tersebut.
Selain itu, untuk menutupi biaya operasional, Utomo juga menjalankan wisata petik apel di lahannya. Dengan cara ini, Utomo mampu mempertahankan apel Kota Batu.
Ya setiap bulannya, ratusan pengunjung datang untuk petik apel dan membeli buah apel di lahannya. Rata-rata pengunjung ada dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, bahkan hingga wisatawan mancanegara.
“Omzet jutaan per bulan bisa nutup operasional berkat petik apel. Kalau tidak ada wisata petik dan hanya mengandalkan dijual, sudah gulung tikar,” tutup Utomo.