JATIMTIMES - Menguatnya kabar pencalonan mantan Wali Kota Malang periode 2018-2023, Mochammad Anton mencalonkan kembali pada Pilkada Serentak 2024 ini menuai beragam reaksi masyarakat.
Di media sosial, kasus korupsi pria yang akrab disapa Abah Anton ini banyak menjadi perbincangan.
Tak hanya itu, muncul pula pengakuan sejumlah mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang 2014-2019.
Para mantan anggota dewan yang juga turut menjadi tersangka pada kasus tersebut mempertanyakan sejumlah hal.
Baca Juga : Diusung PKB dan Demokrat, Abah Anton Resmi Gandeng Pengusaha Asal Kota Malang di Pilkada 2024
Mereka menyoal perkara korupsi di Kota Malang yang terungkap pada tahun 2018 dinilai belum sepenuhnya tuntas. Terutama terkait dugaan keterlibatan mantan Wali Kota Malang periode 2018-2023, Mochammad Anton terkait perkara lain.
Seorang mantan anggota DPRD Kota Malang yang enggan disebutkan namanya mengatakan ada perbedaan putusan yang ia terima dengan putusan Mochammad Anton.
"Jadi kami (mantan anggota dewan) ini diputus dengan tiga perkara. Satu soal pokir atau yang dibahasakan THR dalam perkara tersebut, lalu soal upeti sebesar satu persen, dan perkara soal sampah," ujarnya.
Sedangkan dalam putusan perkara tersebut, sang mantan wali kota hanya dihukum atas perkara pokir saja. Sementara dua perkara lainnya, hanya dikaitkan dengan anggota dewan yang saat ini menjadi tersangka.
"Soal upeti sebesar satu persen itu, kami menerima, ada dalam putusan. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang mengetahui siapa pemberinya. Dan untuk kasus itu, Abah Anton sebagai wali kota saat itu belum sidang di pengadilan. Ini kan jadi pertanyaan banyak orang termasuk kami yang sudah menjalani hukuman atas kasus itu," jelasnya.
Sebagai informasi, dalam putusan nomor 94/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Sby., disebutkan bahwa Mochammad Anton dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana telah memenuhi unsur dalam dakwaan pertama.
Dan selanjutnya atas hal tersebut, dalam angka dua disebutkan bahwa terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun serta pidana denda sejumlah Rp 100.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Baca Juga : Warga Tionghoa di Tulungagung Adakan Upacara Sembahyang Rebutan, Ratusan Warga Dapat Sembako
Terkait adanya perbedaan perkara dan putusan antara Abah Anton dengan para anggota dewan, praktisi hukum Pangeran Artha memberi pendapat.
Dia mengatakan jika hal itu masih dipermasalahkan oleh sejumlah pihak, maka ada serangkain proses yang dapat dilakukan agar kasus itu dapat kembali dilakukan penyelidikan.
"Bisa saja (kembali diungkap). Asalkan memang ada sprindik (surat perintah penyidikan) dari aparatur. Dan itu adalah sprindik baru, bukan sprindik atas kasus pokok yang sudah diputus," ujar Okky melalui sambungan telepon.
Bahkan, jika memang dirasa ada dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang masih belum jernih seutuhnya, mantan anggota dewan yang turut jadi terdakwa bisa bersurat. Agar kasus itu bisa kembali dilakukan penyidikan.
"Mereka (mantan anggota dewan) bisa bersurat, bisa juga menjadi whistle blower. Bisa dibuka semuanya," tegas Okky.