JATIMTIMES - Pada peringatan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang ke-528 tahun, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko mengusulkan sebuah tradisi baru: haul Batoro Katong, pendiri Ponorogo dan adipati pertama yang juga menjadi tokoh penting dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Menurut Bupati Sugiri, inisiatif ini bertujuan untuk memperkaya literasi masyarakat tentang sosok Batoro Katong serta memberikan nuansa berbeda pada perayaan tahunan tersebut, yang selalu diperingati pada 11 Agustus.
Baca Juga : Sejarah Hari Pramuka yang Diperingati Setiap 14 Agustus
Meskipun demikian, Sugiri mengakui bahwa informasi mengenai kapan tepatnya Batoro Katong lahir dan wafat masih belum jelas. Oleh karena itu, ia berharap para sejarawan dapat terlibat lebih dalam untuk mengungkap sejarah penting ini. Tetapi, siapakah sebenarnya Batoro Katong?
Asal Usul Batoro Katong: Dari Majapahit ke Ponorogo
Batoro Katong, yang dikenal sebagai sosok legendaris pada masa transisi antara keruntuhan Kerajaan Majapahit dan munculnya Kesultanan Demak, adalah salah satu putra Raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Dengan darah biru yang kuat, ia lahir dengan nama asli Lembu Kenanga, meskipun beberapa sumber juga menyebutnya sebagai Raden Jaka Piturun, Raden Bathoro Katong, atau Lembu Kanigoro.
Sejak muda, ia sudah menunjukkan kemampuan kepemimpinan yang luar biasa. Setelah Majapahit melemah dan akhirnya runtuh sekitar tahun 1478, Lembu Kenanga, yang kemudian dikenal sebagai Batoro Katong, menjadi salah satu tokoh utama dalam penyebaran Islam di Jawa Timur, khususnya di wilayah Ponorogo.
Kisah perjalanan Batoro Katong menuju Ponorogo dimulai dengan perintah dari Raden Patah, kakaknya yang mendirikan Kesultanan Demak. Raden Patah mengutus Batoro Katong untuk mengislamkan wilayah Ponorogo yang pada masa itu masih dipengaruhi kuat oleh tradisi Hindu-Buddha. Wilayah tersebut dipimpin oleh seorang demang bernama Demang Kutu, seorang pemimpin yang dikenal kuat dan memiliki kemampuan magis yang luar biasa.
Namun, terdapat versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa Batoro Katong datang ke Ponorogo atas perintah langsung dari Raja Brawijaya V untuk menangkap Demang Kutu yang tidak memenuhi panggilan ke Keraton Majapahit. Dalam versi ini, Batoro Katong sendiri belum memeluk Islam saat datang ke Ponorogo.
Kedatangan Batoro Katong di Ponorogo tidaklah mudah. Ia harus menghadapi kekuatan magis Demang Kutu, yang memiliki murid-murid dengan kemampuan luar biasa. Para murid ini terbagi menjadi dua golongan: gemblak atau jatil yang terdiri dari anak-anak laki-laki tampan yang dipersiapkan sebagai penari, dan warok, pria-pria dewasa dengan kekuatan fisik dan magis yang luar biasa. Warok-warok ini mengenakan pakaian khas dengan celana panjang lebar dan ikat pinggang panjang, serta iket kepala.
Pertempuran dengan Demang Kutu: Legenda di Gunung Bacin
Pertempuran antara Batoro Katong dan Demang Kutu menjadi salah satu kisah legendaris yang dikenang hingga kini. Pertempuran ini memuncak di Gunung Jimat, di mana Demang Kutu dikisahkan mampu menghilang dan muncul kembali di tempat yang berbeda.
Salah satu cerita yang terkenal adalah ketika Demang Kutu tiba-tiba menghilang ke dalam tanah dan muncul kembali di bukit terdekat. Namun, setelah tiga hari, aroma busuk mulai tercium dari tanah, membuat Batoro Katong dan pasukannya yakin bahwa Demang Kutu telah tewas. Bukit tempat aroma busuk tersebut muncul kini dikenal sebagai Gunung Bacin.
Kemenangan atas Demang Kutu membuka jalan bagi Batoro Katong untuk menjadi penguasa baru di Ponorogo. Ia mendirikan pusat pemerintahan dan mulai mengislamkan masyarakat setempat. Inilah yang menjadi awal dari transformasi Ponorogo sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Warok dan Gemblak: Tradisi Mistis Ponorogo
Ki Ageng Kutu, yang sering kali diidentifikasi sebagai Demang Kutu, adalah pemimpin yang tidak hanya berpengaruh dalam kekuatan politik tetapi juga dalam tradisi mistis. Salah satu aspek yang menonjol dalam kisah ini adalah tradisi warok dan gemblak. Warok adalah sosok pria dewasa yang dikenal memiliki kekuatan fisik dan magis. Mereka sering kali memiliki gemblak, anak laki-laki yang dipersiapkan sebagai penari dan dirawat oleh warok sebagai murid atau pengikut spiritual.
Tradisi ini, meskipun terlihat kontroversial dari perspektif modern, merupakan bagian integral dari budaya Ponorogo pada masa itu. Hubungan antara warok dan gemblak sering kali dipandang sebagai hubungan spiritual yang mendalam, dengan warok bertanggung jawab atas bimbingan dan perlindungan gemblak. Praktik ini bertahan lama dalam budaya Ponorogo, bahkan setelah kedatangan Islam yang dibawa oleh Batoro Katong.
Keturunan Batoro Katong: Dinasti yang Berpengaruh di Ponorogo
Setelah mengalahkan Demang Kutu dan memantapkan kekuasaannya di Ponorogo, Batoro Katong menjadi pendiri dinasti yang memimpin wilayah tersebut. Keturunannya dikenal sebagai penguasa-penguasa yang berpengaruh di Ponorogo selama beberapa abad.
Namun, catatan sejarah mengenai penerusnya yang pertama tidak begitu jelas. Satu hal yang diketahui adalah putranya dijuluki sebagai "Panembahan Agung," yang juga dikenal sebagai seorang penyair yang menciptakan pepali atau puisi dengan pelajaran moral yang disebut Panitiboyo. Pepali ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya Ponorogo tetapi juga menjadi refleksi dari kebijaksanaan dan pemikiran Panembahan Agung. Namun, jejak sejarah penerus Batoro Katong yang hidup pada masa Panembahan Agung hingga generasi-generasi berikutnya kurang terdokumentasi dengan baik.
Meskipun begitu, keturunan Batoro Katong diketahui telah memerintah di Ponorogo selama berabad-abad, bahkan hingga akhir abad ke-19. RAA Sam, yang menjabat sebagai Bupati Ponorogo antara tahun 1927 hingga 1934, mencatat bahwa garis keturunan ini berlanjut hingga seorang Bupati Magetan yang mengundurkan diri pada Desember 1937 karena usia tua.
Pada masa pemberontakan Pangeran Mangkubumi (1749-1792), yang kemudian menjadi Sultan pertama Yogyakarta, serta Raden Mas Said (KGPAA Mangkunegara I, 1757-1795), tercatat adanya seorang keturunan Batoro Katong bernama Raden Adipati Surodiningrat. Hal ini menunjukkan bahwa keturunan Batoro Katong tetap memegang peran penting dalam dinamika politik Jawa di masa tersebut.
Baca Juga : Pemeran Pria Sekaligus Penyebar Video Syur Anak Musisi Ditangkap
Selain itu, Serat Kandha, sebuah naskah kuno yang mengisahkan silsilah raja-raja Jawa, menyebutkan bahwa seorang putri Batoro Katong menikah dengan Ki Pandan Arang atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Tembayat. Kisah ini mencerminkan hubungan yang erat antara keluarga Batoro Katong dengan tokoh-tokoh penting lainnya di Jawa. Menurut cerita lain, putra Ki Pandan Arang, Pangeran Jiwa, menikahi putri Batoro Katong, yang mungkin merupakan kerabat dekatnya sendiri.
Generasi selanjutnya dari keturunan Batoro Katong juga tidak kalah penting. Dikisahkan bahwa cucu Batoro Katong, Kiai Minhat, mendirikan Desa Waduk di Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan. Bersama dengan keturunan lainnya, Kiai Rabidin, mereka membabat hutan Becekan. Kiai Rabidin digambarkan sebagai sosok Warok sejati yang memiliki tubuh tinggi besar, berperut besar, dan mengenakan celana setengah putih setengah merah. Kiai Rabidin bahkan pernah ditangkap dan dipanggil menghadap Bupati Madiun, yang dikenal dalam cerita rakyat sebagai Kangieng Bagus, namun kemudian dibebaskan.
Meski terdapat banyak kisah dan legenda yang melingkupi keturunan Batoro Katong, satu hal yang pasti adalah pengaruh mereka yang bertahan selama berabad-abad. Dari Panembahan Agung hingga Kiai Minhat dan Kiai Rabidin, keturunan ini terus berperan dalam sejarah dan budaya Ponorogo serta wilayah sekitarnya. Warisan mereka, baik dalam bentuk pepali, kepemimpinan, maupun hubungan keluarga, tetap menjadi bagian integral dari identitas Ponorogo hingga saat ini.
Ponorogo: Nama, Budaya, dan Warisan Batoro Katong
Asal usul nama "Ponorogo" sering kali dikaitkan dengan Batoro Katong. Salah satu teori menyebutkan bahwa nama ini berasal dari kata "pan" dan "rogo," yang berarti "pengejaran suci" atau "ngepanaken rogo." Nama ini dihubungkan dengan perjalanan spiritual Batoro Katong ketika bertemu dengan seorang pertapa dalam perjalanannya menuju Ponorogo.
Namun, interpretasi lain yang diberikan oleh sejarawan Pigeaud menawarkan perspektif berbeda. Ia mengusulkan bahwa "rogo" dapat dihubungkan dengan "rowo" (rawa), dan "pono" dengan "buwono" (lanskap), yang berarti "perbatasan rawa." Teori ini merujuk pada wilayah Ponorogo yang dulu dikenal sebagai daerah rawa besar.
Selain nama, karakteristik masyarakat Ponorogo juga mencerminkan warisan Batoro Katong. Orang Ponorogo dikenal lebih mandiri, sadar diri, dan berani dibandingkan dengan masyarakat di wilayah Jawa lainnya. Sifat mereka yang keras dan cepat bereaksi, bahkan hingga siap menggunakan senjata untuk menyelesaikan konflik, menjadikan mereka berbeda dari kebanyakan orang Jawa.
Salah satu warisan budaya paling terkenal dari Ponorogo adalah Reog, sebuah pertunjukan tari yang melibatkan penari kuda, barongan, dan kedok-kedok khas. Reog tidak hanya populer di Ponorogo tetapi juga di wilayah Keresidenan Madiun dan bahkan hingga Madura. Tarian ini mencerminkan sisa-sisa adat istiadat kuno, mungkin sebelum pengaruh Hindu-Buddha dan Islam masuk ke Jawa.
Warisan Batoro Katong: Kepemimpinan dan Pengaruh yang Bertahan Lama
Pengaruh Batoro Katong di Ponorogo tidak hanya terbatas pada masa hidupnya tetapi juga diwariskan kepada generasi berikutnya. Dari Panembahan Agung hingga keturunan lainnya seperti Kiai Minhat dan Kiai Rabidin, warisan ini tetap hidup dalam sejarah dan budaya Ponorogo. Keturunan Batoro Katong dikenal sebagai pemimpin yang berpengaruh dan memainkan peran penting dalam perkembangan Ponorogo dan wilayah sekitarnya.
Karakteristik unik masyarakat Ponorogo juga bisa jadi hasil dari percampuran budaya antara para prajurit Batoro Katong dengan penduduk asli. Diketahui bahwa banyak pasukan Batoro Katong berasal dari Demak, Majapahit, dan bahkan Sampang (Madura Barat). Mereka menetap di Ponorogo dan membentuk permukiman baru, yang kemudian berasimilasi dengan masyarakat setempat. Hipotesis ini menunjukkan bahwa karakter keras dan mandiri masyarakat Ponorogo mungkin berasal dari latar belakang sebagai pejuang yang harus bertahan hidup di tempat yang jauh dari rumah, menciptakan sebuah identitas yang berbeda dan kuat di antara masyarakat Jawa.
Dalam kesimpulannya, Batoro Katong tidak hanya memberikan warisan nama bagi Ponorogo tetapi juga turut membentuk budaya dan karakter masyarakatnya yang bertahan hingga saat ini. Kombinasi dari sejarah, tradisi, dan pengaruh budaya yang beragam telah menjadikan Ponorogo sebagai daerah yang kaya akan warisan budaya dan karakteristik masyarakat yang unik.
Bahkan hingga hari ini, warisan Batoro Katong masih dirasakan. Peringatan haul yang diusulkan oleh Bupati Sugiri Sancoko adalah salah satu contoh bagaimana sejarah dan warisan Batoro Katong terus dihormati dan dihidupkan kembali. Batoro Katong bukan hanya seorang pangeran Majapahit atau pendiri Ponorogo, tetapi juga simbol kebangkitan spiritual dan kultural di wilayah tersebut.
Sejarah Batoro Katong mengingatkan kita bahwa di balik setiap tempat yang kita kenal hari ini, ada sosok-sosok legendaris yang telah membentuk dan membimbingnya menuju masa depan. Sebagai pendiri dan penyebar agama Islam di Ponorogo, Batoro Katong adalah salah satu tokoh yang patut kita kenang dan hargai. Peringatan haul yang diusulkan oleh Bupati Sugiri adalah langkah penting dalam menghormati warisan sejarah ini dan menjadikannya bagian integral dari identitas dan kebanggaan Ponorogo.