JATIMTIMES - Hari Jadi Blitar yang diperingati setiap tanggal 5 Agustus tidak dapat dilepaskan dari sosok Raja Jayanegara. Raja Majapahit yang penuh pergolakan ini memberikan Prasasti Balitar I sebagai tanda terima kasih kepada penduduk Desa Bedander.
Prasasti ini tidak hanya menjadi simbol kehormatan, tetapi juga menandai Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Penetapan hari jadi Blitar setiap tanggal 5 Agustus didasarkan pada peristiwa penyerahan prasasti ini pada hari Minggu Pahing bulan Srawana Tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi.
Baca Juga : DPRD Kota Blitar Gelar Rapat Paripurna Penetapan KUA-PPAS 2025
Perayaan hari jadi ini menjadi momen penting bagi masyarakat Blitar untuk mengingat dan merayakan sejarah panjang serta kontribusi wilayah ini dalam perkembangan Kerajaan Majapahit.
700 Tahun Blitar: Menghargai Warisan dan Membangun Masa Depan
Blitar, yang dikenal dengan julukan "Land of Kings" atau "Tanah Para Raja," merayakan 700 tahun berdirinya. Dalam rentang tujuh abad tersebut, Blitar terus berbenah dan berkembang di berbagai sektor, termasuk ekonomi, kesehatan, dan prestasi-prestasi lainnya yang membanggakan.
Meski demikian, perjuangan untuk mewujudkan Kabupaten Blitar yang mandiri dan sejahtera berdasarkan akhlak mulia balatun toyyibatun warobun ghofur tetap berlanjut.
Pada Pisowanan Agung di Pendopo Ronggo Hadinegoro, 5 Agustus 2024, Bupati Blitar, Hj. Rini Syarifah, menegaskan komitmen ini dalam sambutannya. Blitar dikenal sebagai "Land of Kings" karena sejarahnya yang kaya. Tujuh abad yang lalu, pada bulan Waisaka Tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit Hayam Wuruk bersama pengiringnya mengunjungi Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan tersebut juga mengunjungi tempat-tempat suci lainnya seperti Sawentar, Jimbe, Lodoyo, Candi Simping, dan Candi Mleri.
Pada tahun 1357 Masehi, Hayam Wuruk kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap di Lodoyo. Sebelumnya, Blitar juga menjadi tempat Raja Jayanegara menyelamatkan diri dari pemberontakan Ra Kuti dan Ra Semi pada tahun 1316 dan 1317.
Sebagai tanda terima kasih, Jayanegara memberikan prasasti kepada penduduk Desa Bedander, menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa ini terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana Tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Blitar setiap tahunnya.
Raja Jayanegara: Pemerintahan yang Penuh Pergolakan
Raja Jayanegara, yang juga dikenal dengan nama Kala Gemet, lahir pada tahun 1294 dan wafat pada tahun 1328. Ia adalah maharaja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah dari tahun 1309 hingga 1328 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanegara terkenal dengan banyak pergolakan yang mewarnai sejarah awal kekaisaran Majapahit.
Menurut kitab Pararaton, Jayanegara meninggal akibat dibunuh oleh Ra Tanca, tabib istananya. Prabu Jayanegara didharmakan di Candi Bajang Ratu, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Nama asli Jayanegara adalah Kalagemet, putra Raden Wijaya dan Dara Petak dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Dara Petak dibawa ke tanah Jawa oleh Kebo Anabrang sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit pada tahun 1293.
Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, menjadikan Dara Petak sebagai istri Tinuheng Pura atau istri yang dituakan di istana. Meskipun nama Dara Petak tidak disebutkan dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit, menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya menikahi empat putri Kertanagara: Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Jayanegara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari, yang diyakini sebagai nama lain Dara Petak.
Pemberontakan dan Kegelisahan
Nagarakretagama mencatat bahwa Jayanegara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri (Daha) pada tahun 1295. Nama Jayanegara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Pada tahun 1309, Jayanegara naik takhta menggantikan ayahnya, Raden Wijaya. Pemerintahan Jayanegara diwarnai banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya, terutama karena Jayanegara adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni.
Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanegara naik takhta, dipimpin oleh Ranggalawe pada tahun 1295 dan Lembu Sora pada tahun 1300. Pemberontakan lainnya termasuk Juru Demung pada tahun 1313, Gajah Biru pada tahun 1314, Mandana dan Pawagal pada tahun 1316, serta Ra Semi pada tahun 1318. Namun, pemberontakan yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319.
Ibu kota Majapahit berhasil direbut oleh kaum pemberontak, dan Jayanegara terpaksa mengungsi ke desa Badander dikawal para prajurit bhayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada. Gajah Mada kemudian kembali ke ibu kota untuk menyusun kekuatan dan, berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, kelompok Ra Kuti berhasil dihancurkan.
Hubungan dengan Dinasti Yuan
Pada tahun 1321, seorang pengembara misionaris bernama Odorico da Pordenone mengunjungi Pulau Jawa dan menyaksikan pemerintahan Jayanegara. Ia mencatat bahwa pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa, tetapi berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit. Hal ini mengulangi kegagalan mereka pada tahun 1293.
Hubungan antara Majapahit dan Mongol kemudian membaik. Catatan Dinasti Yuan menyebutkan bahwa pada tahun 1325, pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai Adityawarman, putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanegara sendiri. Ayah Adityawarman adalah bekas pejabat Singosari yaitu Mahamantri I Hino Dyah Adwayabrahma.
Akhir Tragis Pemerintahan Jayanegara
Baca Juga : Hari Jadi Ke-700 Blitar: Bupati Rini Ajak Masyarakat Wujudkan Kabupaten Blitar yang Maju dan Sejahtera
Pada tahun 1328, sembilan tahun setelah pemberontakan Ra Kuti, Jayanegara dibunuh oleh Ra Tanca, seorang pelantun syair yang sering diminta menghibur sang prabu. Cerita pembunuhan itu bermula ketika Tanca, yang juga seorang tabib, diminta mengoperasi bisul yang diderita Jayanegara. Dalam operasi tersebut, Tanca menikam Jayanegara di tempat tidurnya. Gajah Mada, yang menunggu di samping raja, segera bangkit dan menusuk Tanca hingga mati seketika itu juga.
Namun, peristiwa pembunuhan ini masih simpang siur dengan beberapa versi sejarah tentang siapa pembunuh dan apa motifnya. Menurut Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Jayanegara melarang kedua adiknya, Dyah Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi) dan Dyah Wiyat (Rajadewi Maharajasa), menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan, muncul desas-desus bahwa Jayanegara hendak menikahi kedua putri tersebut. Desas-desus ini disampaikan oleh Ra Tanca kepada Gajah Mada.
Versi lain menurut arkeolog Belanda N.J. Krom menyebutkan bahwa istri Tanca menyebarkan berita bahwa dirinya dicabuli Jayanegara. Mendengar hal itu, Gajah Mada malah balik menuduh Tanca menyebarkan fitnah. Tradisi Bali bahkan menyebutkan bahwa justru Gajah Mada yang menjadi otak pembunuhan tersebut. Konon, isu Raja Jayanegara mencabuli istri Ra Tanca adalah siasat dari Gajah Mada untuk memanfaatkan Tanca sebagai alat untuk membunuh Jayanegara.
Muhammad Yamin dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara menyebut bahwa Tanca merasa tidak senang pada raja atas kejadian yang menimpa Kuti, kawan Tanca sesama dharmaputera. Istri Tanca mengeluarkan perkataan bahwa dia mendapat gangguan dari Sang Prabu, yang kemudian menimbulkan kegemparan dalam keraton dan di pusat pemerintahan. Kesempatan ini digunakan Tanca untuk membunuh raja saat operasi bisul berlangsung.
Mengapa Prasasti Balitar I?
Meskipun Blitar memiliki sejumlah prasasti yang lebih tua, seperti Prasasti Kinewu, keputusan untuk menjadikan Prasasti Balitar I dari era Majapahit sebagai acuan utama dalam penetapan hari jadi ke-700 Blitar didasarkan pada beberapa alasan signifikan.
Prasasti Kinewu, yang dipahat pada bagian belakang arca Ganesa dari abad ke-X, menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Blitar merupakan bagian dari Kerajaan Balitung yang berpusat di Jawa Tengah.
Selain itu, pada abad ke-X hingga akhir abad ke-XII, beberapa prasasti seperti Pandelegan I 1117, Panumbangan I 1120, Geneng I 1128, Talang 1136, Japun 1144, Pandelegan II 1159, Mleri 1169, Jaring 1181, Semanding 1182, Palah 1197, Subhasita 1198, Mleri I 1198, dan Tuliskriyo 1202 juga mencatat keberadaan wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Blitar.
Pada masa Kerajaan Singasari, beberapa prasasti berkaitan dengan Kabupaten Blitar muncul, seperti Prasasti Petung Ombo dari tahun 1260 Masehi yang dikeluarkan saat pemerintahan Raja Kertanegara (1268 – 1292 M). Peninggalan lain dari era Singasari, seperti Patung Ganesa dari Boro dan Candi Sawentar, menunjukkan peran penting Blitar pada masa tersebut.
Namun, penetapan hari jadi Blitar mengacu pada Prasasti Balitar I dari era Majapahit. Prasasti ini, yang dikeluarkan pada 5 Agustus 1324 Masehi oleh Raja Jayanegara, adalah dokumen penting yang menandai pemberian status swatantra kepada Blitar. Status ini memberikan otonomi khusus kepada Blitar di bawah naungan Majapahit, yang mengakui peran penting Blitar dalam struktur kekuasaan Majapahit.
Meskipun Blitar memiliki prasasti-prasasti yang lebih tua, seperti Prasasti Kinewu dari abad ke-X dan prasasti-prasasti lainnya yang berasal dari abad ke-XII, keputusan untuk menjadikan Prasasti Balitar I dari era Majapahit sebagai acuan utama untuk hari jadi Blitar didasarkan pada beberapa alasan utama.
Pertama, Prasasti Balitar I merupakan satu-satunya prasasti yang secara eksplisit menghubungkan nama "Blitar" dengan status penting di bawah Kerajaan Majapahit. Pengakuan langsung dari Raja Jayanegara melalui prasasti ini menunjukkan bahwa Blitar tidak hanya dikenal secara regional, tetapi juga memiliki posisi khusus dalam konteks kekuasaan besar seperti Majapahit.
Kedua, Prasasti Balitar I menandai pemberian status swatantra kepada Blitar, yang berarti wilayah ini diberikan otonomi khusus di bawah naungan Majapahit. Ini adalah bentuk penghargaan yang menunjukkan pentingnya Blitar dalam struktur kekuasaan Majapahit, berbeda dari prasasti-prasasti sebelumnya yang tidak menyebutkan nama Blitar secara langsung.
Ketiga, penetapan hari jadi berdasarkan Prasasti Balitar I juga dipengaruhi oleh rasa "Nasionalisme Majapahit" yang masih kuat di masyarakat Blitar. Keputusan ini mencerminkan kebanggaan lokal atas hubungan historis mereka dengan Majapahit, sebuah era yang dianggap sebagai puncak kejayaan dalam sejarah Jawa. Dengan mengaitkan hari jadi dengan Prasasti Balitar I, masyarakat Blitar tidak hanya merayakan sejarah lokal mereka tetapi juga menegaskan identitas mereka sebagai bagian penting dari warisan Majapahit.
Sayangnya, keberadaan Prasasti Balitar I yang asli tidak lagi ditemukan, meskipun Pemerintah Kabupaten Blitar menyebutkan bahwa prasasti tersebut berada di depan Pendapa Agung Ronggo Hadinegoro. Namun, batu yang ada di sana memuat informasi mengenai Buyut Kamburan dari masa Raja Kertanegara dari Singhasari, bukan Prasasti Balitar I.
Dengan demikian, penetapan hari jadi Blitar yang berfokus pada Prasasti Balitar I bukan hanya merupakan pengakuan sejarah, tetapi juga perayaan identitas lokal dan kebanggaan atas warisan Majapahit. Hari jadi Blitar pada 5 Agustus setiap tahunnya menjadi momen penting untuk mengenang dan merayakan kontribusi wilayah ini dalam sejarah besar Kerajaan Majapahit.