JATIMTIMES- Di masa transisi kekuasaan dari Majapahit ke Demak, berbagai wilayah di Jawa mengalami pergeseran kekuatan yang signifikan. Kadipaten Srengat dan Kadipaten Balitar adalah dua daerah yang mencerminkan dinamika politik dan sosial pada era tersebut. Kadipaten Sengguruh di Malang, yang pada masanya cukup berpengaruh di Jawa Timur, juga memainkan peran penting dalam pergolakan tersebut.
Kedua kadipaten ini tidak hanya berperan dalam mempertahankan kekuasaan lokal, tetapi juga dalam menyebarkan agama dan budaya yang berbeda. Konflik dan persaingan antara pemimpin Srengat yang beragama Hindu dan pemimpin Balitar yang beragama Islam, menggambarkan ketegangan yang melanda wilayah Jawa saat itu. Sejarah panjang yang melibatkan keturunan bangsawan, perjuangan, dan perubahan agama, menandai transformasi penting dalam sejarah Indonesia, khususnya di tanah Blitar.
Baca Juga : Tuntas, Bakal Calon Wali Kota Malang Mas Dwi Telah Berangkatkan 100 Bus Ziarah Wali Lima Gratis
Wilayah Kadipaten Srengat dan Balitar
Pada masa pemerintahan Sri Prabu Kertawijaya (1447-1451 M), wilayah Majapahit mencakup sekitar 24 negara daerah, termasuk Daha, Kahuripan, Jagaraga, Pajang, Tanjungpura, dan lain-lain. Namun, menjelang keruntuhan Majapahit, muncul wilayah-wilayah baru seperti Demak, Pengging, Giri, Sengguruh, dan Surabaya. Di tanah Blitar, terdapat dua pemerintahan kadipaten: Kadipaten Balitar dan Kadipaten Srengat.
Kadipaten Balitar dipimpin oleh Adipati Arya Balitar yang beragama Islam, sementara Kadipaten Srengat dipimpin oleh Adipati Nilosuwarno yang beragama Hindu. Konflik antara kedua pemimpin ini mencerminkan ketegangan politik dan sosial pada masa peralihan tersebut, ketika kekuasaan Majapahit mulai melemah dan berbagai daerah mulai memisahkan diri untuk berjuang demi kekuasaan dan pengaruh.
Dalam naskah Tedhak Pusponegaran dan Serat Kandaning Ringgit Purwa, disebutkan bahwa Arya Balitar dan Adipati Sengguruh adalah putra Raden Kusen Adipati Terung, adik kandung Raden Patah, Sultan Demak Bintara. Raden Kusen menikah dengan Nyai Wilis, cucu Sinuhun Ampel Denta. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Arya Terung yang menjadi Adipati Sengguruh dan Arya Balitar yang menjadi Adipati Balitar. Keduanya adalah saudara sepupu Sultan Trenggana.
Ayah mereka, Raden Kusen, adalah putra Arya Damar atau Ario Abdillah, Adipati Palembang pertama setelah kota itu mengalami kekacauan akibat pemberontakan Parameswara dan dikuasai oleh bajak laut Cina. Arya Damar adalah putra Maharaja Majapahit Sri Kertawijaya atau Brawijaya V.
Arya Damar, dalam cerita tutur Bali dan Jawa, memiliki peran penting dalam upaya merebut Bali dan menumpas pemberontakan di Pasunggiri. Ia juga ditugaskan untuk menumpas pemberontakan Bhre Daha pada masa pemerintahan Rani Suhita dan berhasil melaksanakan tugas tersebut. Kisah penumpasan ini ditulis dalam "Carita Damarwulan."
Menurut "Babad Ratu Tabanan," Arya Damar adalah leluhur Raja-Raja Tabanan melalui keturunannya yang bernama Arya Yasan. Prasasti di Kompleks Makam Tumenggung Pusponegoro mencatat penggunaan nama gelar "Kyai," yang digunakan keturunan Arya Damar di Palembang, Jawa, dan Madura. Silsilah Raja-Raja Madura juga mencatat Arya Damar sebagai leluhur yang menurunkan Arya Menak Sunaya, kakek dari Kyai Demang Pelakaran dan leluhur Raja-Raja Madura seperti Cakraningrat dan Ario Adikoro.
Arya Balitar dan Ki Ageng Sengguruh
Dari silsilah yang jelas ini, dapat disimpulkan bahwa Adipati Arya Balitar dan Adipati Sengguruh adalah keturunan langsung dari Raja Majapahit Brawijaya V. Keduanya memiliki ikatan keluarga dengan Sultan Demak dan merupakan bagian dari garis keturunan Raden Rahmat, Bupati pertama Surabaya yang bergelar Sunan Ngampel.
Arya Terung yang kemudian bergelar Adipati Sengguruh, tidak hanya berperan sebagai penguasa tetapi juga berdakwah, menyebarkan ajaran Islam di berbagai daerah seperti Kipanjen, Pakishaji, Turyan, Taloka, Gribig, Panawijen, Karebet, Malang, Balitar, Panjer, Rawa, dan Pamenang. Namun, usaha dakwah Islam di pedalaman pada masa itu sangat menantang. Banyak tokoh penguasa setempat yang tidak senang dengan perkembangan Islam dan memberikan perlawanan, salah satunya adalah Adipati Srengat Nilosuwarno.
Di akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit menghadapi situasi genting, terancam oleh kekuatan dari luar dan dalam negeri. Naskah Pararaton yang diterbitkan oleh J.L.A. Brandes pada tahun 1920 mencatat dengan detail peristiwa-peristiwa dramatis yang menguji kesetiaan dan keberanian para pejuang Majapahit. Setelah wafatnya Sunan Ampel, seorang tokoh spiritual terkemuka yang dihormati baik di Demak maupun Majapahit, ketegangan semakin meningkat.
Setelah kematian Sunan Ampel, semangat para santri untuk memperluas pengaruh Islam di tanah Jawa semakin berkobar. Sunan Kalijaga, seorang wali terkenal dengan kebijaksanaannya, mencoba meredakan semangat juang para santri. Ia mengingatkan mereka bahwa Raja Bintara dari Demak masih menghormati Majapahit dengan mengirimkan upeti sebagai tanda kesetiaan. Namun, upaya damai ini gagal, dan para santri, yang tergabung dalam pasukan Suranata, memutuskan untuk menyerang Majapahit di bawah pimpinan Pangeran Ngudung dan Imam Masjid Demak.
Di pihak Majapahit, Raden Kusen, yang dikenal sebagai Adipati Terung, awalnya enggan terlibat dalam konflik. Sebagai adik Raden Patah dan paman Sultan Trenggana, posisinya sangat dilematis. Namun, setelah pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada berhasil memukul mundur serangan pertama para santri di Tuban, Adipati Terung akhirnya terpaksa bergabung dalam pertempuran demi melindungi tanah airnya.
Para santri tidak menyerah dan melancarkan serangan kedua, kali ini dipimpin oleh Sunan Ngudung yang mengenakan Jubah Antakusuma, pusaka legendaris. Pertarungan sengit meletus di medan perang. Adipati Terung, bersama Raja Pengging, Prabu Handayaningrat, dan putra mahkota Majapahit, Arya Gugur, memimpin pertahanan Majapahit.
Dalam kekacauan pertempuran, putra Handayaningrat, Kebo Kenanga, mundur karena takut pada gurunya, Syech Siti Jenar. Tindakan ini memicu kemarahan Handayaningrat yang kemudian tewas secara tragis setelah terkena tombak dan kepalanya dipenggal. Pasukan Majapahit yang kehilangan pemimpin utama mereka terpaksa mundur.
Sunan Ngudung kemudian menantang Adipati Terung. Pertarungan antara keduanya berlangsung sengit hingga akhirnya Sunan Ngudung jatuh dan tewas setelah ditombak oleh Adipati Terung. Jenazah Sunan Ngudung dibawa kembali ke Demak oleh para santri yang berduka.
Setelah kematian Sunan Ngudung, kepemimpinan berpindah kepada putranya, Raden Jakfar Shadiq, yang kelak dikenal sebagai Sunan Kudus. Dengan pusaka dari Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Arya Damar, Raden Jakfar Shadiq memimpin serangan ketiga ke Majapahit. Adipati Terung, mengetahui bahwa pemimpin baru pasukan santri adalah menantunya sendiri, memilih untuk tidak terlibat dalam pertempuran ini.
Pasukan santri yang mengandalkan kekuatan pusaka berhasil meraih kemenangan besar, sementara sisa pasukan Majapahit yang ketakutan oleh keajaiban pusaka tidak mampu bertahan lebih lama. Pasukan Demak menyerbu Sengguruh dan mengalahkan Raden Pramana, mengusir sisa-sisa kekuatan Majapahit.
Dengan jatuhnya Majapahit, Arya Terung, anak dari Raden Kusen Adipati Terung, diangkat sebagai Adipati Sengguruh oleh Sultan Demak, menandakan pergeseran kekuasaan yang signifikan. Kekuatan besar Majapahit di Nusantara akhirnya runtuh, menyisakan jejak heroik dari pertempuran dan pengorbanan para pejuangnya.
Dalam konteks ini, Nilosuwarno Adipati Srengat muncul sebagai tokoh yang setia kepada Majapahit, berbeda dengan Adipati Terung yang memilih untuk membelot dan bergabung dengan Demak. Sangat mungkin, Nilosuwarno adalah salah satu prajurit Majapahit yang turut berjuang dalam pertempuran melawan Demak, menegaskan posisinya sebagai pejuang setia Majapahit dalam konflik bersejarah ini.
Sejarah Adipati Sengguruh dan Kadipaten Sengguruh
Setelah runtuhnya Majapahit, sisa-sisa kekuasaan kerajaan besar ini masih tersisa di Jawa Timur bagian selatan, terutama di wilayah Sengguruh. Menurut naskah-naskah klasik seperti Serat Kandha dan Babad Sangkala, serta penelitian dari para ahli seperti Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud (1986), wilayah Sengguruh menjadi titik konsentrasi kekuatan Majapahit yang tersisa.
Baca Juga : Ternyata Ini Alasan Muka Boros Menurut Medis
Setelah penaklukan Majapahit oleh pasukan Islam, terdapat upaya bertahan dari sisa-sisa pengikut setia. Raden Pramana, putra dari Patih Majapahit, berhasil bertahan di daerah pegunungan Sengguruh untuk beberapa waktu sebelum akhirnya harus mundur karena serangan Laskar Sultan Demak. Di sisi lain, Babad Tanah Gresik dan naskah Trah Brawijaya V Tedhak Pusponegaran mencatat bahwa kekuasaan Hindu terakhir di Jawa Timur berada di Sengguruh, yang dipimpin oleh Adipati Sengguruh, Arya Terung. Arya Terung adalah anak dari Raden Kusen Adipati Terung, adik seibu dari Raden Patah, dan kemenakan Sultan Demak.
Masa pemerintahan Adipati Sengguruh menjadi periode akhir dari kekuasaan Majapahit di wilayah tersebut. Arya Terung, meskipun merupakan kemenakan Sultan Demak, tetap memeluk agama Hindu pada awalnya. Namun, dia dikenal sebagai pemimpin yang tangguh dan memiliki ambisi untuk mempertahankan wilayah Sengguruh.
Menurut Babad ing Gresik, Adipati Sengguruh pernah melakukan serangan ke daerah pesisir seperti Giri. Pasukannya yang dikenal sebagai pasukan Terung menyerbu Lamongan, namun menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Giri yang dibantu oleh laskar Cina Muslim. Pertempuran di Lamongan berakhir dengan kekalahan pasukan Lamongan. Selanjutnya, pasukan Sengguruh melanjutkan serangan ke Giri dan memasuki kompleks makam Prabu Satmata, yang sekarang dikenal sebagai makam Sunan Giri I.
Dalam pertempuran di Giri, Adipati Sengguruh menghadapi peristiwa yang mengubah pandangannya. Setelah membunuh juru kunci makam, She Grigis, pasukan Sengguruh diserang oleh kawanan lebah yang membuat mereka lari ketakutan. Arya Terung kemudian merasakan penyesalan dan mulai menghormati Prabu Satmata. Peristiwa ini menyebabkan Arya Terung memeluk agama Islam dan menjadikannya sebagai momen penting dalam perubahannya.
Setelah kegagalan penyerbuan ke Giri dan konversi ke Islam, Arya Terung menjadi salah satu penyebar dakwah Islam di wilayah pedalaman. Meskipun menghadapi perlawanan dari tokoh-tokoh penguasa lokal, Arya Terung berhasil menyebarkan Islam ke berbagai wilayah, termasuk di daerah Kediri dan sekitarnya. Salah satu contohnya adalah Desa Tunglur, di mana Arya Terung membangun gubuk kecil dan mengajarkan ajaran Islam. Kentongan yang dibunyikan untuk menandai waktu sholat menjadi simbol penyebaran Islam di daerah tersebut.
Namun, perjuangan Arya Terung tidak berakhir dengan mudah. Pemberontakan oleh lawan lamanya, seperti Raden Pramana dan sisa pasukannya, menjadi tantangan besar. Dalam pertempuran yang terjadi, pasukan Demak akhirnya berhasil merebut kembali Sengguruh dari tangan pemberontak. Arya Terung melanjutkan jabatannya sebagai Adipati Sengguruh hingga akhir hayatnya.
Peninggalan sejarah dari Adipati Sengguruh dan Kadipaten Sengguruh mencerminkan perubahan besar dalam kekuasaan di Jawa Timur. Dari kekuatan Hindu Majapahit yang terdesak hingga masa-masa penaklukan dan penyebaran Islam, cerita tentang Arya Terung dan Sengguruh menjadi bagian penting dari mosaik sejarah Nusantara. Sejarah ini menggambarkan perubahan kekuasaan dan penyebaran agama di wilayah Jawa Timur, yang memberikan kontribusi besar terhadap formasi sejarah dan budaya regional hingga saat ini.
Adipati Sengguruh Dincar Pemberontak
Di tengah ketegangan yang melanda Sengguruh, Adipati Arya Terung menghadapi ancaman serius dari berbagai pihak. Pemberontakan yang semakin meluas, dipicu oleh ketidakpuasan dan ambisi beberapa penguasa lokal, semakin membebani wilayah Sengguruh. Dikenal sebagai pemimpin yang gigih, Arya Terung berusaha untuk mempertahankan kekuasaan dan melindungi wilayahnya meskipun berada dalam posisi tertekan.
Menak Supethak, Adipati Pasuruan, berada di persimpangan jalan strategis. Sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar di wilayah tersebut, Menak Supethak harus bijaksana dalam membuat keputusan terkait dukungannya terhadap pemberontakan di Sengguruh. Menimbang dampak tindakan tersebut terhadap stabilitas wilayah dan masyarakat setempat, Menak Supethak berupaya mencari langkah yang tepat untuk mencapai tujuannya tanpa menimbulkan kerugian yang besar. Di tengah situasi yang memburuk, keputusan Menak Supethak menjadi krusial dalam menentukan arah konflik.
Pemberontakan di Sengguruh semakin memanas dengan dukungan dari Adipati Dengkol, putra Menak Supethak, Adipati Panjer dan Nilasuwarna Adipati Srengat. Konsekuensi dari dukungan tersebut adalah terjadinya pertempuran sengit yang melibatkan berbagai kekuatan. Konflik ini menambah kompleksitas situasi yang dihadapi Arya Terung dan masyarakat Sengguruh, yang harus mencari cara bijaksana untuk menghadapi tantangan ini.
Dalam pertempuran sengit tersebut, Arya Terung dan sisa-sisa prajurit setianya terpaksa mundur dari Kedhaton Sengguruh. Meski mengalami kemunduran, Arya Terung menunjukkan semangat perlawanan yang tak tergoyahkan. Ia membangun pertahanan baru di sekitar hilir Sungai Brantas, bertekad untuk melindungi wilayah yang masih berada di bawah kendalinya. Langkah ini mencerminkan determinasi Arya Terung dalam menghadapi situasi sulit dan upayanya untuk menjaga stabilitas wilayah.
Namun, kekuatan pemberontak terus menguat. Adipati Panjer, menjadi salah satu tokoh sentral dalam perlawanan ini. Dendam pribadi dan ambisi politik mendorong nya untuk memperjuangkan posisi dan kekuasaan, yang berujung pada konfrontasi dengan Arya Terung. Ketegangan ini mencapai puncaknya saat Adipati Panjer memimpin serangan terhadap Arya Terung dan pasukannya.
Setelah pertempuran sengit, pasukan Demak berhasil merebut kembali Sengguruh dari tangan pemberontak. Arya Terung diangkat kembali sebagai Adipati Sengguruh di bawah kekuasaan Demak, menandai perubahan signifikan dalam kekuasaan wilayah tersebut. Meskipun demikian, situasi tetap tegang, dan Arya Terung melanjutkan tugasnya sebagai Adipati Sengguruh hingga akhir hayatnya.
Ketika Adipati Sengguruh dan adiknya, Arya Balitar, kembali dari berziarah ke makam Sunan Giri melalui Sungai Brantas, mereka diserang oleh Adipati Srengat Nilosuwarno yang dibantu oleh Adipati Panjer. Rombongan peziarah yang hanya dikawal oleh 30 orang menghadapi serangan dari 1.000 orang. Pertarungan sengit pun terjadi dan berakhir dengan tewasnya Adipati Sengguruh dan Arya Balitar beserta para pengawalnya.
Adipati Sengguruh dimakamkan di selatan Kali Brantas, yang kini masuk wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Sementara itu, Adipati Arya Balitar dimakamkan di utara Kali Brantas, di bekas reruntuhan Candi Blitar, yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Kotamadya Blitar. Pada masa itu, lokasi pertempuran itu berada di wilayah Kabupaten Srengat yang dipimpin Adipati Nilosuwarno.
Kisah penyerangan ini menggambarkan betapa beratnya perjuangan menyebarkan agama Islam di tengah ketidakstabilan politik dan sosial pada masa itu. Peristiwa ini juga menunjukkan kompleksitas hubungan politik, keluarga, dan agama dalam sejarah Jawa pada masa transisi dari Majapahit ke Demak. Dengan memahami sejarah, kita bisa mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang dinamika kekuasaan dan konflik pada masa tersebut.