free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Kirab Kebo Bule di Keraton Surakarta: Warisan Budaya yang Menyatukan Sejarah dan Spiritualitas Jawa pada Malam Satu Suro

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

07 - Jul - 2024, 15:25

Placeholder
Kirab Kebo Bule di Surakarta tahun 2020: Momen bersejarah dalam tradisi budaya Jawa. (Foto: Ist)

JATIMTIMES- Malam Satu Suro yang menandai Tahun Baru Hijriyah, merupakan momen yang sangat dinanti oleh umat Muslim, khususnya masyarakat Jawa. Tradisi ini penuh dengan perayaan dan ritual yang menekankan warisan budaya yang kaya dan spiritualitas yang mendalam. 

Di antara berbagai tradisi yang dilaksanakan di Jawa untuk menyambut Tahun Baru Islam, Kirab Pusaka di Keraton Kasunanan Surakarta menjadi salah satu yang paling istimewa. Tradisi ini bukan hanya menarik perhatian warga lokal, tetapi juga para wisatawan mancanegara.

Baca Juga : Takir Plonthang, Selamatan Suroan di Jalanan Desa Bendilwungu

Kirab Pusaka di Keraton Surakarta selalu berlangsung dengan kemegahan dan keunikan tersendiri. Selain menampilkan pusaka-pusaka keraton yang dihormati, tradisi ini juga menampilkan iring-iringan kerbau bule yang dikenal sebagai Kebo Bule. Kerbau bule, terutama keturunan Kyai Slamet, adalah simbol kebesaran dan spiritualitas yang diyakini membawa berkah bagi masyarakat yang menyaksikannya.

Menurut KGPH Puger, seorang budayawan di Keraton Kasunanan Surakarta, sejarah kerbau bule memiliki akar yang dalam pada masa Kerajaan Demak. 

"Pada masa itu, Jawa dilanda wabah penyakit yang parah. Para pemimpin kerajaan bersama para wali mencari cara untuk menanggulanginya. Akhirnya, diputuskan untuk mengorbankan kerbau," ujar Gusti Puger saat dihubungi.

Gusti Puger menjelaskan lebih lanjut bahwa tradisi ini mengingatkan pada kisah perang Baratayudha, di mana Yudhistira diperintahkan oleh Bathara Guru untuk mengorbankan kuda sebagai upaya pembersihan. 

Di Jawa, kerbau yang dikorbankan untuk membersihkan dari wabah itu disebut sebagai tradisi mahesa lawung. Tradisi ini berlanjut dari era Kerajaan Demak hingga Keraton Surakarta saat ini. 

"Sejak Demak sampai Surakarta, tradisi ini diwariskan. Kerbau ini juga merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo saat berdirinya Surakarta dan terus dipelihara hingga sekarang," imbuhnya.

Setiap malam Satu Suro, kirab pusaka dimulai dari halaman Keraton Surakarta. Kerbau bule, yang selalu menjadi pusat perhatian, akan memakan sesaji yang disediakan oleh para abdi dalem. 

Sesaji ini terdiri dari berbagai macam makanan tradisional seperti ubi-ubian, kopi, buah-buahan, nasi, air kembang, dan ayam. Prosesi ini juga melibatkan pembakaran kemenyan dan dupa, menambah nuansa sakral dari perayaan tersebut.

Gusti Puger juga menambahkan bahwa kerbau bule ini selalu berada di barisan depan dalam kirab sebagai simbol doa untuk keselamatan. "Karena kerbau pada masa itu telah dikorbankan sehingga wabah berakhir, maka setiap malam 1 Sura ikut dikirab bersama pusaka. Ini berarti doa agar selalu selamat," jelasnya.

Tradisi ini tidak hanya melibatkan keluarga raja dan pangeran, tetapi juga ribuan abdi dalem yang turut serta dalam kirab. Mereka mengenakan busana adat Jawa berwarna hitam dan berjalan tanpa alas kaki, menambah kesan mendalam akan kesederhanaan dan kerendahan hati dalam tradisi ini.

Setelah kerbau bule selesai memakan sesaji, iring-iringan kirab mulai bergerak. Masyarakat yang menyaksikan acara ini kemudian berusaha untuk memperebutkan sisa sesaji dari kerbau bule keturunan Kyai Slamet. Mereka percaya bahwa sisa sesaji ini memiliki tuah dan dapat membawa keberuntungan. 

"Masyarakat Jawa khususnya di Surakarta percaya bahwa sesaji yang dimakan oleh kerbau ini membawa keberkahan. Bahkan kotoran kerbau ini pun dianggap memiliki kekuatan magis dan sering digunakan sebagai pupuk," tambah Gusti Puger.

Pandangan Akademik Terhadap Tradisi Kebo Bule

Penelitian Abdullah, W. dalam jurnal “Javanese Language and Culture in the Expression of Kebo Bule in Surakarta: An Ethnolinguistic Study” (2016) menyebutkan adanya perbedaan persepsi antara tujuan keraton melakukan kirab Kebo Bule dan anggapan masyarakat tentang budaya kirab pusaka dan Kebo Bule di keraton. 

 ini mengungkap bahwa keraton menganggap kirab sebagai cara untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya berterima kasih atas anugerah Tuhan melalui alam dan kehidupan agraris. Namun, masyarakat awam cenderung menambah cerita magis dan percaya pada pengaruh kerbau bule terhadap kehidupan sehari-hari mereka.

Baca Juga : Ditunjuk Kemensos sebagai IPWL, Ponpes Bahrul Maghfiroh Gunakan Metode Ini Obati Pecandu Narkoba

Dalam penelitian lainnya, Purnamasari, R. A., dan Utari, P. dalam “Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Dalam Kirab 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta” (2015) mencatat bahwa Kebo Bule dijadikan cucuk lampah (pengawal) pada perayaan Tahun Baru Islam adalah ide dari mantan Presiden Soeharto pada sekitar tahun 1970-an. 

"Keraton tidak memiliki pesan khusus untuk mengalap berkah atau berebut kotoran kerbau, sisa sesaji, dan simbol-simbol dalam perayaan tersebut, namun masyarakat menambahkan makna magis," jelas penelitian ini.

Ada dua versi utama yang menjelaskan asal-usul Kebo Bule. Versi pertama, menurut Sindy Nuranindya (2016), mengungkap bahwa kerbau bule ini merupakan pemberian Adipati Surobroto dari Ponorogo kepada Keraton Surakarta pada masa berdirinya kota tersebut setelah Geger Pacinan 1742. 

Pada peristiwa tersebut, tentara Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi menyerbu Keraton Kartasura, memaksa raja dan keluarganya untuk mengungsi. Dalam pengungsian ini, Sunan Pakubuwono II bertemu dengan Kiai Ageng Muhammad Besari dan Pangeran Kalipo Kusumo di Ponorogo, yang menyarankan untuk mencari kerbau putih sebagai pengawal pusaka keraton.

Versi kedua, menurut Wakit Abdullah (2016), menyatakan bahwa Kebo Bule sudah ada sejak zaman Sultan Agung. Kerbau ini dipelihara sebagai hewan klangenan atau kesayangan oleh raja-raja Mataram Islam dan diteruskan sebagai simbol spiritual hingga Keraton Surakarta.

Ketika Sunan Pakubuwono II akhirnya kembali ke Keraton Kartasura setelah pengungsian selama lima bulan, ia membawa serta kerbau bule dan beberapa santri terpilih. Kerbau ini kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari pusaka keraton dan turut dikirab setiap malam Satu Suro sebagai simbol kekuatan dan keberkahan.

Meskipun Keraton Kartasura mengalami kehancuran dan pusat pemerintahan berpindah ke Surakarta pada tahun 1745, tradisi kirab Kebo Bule tetap dilestarikan. Hingga kini, setiap malam Satu Suro, masyarakat dari berbagai penjuru datang untuk menyaksikan dan mengambil berkah dari prosesi kirab yang penuh dengan nilai-nilai sejarah dan spiritual ini.

Kirab Pusaka 1 Suro 2024: Tradisi dan Spiritualitas dalam Perayaan Tahun Baru Jawa

Keraton Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah, bersiap menggelar Kirab Pusaka 1 Suro 2024 untuk menyambut pergantian tahun baru menurut kalender Jawa. Tradisi turun-temurun ini, yang diselenggarakan setiap malam 1 Suro, juga bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram di kalender Hijriah. Malam 1 Suro memiliki makna mendalam dalam budaya Jawa, sebagai simbol peringatan pergantian waktu yang penting dan berhubungan dengan siklus kehidupan serta ritual spiritual.

Kirab Pusaka 1 Suro menjadi puncak rangkaian upacara tradisional di dalam keraton, yang menandai transisi dari tahun lama ke tahun baru. Dalam kirab ini, Keraton Kasunanan Surakarta menampilkan Kebo Bule yang disucikan serta berbagai pusaka keraton lainnya, yang diyakini sebagai lambang kekuatan dan roh nenek moyang.

Untuk tahun 2024, Kirab Pusaka 1 Suro akan diadakan pada Minggu, 7 Juli 2024, mulai pukul 23.59 WIB hingga dini hari, atau Senin, 8 Juli 2024. Prosesi kirab ini didahului oleh serangkaian tradisi turun-temurun yang akan dimulai pada Minggu sore.

Kirab ini bukan hanya acara budaya, tetapi juga waktu refleksi bagi masyarakat Surakarta. Setiap tahunnya, perayaan ini menyatukan komunitas dalam kebersamaan dan penghormatan terhadap tradisi. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, Kirab Pusaka 1 Suro terus menjadi penanda penting dalam kehidupan spiritual dan budaya Jawa, yang menjaga warisan nenek moyang tetap hidup dan relevan hingga hari ini.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Keraton Surakarta kebo bule kirab pusaka suro



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri