JATIMTIMES - Sejarah Nusantara dipenuhi dengan kisah-kisah heroik dari para tokoh yang mempertaruhkan hidup mereka demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan bangsa. Salah satu cerita paling heroik dan penuh dengan pengorbanan adalah kisah gugurnya Sri Makurung Prabu Handayaningrat, atau yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Pengging Sepuh. Prabu Handayaningrat adalah seorang pemimpin yang gagah berani dan penuh tekad dalam mempertahankan kejayaan Kerajaan Majapahit dari ancaman yang terus-menerus dari Kesultanan Demak Bintara.
Garis Keturunan Mulia
Baca Juga : Unisba Blitar Luncurkan Program RPL untuk Program S1: Lulus Lebih Cepat, Biaya Terjangkau
Sri Makurung Prabu Handayaningrat, yang lahir dengan nama asli Jaka Sengara, adalah keturunan langsung dari Mahapatih Gajah Mada, seorang tokoh besar dalam sejarah Majapahit yang legendaris. Jaka Sengara adalah putra Harya Pandaya III, yang merupakan salah satu pilar penting dalam upaya menjaga kejayaan Majapahit di tengah kekacauan politik. Lahir dari keluarga terhormat, Jaka Sengara tumbuh dengan semangat dan nilai-nilai kebangsawanan yang tinggi. Sejak kecil, ia telah dibekali dengan pendidikan dan prinsip-prinsip yang kuat, terutama dalam hal kesetiaan pada Majapahit.
Pengorbanan Awal
Pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V, Kerajaan Majapahit menghadapi ancaman dari berbagai penjuru, salah satunya dari Blambangan yang dipimpin oleh Adipati Menak Daliputih. Ketika Putri Sekar Kedhaton, putri dari Prabu Brawijaya V, diculik oleh Menak Daliputih, Jaka Sengara tidak ragu untuk berperang melawan Blambangan. Dengan keberanian dan strategi yang cerdik, ia berhasil membebaskan Putri Sekar Kedhaton dan mengembalikan kehormatan Majapahit. Sebagai bentuk penghargaan, Prabu Brawijaya V memberikan wilayah Pengging kepada Jaka Sengara dan menjadikannya sebagai Adipati Handayaningrat, memimpin wilayah tersebut dengan gelar Sri Makurung Prabu Handayaningrat.
Pertahanan Terakhir Majapahit
Pada saat-saat genting di ujung abad ke-15, ketika kerajaan Majapahit sedang menghadapi ancaman dari dalam dan luar, tercatat dalam naskah Pararaton yang diterbitkan oleh J.L.A. Brandes pada tahun 1920, terjadi peristiwa yang menguji kesetiaan dan keberanian para pejuang Majapahit. Kisah ini bermula setelah wafatnya Sunan Ampel, seorang tokoh spiritual terkemuka yang dihormati baik oleh pengikutnya di Demak maupun oleh pihak Majapahit.
Sunan Kalijaga, seorang wali yang terkenal dengan kebijaksanaannya, mencoba meredam hasrat para santri yang ingin menyerang Majapahit. Sunan Kalijaga mengingatkan mereka bahwa Raja Bintara (Demak) masih menghormati Majapahit dengan mengirimkan upeti sebagai tanda kesetiaan. Namun, upaya damai ini gagal. Para santri, yang tergabung dalam pasukan Suranata, akhirnya memutuskan untuk menyerang Majapahit. Mereka dipimpin oleh Pangeran Ngudung, Imam Masjid Demak, dan beberapa pemuka agama lainnya yang bersemangat tinggi untuk memperluas pengaruh Islam di tanah Jawa.
Di pihak Majapahit, Raden Kusen, yang lebih dikenal sebagai Adipati Terung, menolak awalnya untuk terlibat dalam konflik. Sebagai adik Raden Patah dan paman Sultan Trenggana, dia berada dalam posisi yang sulit. Namun, ketika pasukan Majapahit dipimpin oleh Patih Gajah Mada (atau yang dianggap sebagai Gajah Mada dalam historiografi Jawa) berhasil memukul mundur serangan pertama para santri di Tuban, ia tidak bisa lagi menghindari panggilan untuk bertempur demi tanah airnya.
Serangan Kedua
Pasukan santri tidak menyerah. Mereka kembali menyerang, kali ini dipimpin oleh Sunan Ngudung yang mengenakan Jubah Antakusuma, sebuah pusaka legendaris yang konon pernah dikenakan oleh Nabi Muhammad SAW. Pasukan Majapahit, kini dipimpin oleh Adipati Terung bersama Raja Pengging, Prabu Handayaningrat, dan putra mahkota Majapahit, Arya Gugur, bersiap untuk mempertahankan kerajaan mereka. Adipati Terung dan Handayaningrat, dua tokoh muslim yang setia kepada Majapahit, menunjukkan bahwa kesetiaan mereka kepada tanah air lebih kuat daripada ikatan agama.
Pertempuran sengit pecah. Dengan semangat yang membara, kedua pihak bertempur tanpa henti hingga malam hari. Tidak ada pihak yang benar-benar unggul, dan saat malam tiba, kedua belah pihak terpaksa berhenti untuk beristirahat dan menceritakan kisah heroik pertempuran mereka satu sama lain di bawah langit malam.
Namun, dalam kekacauan pertempuran, putra Handayaningrat, Kebo Kenanga, memilih untuk mundur karena takut pada gurunya, Syech Siti Jenar. Tindakan ini membuat Handayaningrat marah dan bertarung dengan amarah yang membara di medan perang. Dalam pertarungan melawan Sunan Ngudung, Handayaningrat akhirnya tewas dengan tragis setelah terkena tombak di dadanya, jatuh dari kuda dan kepalanya dipenggal. Pasukan Majapahit yang kehilangan pemimpin mereka, terpaksa mundur dalam kekacauan.
Sunan Ngudung, dengan semangat juangnya yang tak tergoyahkan, kemudian menantang Adipati Terung. Pertarungan antara keduanya berlangsung sengit. Akhirnya, Sunan Ngudung jatuh dari kudanya dan tewas setelah ditombak oleh Adipati Terung. Jenazahnya kemudian dibawa kembali ke Demak oleh para santri yang berduka.
Kepemimpinan Baru dan Serangan Ketiga
Setelah kematian Sunan Ngudung, putranya, Raden Jakfar Shadiq, yang kelak di kemudian hari bergelar Sunan Kudus, mengambil alih kepemimpinan. Dengan membawa pusaka dari Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati, serta peti pusaka dari Arya Damar, Adipati Palembang, yang memiliki kekuatan luar biasa untuk memanggil hujan, angin, dan pasukan siluman, Raden Jakfar Shadiq memimpin serangan ketiga ke Majapahit. Adipati Terung, yang mengetahui bahwa pemimpin baru pasukan santri adalah menantunya sendiri, memilih untuk tidak ikut serta dalam pertempuran ini.
Dengan kekuatan pusaka yang menakjubkan, pasukan santri berhasil memperoleh kemenangan besar. Pasukan Majapahit yang tersisa, yang sudah ketakutan oleh keajaiban pusaka tersebut, tidak mampu bertahan lebih lama. Sisa-sisa kekuatan Majapahit bertahan di Sengguruh, di bawah pimpinan Raden Pramana. Namun, pasukan Demak kemudian menyerbu Sengguruh dan berhasil mengalahkan Raden Pramana serta mengusir sisa-sisa kekuatan Majapahit.
Arya Terung, putra dari Raden Kusen Adipati Terung, akhirnya diangkat menjadi Adipati Sengguruh oleh Sultan Demak, dan wilayah tersebut menjadi bagian dari kekuasaan Demak. Majapahit, kerajaan besar yang pernah menguasai Nusantara, akhirnya runtuh, meninggalkan kisah-kisah heroik tentang pertempuran dan pengorbanan para pejuangnya yang setia hingga akhir.
Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar: Benturan Ajaran dan Kekuasaan di Bawah Bayang-bayang Demak
Setelah kematian Sri Makurung Prabu Handayaningrat, Kerajaan Pengging tidak langsung tunduk kepada Demak. Pengging berada di bawah kendali putra tertua Handayaningrat, Raden Kebo Kenanga, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging. Seorang pemimpin cerdas dan visioner, Ki Ageng Pengging tidak hanya melanjutkan perjuangan politik ayahnya tetapi juga menjadi tokoh kunci dalam mempertahankan Pengging dari ekspansi Demak.
Ki Ageng Pengging adalah murid dari Syekh Siti Jenar, seorang ulama yang ajarannya sering dianggap kontroversial oleh otoritas agama pada masanya. Syekh Siti Jenar mengajarkan konsep Sasahidan, yang menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah manifestasi dari Tuhan. Pandangan ini bertentangan dengan ajaran ortodoks Islam yang dianut oleh Wali Songo dan Kesultanan Demak. Oleh karena itu, Kesultanan Demak, di bawah pimpinan Sultan Trenggana, memandang keberadaan Ki Ageng Pengging dan ajarannya sebagai ancaman besar.
Sultan Trenggana berusaha meredam ancaman dari Pengging melalui negosiasi, mengirim Ki Wanapala, seorang sesepuh dari Demak, untuk berunding dengan Ki Ageng Pengging. Namun, usaha tersebut gagal dan pertempuran tampaknya tak terelakkan. Sunan Kudus, putra dari Sunan Ngudung, diutus untuk menangani konflik ini dengan tegas. Dalam pertemuan yang penuh ketegangan, Sunan Kudus menuduh Ki Ageng Pengging menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Namun, Ki Ageng Pengging menolak tuduhan tersebut dengan keras. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang absolut, yang tidak bisa dipertukarkan.
Baca Juga : PPDB SMA Tahap 2 di Blitar Jalur Akademik Berakhir Malam Ini: Kuota Hanya 25% dari Pagu Siswa
Sunan Kudus kemudian menyampaikan bahwa ia membawa perintah dari Sultan untuk menyaksikan kematian Ki Ageng Pengging. Dalam ketenangan yang luar biasa, Ki Ageng Pengging mempersiapkan dirinya untuk mati dengan kehormatan, bahkan memberikan instruksi kepada Sunan Kudus untuk menyayat sikunya dengan keris agar kematiannya terlihat wajar. Ki Ageng Pengging, yang telah menjalani ajaran tasawuf tentang "mati sebelum mati", menghadapi ajalnya dengan tenang. Sunan Kudus pergi setelah menyaksikan saat-saat terakhir Ki Ageng Pengging, yang masih sempat membalas salam terakhirnya. Kematiannya menjadi berita duka bagi seluruh Pengging.
Seperti Ki Ageng Pengging, gurunya, Syekh Siti Jenar, juga menghadapi nasib yang tragis. Babad Demak mencatat bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para wali di Masjid Agung Demak, tetapi tidak ada bukti jasadnya yang ditemukan. Cerita serupa muncul dalam Babad Cerbon dan Pustaka Nagarakretabhumi, yang menyatakan bahwa Sunan Kudus, menggunakan keris pusaka Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, menikam Syekh Lemah Abang dalam eksekusi di Keraton Kasepuhan Cirebon. Anehnya, baik dalam kasus Syekh Siti Jenar maupun Syekh Lemah Abang, mayat mereka tidak pernah ditemukan. Sebaliknya, hanya ada bangkai anjing yang dianggap sebagai jelmaan mereka.
Sejarawan Cirebon dari Keraton Kanoman, TD. Sudjana, menuturkan bahwa kampung Kasunean di Cirebon sebenarnya berkaitan dengan upaya Sunan Gunung Jati untuk melindungi pengikut Pengging dari pengejaran Sultan Demak. Ini mengisyaratkan bahwa sejarah yang melibatkan Sunan Kudus dan upaya penghancuran kekuatan Pengging memerlukan peninjauan ulang. Dengan demikian, perlu ada kajian ulang yang objektif terhadap naskah-naskah historiografi yang ada untuk meluruskan kisah-kisah ini dengan pendekatan sejarah yang lebih ilmiah.
Warisan dan Pengaruh Sri Makurung Prabu Handayaningrat: Dari Pengging ke Mataram
Meski Sri Makurung Prabu Handayaningrat gugur di medan perang, warisannya tidak tenggelam bersama kepergiannya. Keturunannya tidak hanya melanjutkan garis darah, tetapi juga membawa perubahan signifikan dalam sejarah Jawa. Dua putranya yang utama, Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, memainkan peran penting dalam mempertahankan dan melanjutkan pengaruh keluarga mereka. Namun, salah satu tokoh paling terkenal dari keturunan ini adalah Joko Tingkir, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang.
Joko Tingkir, putra dari Raden Kebo Kenanga, tumbuh dalam bayang-bayang konflik dan ketidakpastian. Seiring waktu, dia bangkit sebagai salah satu pemimpin paling karismatik dalam sejarah Jawa. Ketika ia berhasil mendirikan Kerajaan Pajang dan memerintah dengan gelar Sultan Hadiwijaya, ia tidak hanya melanjutkan warisan keluarganya tetapi juga mempersiapkan panggung bagi generasi berikutnya. Di bawah kepemimpinannya, Pajang menjadi kekuatan baru yang penting di Jawa.
Setelah wafatnya Joko Tingkir, warisan kepemimpinannya diteruskan oleh putranya, Pangeran Benowo. Pangeran Benowo, meskipun menghadapi berbagai tantangan, berhasil mengambil alih kendali Kerajaan Pajang. Dalam masa pemerintahannya, Pajang menjadi bagian integral dari Kerajaan Mataram Islam yang sedang tumbuh di bawah Panembahan Senopati. Ini menandai peralihan penting dalam kekuasaan dan pengaruh dari Pajang ke Mataram.
Pangeran Benowo tidak hanya berperan dalam politik dan pemerintahan, tetapi juga melalui keturunannya, terus membentuk sejarah Jawa. Putrinya, Ratu Mas Hadi, menikah dengan Panembahan Hanyakrawati, putra Senopati. Dari pernikahan ini, lahir seorang tokoh besar yang kemudian akan menjadi pusat perhatian dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam: Sultan Agung.
Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja terbesar dalam sejarah Jawa. Kepemimpinannya tidak hanya mengonsolidasikan kekuasaan Mataram, tetapi juga memperluas pengaruh kerajaan tersebut ke hampir seluruh Jawa. Di bawah pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaannya, dan Sultan Agung menjadi simbol kekuatan dan kebesaran kerajaan ini.
Melalui garis keturunan yang dimulai dari Sri Makurung Prabu Handayaningrat dan terus melalui Joko Tingkir hingga Sultan Agung, kita melihat bagaimana satu keluarga bisa membawa dampak yang begitu besar terhadap sejarah dan perkembangan Jawa. Warisan ini berlanjut hingga sekarang, memengaruhi kerajaan-kerajaan seperti Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Dengan demikian, warisan Sri Makurung Prabu Handayaningrat tidak hanya berakhir dengan kematiannya di medan perang, tetapi berkembang menjadi jaringan pengaruh dan kekuasaan yang mendalam dalam sejarah Jawa. Garis keturunannya telah membentuk dan membimbing perkembangan politik, sosial, dan budaya di Jawa selama berabad-abad, meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapuskan oleh waktu.
Makam dan Tempat Ziarah
Setelah kematiannya, Sri Makurung Prabu Handayaningrat dimakamkan di Dukuh Malangan, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Makamnya menjadi tempat ziarah yang dihormati, bersama dengan makam Retna Pembayun, istri kesayangannya, dan Raden Kebo Amiluhur, putra mereka yang meninggal muda. Tempat ini menjadi saksi bisu dari pengorbanan dan perjuangan Sri Makurung Prabu Handayaningrat dalam mempertahankan kehormatan Majapahit.
Kisah Sri Makurung Prabu Handayaningrat adalah sebuah pengingat akan pentingnya kesetiaan dan pengorbanan demi tanah air. Meskipun Majapahit pada akhirnya runtuh, semangat dan tekad yang ditunjukkan oleh Prabu Handayaningrat dan keturunannya tetap hidup dan menginspirasi generasi-generasi berikutnya. Mereka mengajarkan bahwa dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan, kesetiaan pada kebenaran dan keberanian untuk mempertahankan kehormatan bangsa adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar.
Sejarah Sri Makurung Prabu Handayaningrat bukan hanya sekedar cerita tentang pertempuran dan politik, tetapi juga tentang nilai-nilai yang lebih dalam. Dalam menghadapi tekanan dari luar, Prabu Handayaningrat menunjukkan bahwa keberanian dan kesetiaan adalah kunci untuk menjaga kehormatan dan martabat bangsa. Warisannya terus hidup melalui keturunannya dan terus memberikan inspirasi bagi mereka yang menghormati dan menghargai sejarah dan nilai-nilai luhur dari perjuangan tersebut.
Kisah ini juga mengajarkan kita bahwa dalam setiap perjuangan, ada harga yang harus dibayar, tetapi pengorbanan tersebut tidak akan pernah sia-sia jika dilakukan demi kebenaran dan keadilan. Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk menghargai dan belajar dari sejarah, serta melanjutkan perjuangan untuk menjaga dan memelihara keutuhan dan kehormatan bangsa kita.