JATIMTIMES - Dalam diskusi bertema sumber energi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Yayasan Langkah Bumi Indonesia pada Minggu (9/6/2024) malam, peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Cahyo Purnomo Prasetyo, ST M.MT, mengungkapkan temuan menarik mengenai tanaman nipah yang berpotensi diolah menjadi bahan bakar.
Cahyo, yang juga mahasiswa program doktoral di ITB, memaparkan hasil kajiannya yang menunjukkan bahwa tanaman nipah, yang banyak tumbuh di hutan mangrove, memiliki karakteristik yang mirip dengan kelapa sawit.
Baca Juga : Bupati Blitar Pimpin Soft Launching AMDK BLIT: Inovasi Terbaru dari PDAM Tirta Penataran
"Dari hasil kajian awal saya, ada salah satu tanaman yang banyak tumbuh di hutan mangrove, yaitu tanaman nipah," ungkapnya dalam diskusi yang berlangsung di Read Cafe Kediri.
Menurut Cahyo, buah nipah dapat diolah menjadi bioetanol atau bensin yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan dibandingkan kelapa sawit yang juga bersaing dengan kebutuhan pangan seperti minyak goreng. "Tanaman nipah juga punya buah yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang lebih berkelanjutan dari kelapa sawit," jelasnya.
Selain manfaat ekonomisnya, nipah juga memiliki keunggulan ekologis yang signifikan. Sebagai tanaman yang tumbuh di hutan mangrove, nipah berperan dalam rehabilitasi lingkungan.
"Dari sisi ekologis, nipah ini lebih ramah lingkungan karena bisa merehabilitasi hutan dan juga bernilai ekonomis," tambah Cahyo yang juga merupakan dosen di Universitas Kahuripan Kediri.
Tanaman nipah tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, hingga Jawa. Sebagai tanaman purba, nipah merupakan tumbuhan asli Indonesia yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, meskipun potensinya sangat besar sebagai sumber energi terbarukan.
Penelitian Cahyo tidak hanya berhenti pada penemuan bahan bakar baru, tetapi juga mencakup potensi, dampak lingkungan, potensi konflik, dan rekomendasi yang diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut. "Penelitian yang saya lakukan ini membahas lebih jauh tentang potensinya, dampak lingkungannya, potensi konfliknya, hingga rekomendasi yang perlu diperhatikan," tegasnya.
Menariknya, Pertamina juga telah menunjukkan minat terhadap nipah sebagai bahan dasar biodiesel pengganti minyak kelapa sawit (CPO), yang saat ini menghadapi penolakan dari pasar Eropa dan bersaing dengan kebutuhan pangan.
Baca Juga : Mengenal FIP UM, Fakultas Unggul Bidang Pendidikan yang Banyak Menghasilkan Lulusan Berkualitas
"Kalau nipah ini kan tidak berebut dengan bahan pangan. Hanya sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkannya untuk dikonsumsi, itu pun diolah jadi minuman tuak," jelas Cahyo.
Cahyo menegaskan bahwa penelitian ini memerlukan waktu yang panjang dan masih membutuhkan riset lanjutan untuk penyempurnaan. "Penelitian ini butuh waktu yang panjang dan riset lanjutan," tutupnya.
Pada diskusi yang sama, Patna Sunu, salah satu pegiat Yayasan Langkah Bumi Indonesia, menekankan pentingnya menjaga lingkungan dalam pengembangan sumber energi terbarukan. "Kami berharap sumber energi terbarukan apa pun itu jangan sampai menjadi aktivitas yang merusak bumi dan harus memperhatikan dampak ekologis," ungkapnya.
Patna menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan bumi dengan pola hidup yang ramah lingkungan dan hemat energi. "Sebagai manusia yang hidup di bumi, kita perlu menjaga lingkungan dan berhemat energi agar bumi ini tetap lestari," tutupnya.