JATIMTIMES- Sultan Agung, salah satu raja besar Kerajaan Mataram Islam, melakukan ziarah penting ke makam Sunan Tembayat di Jabalkat, yang kini dikenal sebagai Bayat, Klaten. Ziarah ini memiliki makna mendalam tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara strategis bagi kerajaan.
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun setelah kegagalan dua kali penyerbuan ke Batavia oleh Mataram.
Baca Juga : Hasil Laga Indonesia vs Tanzania: Peluang Banyak Tapi Berakhir 0-0
Sunan Tembayat, atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Pandanaran II, adalah seorang adipati dari Samarang pada masa Kesultanan Demak. Setelah melepaskan jabatannya, ia memilih jalan spiritual sebagai seorang pandhita dan menjadi penyebar agama Islam di wilayah Jawa bagian selatan, khususnya di daerah Wedhi, Bayat, Klaten, dan sekitarnya. Berkat perannya, wilayah tersebut kemudian menjadi pusat trah Kajoran yang berpengaruh.
Sunan Tembayat, adalah menantu dari Sunan Pandanaran I, pendiri Kota Semarang. Ia juga menjadi murid dari Sunan Kalijogo, salah satu Wali Songo yang terkenal. Makamnya berada di Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan ia dikenal dengan nama asli Sayyid Hasan Nawawi, sering dipanggil Raden Kaji.
Sunan Tembayat adalah putra dari Sayyid Maulana Hamzah (Pangeran Tumapel) Lamongan, yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel Surabaya.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Tembayat menikah sebanyak sembilan kali, termasuk dengan putri tercantik dari Sunan Pandanaran I. Di Bayat-Klaten, ia memiliki dua istri, yaitu Nyai Ageng Kaliwungu, putri dari Bathoro Kathong, dan Nyai Ageng Krakitan. Selain itu, Sunan Tembayat juga masih merupakan keponakan Sunan Kalijogo dari jalur istrinya, Sayyid Maulana Hamzah.
Sunan Tembayat tidak hanya dikenal karena peran spiritualnya tetapi juga karena kontribusinya dalam penyebaran Islam di Jawa. Melalui pengajarannya dan bimbingan spiritualnya, ia berhasil menarik banyak pengikut dan membangun komunitas yang kuat di wilayah selatan Jawa.
Sebagai tokoh penting, ia berhasil menjadikan wilayah tersebut sebagai pusat penyebaran Islam yang berpengaruh, terutama dengan berdirinya trah Kajoran.
Pengaruh Sunan Tembayat semakin kuat setelah pernikahannya dengan putri-putri terkemuka di Jawa. Dengan memperkuat hubungan keluarga dan jaringan sosialnya, ia berhasil menciptakan hubungan yang erat antara berbagai wilayah dan keluarga penting di Jawa. Hal ini tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pemimpin spiritual tetapi juga sebagai tokoh yang dihormati dalam struktur sosial masyarakat.
Keberhasilan Sunan Tembayat dalam menyebarkan Islam juga didukung oleh kedekatannya dengan tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Sunan Kalijogo. Sebagai murid dari Sunan Kalijogo, ia mendapatkan banyak ilmu dan bimbingan yang kemudian ia teruskan kepada para pengikutnya. Kedekatan ini juga memperkuat legitimasi dan pengaruhnya di mata masyarakat, karena ia dianggap memiliki hubungan langsung dengan para wali yang dihormati.
Makam Sunan Tembayat di Paseban, Bayat, Klaten, hingga kini menjadi tempat ziarah yang penting bagi banyak orang. Makam ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan kepada Sunan Tembayat tetapi juga menjadi tempat yang sakral bagi para peziarah yang mencari berkah dan spiritualitas.
Pemugaran makam yang dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1633, setelah ziarahnya ke makam tersebut, menunjukkan betapa pentingnya peran Sunan Tembayat dalam sejarah dan budaya Jawa.
Ziarah Sultan Agung ke Makam Sunan Tembayat bukanlah sekadar ziarah biasa, melainkan sebuah peristiwa yang sangat dimungkinkan memiliki kaitan erat dengan kegagalan dua kali serangan Mataram ke Batavia. Sebagai raja dan panglima perang yang mahir, Sultan Agung berhasil membangun dan mengonsolidasikan Mataram menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.
Salah satu upaya terbesar Sultan Agung adalah penyerbuan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, bertujuan untuk mengusir VOC dari Jawa dan menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer. Hubungan antara Mataram dan VOC dimulai pada tahun 1621, namun memburuk setelah VOC menolak membantu Mataram dalam serangannya ke Surabaya. Penolakan ini memicu serangan besar Sultan Agung ke Batavia.
Serangan pertama pada 22 Agustus 1628 melibatkan 59 perahu dan 900 prajurit di bawah Tumenggung Bahureksa dari Kendal. Gelombang kedua terjadi pada 3 Desember 1628 dengan tentara Mataram yang lebih besar. Meskipun gagal mengusir VOC, upaya ini menjadi episode penting dalam sejarah perjuangan Mataram melawan kolonialisme.
Setelah kegagalan dua kali serangan ke Batavia, Sultan Agung melakukan perjalanan spiritual ke tempat keramat di Tembayat dengan tujuan ‘ngalap berkah’ dan membawa sajen. Meski dalam Islam tidak ada tradisi sajen, tindakan Sultan Agung ini mungkin dimaksudkan untuk memperoleh berkah dari almarhum yang dihormati, yaitu Sunan Tembayat.
Dalam surat bertanggal 3 Juni 1633, Pieter Franssen menyebut kunjungan tersebut sebagai feitico, sebuah istilah Portugis yang berarti sihir. Hal ini mungkin disebabkan oleh pandangan masyarakat Tembayat yang lebih mendukung kerajaan Pajang, pendahulu Mataram, dan kemudian berbalik melawan Dinasti Mataram setelah kegagalan ekspedisi ke Batavia.
Oleh karena itu, Sultan Agung merasa perlu mendamaikan kekuatan spiritual di Tembayat dengan Dinasti Mataram melalui pendekatan yang sungguh-sungguh.
Kunjungan ziarah ke desa keramat tersebut merupakan peristiwa langka bagi perwakilan Dinasti Mataram, terutama karena pada zaman itu, Sunan Tembayat tidak begitu disukai di kalangan istana Mataram. Makam Sunan Tembayat lebih sering didekati oleh rakyat kecil, pedagang, dan perajin yang mengharapkan perbaikan nasib mereka. Oleh karena itu, ziarah Sultan Agung ke makam ini pasti menjadi suatu pengorbanan harga diri yang besar, dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa.
Melalui ziarah ini, Sultan Agung mungkin berusaha untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Sunan Tembayat dan mengatasi perpecahan yang terjadi antara pendukung Pajang dan Dinasti Mataram. Langkah ini menunjukkan bagaimana Sultan Agung mencoba menyatukan kembali kekuatan-kekuatan yang ada untuk memperkokoh kekuasaan dan pengaruhnya di Jawa.
Ziarah ini tidak hanya berfungsi sebagai tindakan spiritual tetapi juga sebagai strategi politik yang cermat untuk memperkuat legitimasi dan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Sultan Agung, dengan segala kebesaran dan kebijaksanaannya, memahami pentingnya dukungan spiritual dalam memperkuat kekuasaan politiknya, dan kunjungan ini menjadi bukti nyata dari usahanya untuk mencapai tujuan tersebut.
Sepulang dari kunjungan tersebut, Sultan Agung memerintahkan pemugaran besar-besaran terhadap makam dan masjid Sunan Tembayat. Kompleks ini terletak di atas bukit Jabalkat, yang terkenal dengan ratusan anak tangganya. Perintah Sultan Agung mencakup pembaruan struktur makam dan masjid, sehingga memberikan penghormatan yang layak bagi seorang tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.
Pembangunan ini dimulai dengan sebuah gapura megah yang dilengkapi dengan candra sengkala Wisaya Anata Wisiking Ratu. Pada bilah-bilah kayu gapura tersebut tercatat waktu-waktu Raja berguru, yang menunjukkan tahun 1555 J atau bertepatan dengan 8 Juli 1633.
Di sisi lain gapura, terdapat tanggal-tanggal penting yaitu 18-19 September dan 12-13 Oktober 1633, yang menunjukkan bahwa gapura tersebut mulai atau selesai dibangun beberapa bulan setelah keputusan pembangunannya diambil.
Baca Juga : Heboh Wacana Tarif Air, Pengambilan Air Tanah Dilarang, Benarkah?
Selain gapura, Sultan Agung juga memerintahkan pembangunan sebuah pendopo kecil. Pendopo ini, menurut cerita setempat, dibangun sebagai tempat bersantap bagi sang Raja. Pendopo ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat istirahat, tetapi juga menjadi simbol penghormatan dan kedekatan spiritual Sultan Agung dengan Sunan Tembayat.
Pembangunan pendopo dan gapura ini menunjukkan perhatian Sultan Agung terhadap detail dan keagungan arsitektur, serta keinginannya untuk memastikan bahwa makam Sunan Tembayat dihormati dengan layak.
Selanjutnya, terdapat laporan yang mendetail mengenai usaha-usaha untuk memperindah makam di Tembayat. Patih Singaranu, yang merupakan salah satu pejabat terkemuka di kerajaan, diberi tugas yang sangat penting yaitu memugar makam keramat Sunan Tembayat.
Dalam pelaksanaannya, batu-batu yang digunakan untuk memperindah makam tersebut tidak boleh diangkut dengan kuda seperti biasanya, melainkan harus disampaikan oleh orang-orang yang dianggap pantas untuk melakukan tugas tersebut.
Mereka dengan penuh khidmat duduk bersila dalam deretan panjang, mengangkat dan menyampaikan batu-batu tersebut secara bergantian. Bahkan, jika diperlukan, hingga 300.000 orang dikerahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Seluruh kegiatan ini diawasi secara ketat oleh patih beserta para nayaka di Bayat dan Panembahan Purbaya di Mataram, memastikan bahwa setiap langkah dalam pemugaran makam berjalan sesuai dengan rencana.
Hasil dari usaha ini sungguh memukau, dengan makam yang menjadi semakin megah dan mempesona. Kedaton, atau bangunan utama di sekitar makam, tampak begitu agung, sedangkan di kedua sisinya, terdapat beberapa paseban yang memberikan kesan yang sangat anggun dan indah.
Pintu-pintu gerbang kecil berdiri berurutan, menjulang dengan kokoh dari depan hingga ke belakang, memberikan suasana yang begitu megah dan bersejarah. Tidak hanya itu, tembok yang melingkari area tersebut dibangun dengan menggunakan batu-batu yang kokoh dan tahan lama, sedangkan di lapangan depan, berbagai jenis tanaman yang dipelihara dalam pot-pot turut menghiasi area tersebut, menambah keindahan dan kesegaran alam.
Keseluruhan usaha untuk memperindah makam di Tembayat ini tidak hanya menciptakan sebuah tempat yang memukau secara visual, tetapi juga memberikan makna yang mendalam bagi masyarakat setempat dan bagi mereka yang mengunjunginya. Hal ini merupakan bukti nyata dari komitmen Sultan Agung dalam melestarikan dan memuliakan warisan budaya serta spiritualitas yang ada di Jawa.
Proses pembangunan ini tidak dilakukan dengan sembarangan. Setiap detail diperhatikan dengan seksama, mulai dari pemilihan material hingga penentuan hari-hari baik untuk memulai dan menyelesaikan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa Sultan Agung sangat menghormati tradisi dan kepercayaan lokal, serta memahami pentingnya makna spiritual dan historis dari makam Sunan Tembayat.
Pembangunan makam Sunan Tembayat ini bukanlah proyek kecil. Sultan Agung mengerahkan ribuan orang untuk membangun makam Sunan Tembayat. Yang lebih menakjubkan, bahan baku berupa batu yang dikirim dari Mataram—saat itu kraton berlokasi di Kerta—tidak diangkut menggunakan kuda. Sebaliknya, Sultan Agung memerintahkan barisan manusia untuk duduk bersila dari Mataram hingga Tembayat, sepanjang lebih dari 40 kilometer. Batu-batu tersebut diteruskan dari tangan ke tangan, dalam barisan manusia yang tak terputus.
Keputusan Sultan Agung untuk melakukan pemugaran makam Sunan Tembayat juga sejalan dengan pembangunan Girilaya dan Imogiri pada tahun 1632. Ketiga lokasi ini dibangun dengan konsep pasareyan atau kompleks pemakaman di atas bukit. Bentuk arsitektur dan tata letak yang mirip menunjukkan adanya pola pikir dan kebijakan yang konsisten dalam memperlakukan tempat peristirahatan terakhir tokoh-tokoh penting dengan penghormatan tertinggi.
Sunan Tembayat sendiri dikenal sebagai sosok yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa bagian selatan. Setelah melepaskan jabatan adipati, ia hidup sebagai seorang ulama dan membimbing masyarakat dalam hal keagamaan dan moral.
Kisah hidupnya yang penuh dedikasi membuatnya dihormati dan dijadikan teladan oleh masyarakat setempat. Pemugaran makam dan masjidnya oleh Sultan Agung menjadi simbol penghormatan terhadap jasa-jasanya dalam menyebarkan agama Islam.
Pembangunan makam Sunan Tembayat ini juga memperlihatkan bagaimana Sultan Agung menggunakan pendekatan yang mencerminkan perpaduan antara kekuatan spiritual dan politik.
Dengan merestorasi makam tokoh-tokoh spiritual penting, Sultan Agung tidak hanya memperkuat legitimasi kekuasaannya tetapi juga mempererat ikatan dengan rakyatnya melalui penghormatan terhadap tradisi dan sejarah.
Ribuan orang yang terlibat dalam pemugaran ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan otoritas Sultan Agung dalam memobilisasi masyarakat untuk proyek-proyek besar kerajaan. Hal ini juga menjadi bukti dari kekuatan sosial dan budaya yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram pada masa itu.
Pemugaran makam Sunan Tembayat oleh Sultan Agung pada tahun 1633 menjadi bagian penting dari sejarah Mataram Islam. Tidak hanya mencerminkan penghormatan terhadap tokoh spiritual besar, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuatan politik, spiritual, dan budaya berinteraksi dalam membangun sebuah peradaban yang kaya akan warisan sejarah.
Ziarah dan pemugaran ini mengukuhkan posisi Sultan Agung sebagai raja yang tidak hanya kuat dalam militer tetapi juga bijaksana dalam menghormati tradisi dan nilai-nilai spiritual.
Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan tersebut, Sultan Agung kemudian dikenal sebagai seorang Raja yang sangat termasyhur, bukan hanya karena wibawanya yang semakin kuat, tetapi juga karena kemampuannya yang luar biasa dalam mengatasi tantangan dan memimpin dengan bijaksana.
Kabar pun tersebar luas bahwa Sultan Agung memiliki keistimewaan luar biasa, yaitu kemampuan untuk bersembahyang Jumat di Mekah dekat Ka'bah. Keistimewaan ini tidak hanya menjadi bukti nyata dari kedalaman spiritualitas Sultan Agung, tetapi juga menggambarkan sejauh mana kemampuan dan kebesarannya sebagai seorang Raja telah meningkat, menjadikannya sebagai sosok yang sangat dihormati dan diakui baik di dalam maupun di luar wilayah kekuasaannya.
Kegagalan dua kali serangan ke Batavia tetap mengukuhkan posisi Sultan Agung sebagai raja terbesar Dinasti Mataram Islam.