free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hukum dan Kriminalitas

Ramai Isu Kasus Salah Tangkap, Pakar Hukum: Korban Bisa Lapor LPSK

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Dede Nana

30 - May - 2024, 01:51

Placeholder
Ilustrasi (pixabay)

JATIMTIMES - Kasus pembunuhan Vina Cirebon saat ini menjadi isu hangat yang terus menjadi bahasan. Terlebih, mencuat isu salah tangkap yang membuat kasusnya semakin jadi bahan pembicaraan. 

Terkait menjadi korban salah tangkap, masyarakat kerap kali masih belum paham tentang langkah yang harus dilakukan ketika menjadi korbn salah tangkap. Hal ini, tak dipungkiri karena keterbatasan literasi hukum ataupun faktor lainnya.

Baca Juga : Hanya 2 Pekan, Sabu-Sabu Senilai Rp 150 Juta Berhasil Diamankan di Jombang

Melihat ramainya tentang isu kasus salah tangkap tersebut, Pakar Hukum dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Shinta Ayu Purnamawati menjelaskan, jika memang ada warga negara yang menjadi korban salah tangkap, maka mereka dapat melaporkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dari sisi hukum, tentu jelas bahwa salah tangkap merupakan pelanggaran yang sangat besar. Dampak salah tangkap, tentu mereka yang tidak bersalah harus menjalani pidana penjara dan mendapat label narapidana. 

Namun, negara bisa saja dengan mudah memulihkan nama baik orang tersebut. Meski  begitu, sakit dan kerugian psikis tidak bisa dibayarkan dan bahkan sulit untuk dihilangkan. Apalagi hal tersebut tentunya juga  membekas dan membutuhkan waktu penyembuhan yang cukup lama, bahkan mungkin  saja dalam menimbulkan trauma seumur hidup.

Karena itu, kasus slaah tangkap ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan juga termasuk sebuah kejahatan yang serius. Maka, dalam hal ini bilamana menjadi korban, mereka berhak untuk melakukan penuntutan kepada para penegak hukum yang  telah salah melakukan penangkapan. 

"Banyak yang dirugikan. Karena korban kehilangan hak hidup, hak pemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan dan hak ilmu pengetahuan," jelasnya, Rabu (29/5/2024). 

Bilamana dalam prosesnya terbukti salah tangkap, maka pihak yang dirugikan wajib sesuai aturan hukum diberikan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik sesuai dengan peradilan yang menganut doktrin civil law system, yaitu sistem hukum yang berkembang di daratan Eropa. 

Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan melalui persidangan praperadilan di pengadilan negeri akibat adanya tindakan yang merugikan pada tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan peradilan di pengadilan. 

Negara pun wajib bertanggung jawab terhadap korban salah tangkap untuk menjunjung hak asasi manusia. Hal ini merupakan hak yang fundamental sehingga harus terlindungi dan terbebas dari segala bentuk ancaman maupun penyiksaan. 

Lebih lanjut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, memang tidak mengatur sanksi bagi penyidik yang melakukan salah tangkap, namun penyidik wajib untuk memberikan ganti rugi dan rehabilitasi terhadap korban salah tangkap.

Pengertian ganti rugi dalam perkara pidana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat  22 KUHAP yang berbunyi, mengganti kerugian merupakan hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut tata cara yang diatur dalam KUHAP.

Baca Juga : Hanya 2 Pekan, Sabu-Sabu Senilai Rp 150 Juta Berhasil Diamankan di Jombang

Maka berdasarkan pasal ini, disampaikan Shinta, korban dapat melaporkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk perlindungan. Sayangnya, hal ini masih masih belum banyak dipahami masyarakat. Masyarakat masih banyak yang awam atau belum memahami adanya LPSK.

Lembaga ini memang dibentuk untuk memberikan perlindungan kepada saksi atau korban tindak pidana, agar saksi dan korban dapat memberikan kesaksiannya secara bebas, tanpa  mendapatkan intimidasi ancaman fisik maupun psikis dari pihak tertentu.

Dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, tindak pidana yang menjadi prioritas perlindungan meliputi pelanggaran HAM yang berat, korupsi dan tindak pidana pencucian uang, terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika dan psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, serta tindak pidana lainnya yang mengakibatkan posisi saksi atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

"Continue seperti penyiksaan, penganiayaan berat dan tindak pidana kekerasan seksual,” tandasnya.

Mekanisme yang harus dilakukan adalah melakukan permohonan perlindungan. Hal ini dapat dilakukan atas inisiatif sendiri ataupun permintaan dari pejabat berwenang. Pemohon dapat membuat permohonan tertulis dan mengirimkannya langsung ke kantor LPSK yang berada Jalan Raya Bogor Km. 24 Nomor 47-49 Jakarta Timur, DKI Jakarta 13750.

Selain itu, pemohon juga dapat memanfaatkan platform lainnya, yakni melalui platform online milik LPSK. Terakhir, pihaknya menyampaikan, bahwa diperlukan sinergitas dan kepedulian seluruh pihak agar kasus salah tangkap tidak terjadi. Masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum harus bersinergi untuk saling mengawasi maupun melakukan evaluasi.

"Evaluasi ini baik terhadap aturan, penegak hukumnya, maupun budaya atau kebiasaan di masyarakat sangatlah dibutuhkan," pungkasnya.


Topik

Hukum dan Kriminalitas vina cirebon salah tangkap lpsk pakar hukum umm



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Dede Nana