free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

4 Kritik Nirwan Dewanto Soal Buku Panduan 'Sastra Masuk Kurikulum' 

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Nurlayla Ratri

28 - May - 2024, 18:47

Placeholder
Nirwan Dwanto, budayawan terkemuka yang dikenal sebagai kurator dan pelaku seni rupa, penyair, penulis esai kritik. (Foto: laman Words Without Borders)

JATIMTIMES - Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang telah diterbitkan Kemendikbud memicu kontroversi di kalangan sastrawan. Buku yang diluncurkan sebagai bagian dari program Sastra Masuk Kurikulum itu bakal hadir dalam mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia dan mapel lainnya mulai semester II tahun ajaran 2024/2025.

Salah satu sastrawan yang mengkritik buku tersebut adalah Nirwan Dewanto. Ia bahkan meminta bukunya, Jantung Lebah Ratu, dikeluarkan dari daftar buku yang direkomendasikan.

Baca Juga : Kisah Hakim bin Hazam, Sahabat Akrab Rasulullah yang Lahir di Ka'bah tapi Terlambat Masuk Islam

Adapun buku Panduan Rekomendasi Buku Sastra memuat daftar 177 buku yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di antaranya untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Bahkan buku tersebut juga merupakan hasil kurasi 17 sastrawan, termasuk Eka Kurniawan dan Okky Madasari.

Melansir akun X pribadi Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, ada empat poin kritik yang disampaikan oleh Nirwan Dewanto.

Menurut Nirwan, tidak ada yang baru dalam hal “Sastra Masuk Kurikulum” ini. Program Kemendikbud tersebut dinilai hanya melanjutkan program “pengajaran sastra” yang sudah ada sebelumnya. 

"Hanya saja sekarang dengan 'karya-karya mutakhir' pilihan anda (kurator), pilihan yang belum teruji sebagai bahan pedagogi. Artinya, program ini akan meneruskan kesalahan yang sudah-sudah, apalagi dengan 'buku' panduan yang mutunya buruk sekali," jelas penulis kumpulan esai Satu Setengah Mata-Mata (2016) itu. 

Berikut ini 4 poin kritik yang dipaparkan Nirwan Dewanto tentang Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. 

1. Tentu saja “pelajaran sastra” itu penting, tetapi hanya jika “sastra” itu menjadi katakerja, bukan katabenda. Arti “sastra” yang paling fundamental ialah “wacana” (begitulah, sesuai dengan asal-katanya yang Sanskrit itu). 

Maka bersastra, bagi para murid, sepantasnya ialah upaya mengungkapkan diri secara lisan dan tulisan, berpikir sebagai manusia merdeka. Jalannya banyak, sangat tergantung kepada situasi murid dan guru, situasi yang sangat site-specific.

Saya khawatirkan bahwa buku-buku “eksperimental” yang dimasukkan ke dalam daftar, terutama bila tidak ada guru yang baik, bukan jadi pendorong siswa ke arah keterampilan membaca, berbicara dan menulis. 

(Saya sudah mengamati bertahun-tahun ini bagaimana para keponakan saya dan sedulur-sedulur saya “belajar sastra” di kelas, termasuk di sekolah-sekolah unggulan—dan hasilnya memilukan sekali. Metode yang dipaparkan dalam “buku” panduan yang sedang kita persoalkan ini, tidak lebih baik daripada yang pernah ada sebelumnya.) 

2. Kegiatan sastra atau susastra itu semestinya ialah kegiatan pilihan. Yang utama, saya lanjutkan apa yang sudah terpapar di butir pertama, adalah kegiatan berbahasa dan berwacana. 

Menganggap buku-buku sastra, buku-buku bikinan kaum “sastrawan”, itu penting bagi semua murid, ini seperti halnya memaksa semua siswa untuk belajar beternak ikan lele atau berolahraga panjat tebing. 

Tentu saja akan ada murid yang (akan) menyukai beternak ikan lele, olahraga panjat tebing atau kick boxing, atau membaca buku susastra atau buku tentang fisika modern, tetapi ini tidak boleh menjadi keharusan bagi semua murid. 

Yang “fardhu kifayah” itu adalah kemampuan menyatakan diri, menulis dan berpendapat, bukan membaca buku bikinan sastrawan. Saya percaya bahwa beberapa murid, ada banyak jumlahnya, bisa menjadi penulis dan pemikir tangguh, bukan dengan keharusan membaca ini dan itu, apalagi keharusan membaca buku-buku yang anda (kurotor) pilih. 

(Mohon berhati-hati, para sastrawan-seniman selalu menganggap diri penting—this is ego-problem, right? Tetapi jika sastrawan penting, kenapa para ilmuwan, peneliti, penjelajah, dan seterusnya, tidak dianggap penting? Bukankah kita berurusan dengan perihal mencerdaskan bangsa, bukan menyanjung karya-karya kaum sastrawan?) 

Baca Juga : Kembali Dugaan Salah SOP serta Intimidasi Pelaku, Anggota Polisi Polres Tuban Digugat

3. Buku panduan setebal hampir 800 halaman (dengan, misalnya, daftar berisi 105 judul buku untuk sekolah menengah atas) itu, apakah anda tidak sedang memberikan beban tambahan yang sangat tidak perlu ke pundak si guru dan si murid? 

Betul, mereka akan memilih “apa yang cocok” dari daftar, tetapi bagaimana mungkin memilih ini-itu dengan kandungan informasi yang buruk dan disinformasi yang hampir tersengaja, yang mungkin adalah hasil kerja dengan mesin “kecerdasan buatan” plus sikap takhayul? 

Bila benar disclaimer anda bahwa sebagian besar narasi buku itu disusun oleh para guru, bukankah ini saja sudah membuktikan betapa tidak tersedianya tenaga guru (yang kompeten) dalam mengemban amanat mengajar merdeka melalui susastra itu? 

Bahwa Kementerian yang bersangkutan tidak sanggup secara teknis mengemban amanat “merdeka mengajar dan belajar” yang mulia itu jika hanya dikendalikan kaum birokrat yang hanya terpaksa menghabiskan belanja negara? 

4. Saya bertanya, kenapa pemerintah kita ini (ya, maklumlah, masih disebut “pemerintah”, artinya cuma bisa memberi perintah) selalui memulai “program baru” dalam pengajaran-dan-pendidikan secara sangat “populistis” —satu metoda untuk semua sekolah, semua guru, semua murid, dari Sabang sampai Merauke?

Kenapa cita-cita yang semulia dan beban kurikulum yang seberat itu tidak dicobakan dulu di beberapa sekolah percontohan, dan kemudian dievaluasi dulu hasilnya? 

Tapi ya, begitulah, “buku” Panduan Penggunaan Rekomendasi Sastra itu tiba-tiba saja diluncurkan pada Senin 20 Mei 2024, dengan meriah, dengan jumawa, tanpa kehati-hatian, tanpa pemeriksaan, tanpa sikap cadangan akan kesalahan dari si Pelindung, Penanggung Jawab, Pengarah, Pelaksana dan semua pihak yang terlibat? 

Pragmatisme anggaran? Mengejar target sebelum orde yang berkuasa ini kadaluarsa? Menepuk dada sendiri sebagai pembuat kebijakan baru di lapangan pendidikan? Dan para sastrawan ikut girang karena dimuliakan dalam proyek kanonisasi atau bakalkanonisasi sastra nasional? 

Demikian empat kritik yang disampaikan Nirwan terkait buku Panduan "Sastra Masuk Kurikulum" yang diterbitkan Kemendikbud. Di akhir tulisannya, Nirwan juga menegaskan tidak semua sastrawan kegirangan karena karyanya masuk dalam buku panduan tersebut.  

"Akan ada dia atau mereka yang berkeberatan untuk bergabung dengan proyek mulia anda, dengan alasan masing-masing. Mereka, kami, kita, sudah pasti mendukung pemajuan pendidikan nasional, tapi bisa jadi tidak bersepakat dengan cara anda," jelas Nirwan. 

"Dengan berbagai alasan di atas sejak surat ini bermula, saya mohon anda untuk tidak menyertakan buku puisi saya, Jantung Lebah Ratu, ke dalam daftar anda. Selamat bekerja. Terima kasih dan salam hangat," pungkas Nirwan Dewanto. 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Nirwan Dewanto Sastra Masuk Kurikulum



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Binti Nikmatur

Editor

Nurlayla Ratri