JATIMTIMES– Bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Forum Warga Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Blitar menggelar acara Istighosah Kubro di Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Huda di Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, yang merupakan pesantren tertua di Blitar, Senin (20/5/2024) malam.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai tokoh NU Kabupaten Blitar, termasuk Rois Syuriah NU, Ketua Tanfidziyah, serta para masayid. Para peserta yang hadir memadati area pesantren, bersatu dalam doa dan dzikir, mengharapkan keberkahan dan keselamatan untuk organisasi NU, bangsa dan negara.
Baca Juga : Blitar Hadapi Peningkatan Pengajuan Dispensasi Nikah: Hamil Duluan Jadi Alasan Utama
Istighosah Kubro ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Forum Warga NU Kabupaten Blitar yang telah berlangsung selama beberapa hari. Sebelumnya, mereka telah melakukan ziarah ke makam pendiri Nahdlatul Ulama di Jombang dan ke kompleks makam Sunan Ampel, tempat bersemayamnya Ketua PBNU pertama, KH Hasan Gipo.
Ketua Forum Warga NU Kabupaten Blitar, Joko Nuryanto, dalam keterangannya menyatakan bahwa tujuan dari istighosah ini adalah untuk mendoakan agar NU Kabupaten Blitar bisa tetap adem, ayem, dan jernih dalam berpikir, serta tidak mengalami persoalan internal yang signifikan.
"Jadi istighosah ini adalah rangkaian dari kegiatan forum warga NU yang kesekian kalinya. Setelah beberapa hari yang lalu kami melaksanakan ziarah ke muasis Nahdlatul Ulama, di Jombang, lalu di komplek makam Sunan Ampel ada Ketua PBNU pertama, KH Hasan Gipo. Ini hari ini kita adakan istighosah untuk bersama-sama berdoa agar NU Kabupaten Blitar bisa adem, ayem, dan semuanya bisa jernih dalam berpikir. Dan ke depannya NU Kabupaten Blitar tidak ada persoalan," ujarnya.
Acara ini juga menjadi momen penting mengingat adanya perintah pemilihan ulang Ketua PCNU Kabupaten Blitar yang telah menyebabkan perpecahan internal. Namun, Joko Nuryanto menegaskan bahwa istighosah ini tidak berkaitan langsung dengan masalah tersebut.
Sebagaimana diketahui, hingga lebih dari setahun berlalu, organisasi PCNU Kabupaten Blitar belum mendapat kepastian pengesahan dari PBNU. Pada bulan Maret 2024, PBNU justru mengirim surat yang memerintahkan pemilihan ulang untuk posisi Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Blitar.
Surat tersebut, dikirim pada 22 Maret 2024 dengan nomor 1677/PB.03/A.03.44/99/03/2024, ditandatangani oleh Wakil Ketua Umum H. Amin Said Husni dan Wakil Sekretaris Jenderal H. Nur Hidayat. PBNU memerintahkan pemilihan ulang karena beberapa alasan, salah satunya adalah ketidakmampuan Ketua Tanfidziyah terpilih, KH Arif Fuadi, untuk menunjukkan bukti pemenuhan syarat pencalonan. Kondisi ini menyebabkan perpecahan di internal PCNU Kabupaten Blitar.
"Sebenarnya ini bukan persoalan Pak Arif Fuadi atau persoalan pilihan ulang, hanya akhir-akhir ini karena ada perintah pilihan ulang itu (dari PBNU) menjadikan internal PCNU Kabupaten Blitar terbelah. Dalam hal ini banyak yang prihatin, sehingga ini bagian dari pasrah kami kepada yang di atas, agar persoalan ini cepat selesai," tambahnya.
Nuryanto juga menekankan pentingnya memasrahkan masalah ini kepada Yang Maha Kuasa, seraya mengajak semua pihak untuk tetap berpikir jernih dan berorganisasi dengan baik. "Masalah ini pasrahkan saja kepada yang Maha Kuasa. Marilah kita sama-sama belajar, berpikir dengan jernih, berorganisasi. Apakah pemilihan ulang itu sesuai dengan rel organisasi?” tegasnya.
Pemilihan Ponpes Nurul Huda sebagai lokasi acara juga memiliki alasan tersendiri. Ponpes ini memiliki sejarah panjang dalam perjuangan penyebaran agama Islam di Kabupaten Blitar. Pondok Pesantren Nurul Huda adalah pondok pesantren tertua di Blitar yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan. Syaikh Abu Hasan lahir pada tahun 1790 dan wafat pada tahun 1899 di Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Sejak kecil, beliau dikenal sebagai anak yang cerdas dan tangkas. Pada masa remaja hingga dewasa, beliau menuntut ilmu agama Islam di Mamba’ul Ulum, sebuah madrasah yang didirikan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755. Karena kecerdasannya, beliau diangkat menjadi salah satu penghulu keraton (kyai keraton).
Pada usia 29 tahun, Syaikh Abu Hasan diberi kehormatan berupa tombak Dwi Sula oleh Pangeran Diponegoro. Tombak ini menjadi simbol ketaatan, kehormatan, dan kekuatan beliau. Syaikh Abu Hasan kemudian menerima tugas dakwah untuk menyebarkan agama Islam dan mempersiapkan jihad sabilillah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Baca Juga : Apakah Tanggal 23 dan 24 Mei Libur? Cek Tanggal Merah dan Cuti Disini
Pada tahun 1819, saat berusia 29 tahun, Syaikh Abu Hasan berangkat menuju Kabupaten Blitar bersama beberapa santri, keluarga, dan Ki Manto Wiro, seorang ahli supranatural. Mereka menetap di Desa Kuningan, yang saat itu dikenal sebagai Kawuningan, sebuah taman bunga dan kolam ikan mas milik Bupati Blitar pertama, Adipati R. Aryo Blitar.
Di Desa Kuningan, Syaikh Abu Hasan mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda. Beliau memiliki tujuh anak, empat putra dan tiga putri. Ketika peranan Syaikh Abu Hasan sangat dibutuhkan, Perang Jawa mulai berkecamuk. Sebagian santrinya ikut berperang, sementara yang lain tetap di pesantren untuk melanjutkan perjuangan melalui ilmu.
Perang Jawa atau Perang Diponegoro berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830 dan merupakan perang terbesar di Indonesia dengan korban mencapai 200 ribu jiwa dari pihak Indonesia dan 15 ribu dari pihak Belanda. Belanda kemudian menangkap Pangeran Diponegoro dengan dalih negosiasi kemerdekaan. Namun, Jenderal De Kock menghianati janji tersebut dan mengasingkan Pangeran Diponegoro ke Manado dan Makassar.
Sebelum negosiasi tersebut, Pangeran Diponegoro memba’iat 158 pangeran (pasukan khusus) yang kemudian menyebar ke seluruh Nusantara untuk menyebarkan dakwah Islam dan mempertahankan jihad sabilillah. Mereka menggunakan buah sawo (kecik) sebagai sandi untuk menunjukkan bahwa mereka berada di bawah komando yang sama, yakni Barisan Diponegoro. Sandi ini berasal dari bahasa Arab "Sawwu sufufakum" yang berarti "Rapatkan barisanmu."
Di antara pasukan tersebut, Syaikh Abu Manshur (Kyai Toya) menuju Blitar dan menetap bersama Syaikh Abu Hasan di Desa Kuningan. Syaikh Abu Manshur adalah cucu dari Bendhoro Pangeran Hangabei (KH. Nur Iman Melangi Ngayogyakarta). Beliau menikah dengan putri bungsu Syaikh Abu Hasan, Ny. Maryam, dan dikaruniai sembilan anak, salah satunya adalah KH. Manshur Kali Pucung yang terkenal sebagai Kyai Bambu Runcing.
"Ini kemarin kita juga pilih-pilih tempat. Karena di sini juga tempat yang punya sejarah untuk perjuangan NU. Mbah Abu Hasan dan Mbah Abu Manshur adalah pejuang agama di Kabupaten Blitar, yang tertua di Blitar. Dan beliau-beliau ini juga menurunkan pejuang-pejuang di Kabupaten Blitar. Kita ambil spiritnya, spirit dari beliau-beliau ini untuk perjuangan NU di Kabupaten Blitar," tuturnya.
Ponpes Nurul Huda sendiri memiliki banyak peninggalan sejarah yang masih terawat dengan baik, termasuk rumah utama Syaikh Abu Manshur dan Syaikh Abu Hasan, bangunan pondok pesantren, masjid jami’ Nurul Huda, mimbar khotbah, tombak Dwi Sula, pedang, dan sendang pasucen (kolam untuk bersuci). Menurut ahli sejarah dan budayawan Jawa, Dr. Ki Herman Sinung Janutama, bangunan-bangunan tersebut merupakan hadiah dari Keraton Ngayogyakarta pada masa pemerintahan R. Hamengku Buwono VII sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa Syaikh Abu Hasan dan Syaikh Abu Manshur.
Dalam acara Istighosah ini, khusyuknya suasana semakin terasa dengan tausiyah yang disampaikan oleh KH Mas'ud Jamhuri dari Pondok Pesantren APIS Sanan Gondang, Kabupaten Blitar. Kekhusyukan dalam acara istighosah dan tausiyah ini tidak hanya menambah keimanan para peserta, tetapi juga memperkuat tekad mereka untuk terus berjuang dalam menjaga dan mengembangkan ajaran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip Nahdlatul Ulama.
Kekhusyukan dalam acara istighosah dan tausiyah ini tidak hanya menambah keimanan para peserta, tetapi juga memperkuat tekad mereka untuk terus berjuang dalam menjaga dan mengembangkan ajaran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip Nahdlatul Ulama. Semangat kebersamaan dan doa bersama yang dipanjatkan dalam istighosah ini diharapkan mampu membawa perubahan positif dan mengakhiri perpecahan yang terjadi, sehingga NU Kabupaten Blitar dapat kembali solid dan kuat dalam menjalankan misi keagamaannya.