JATIMTIMES - Kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis dan Sandra Dewi menyebabkan sejumlah aset mereka disita. Namun disinyalir, tak semua harta pasangan itu hasil korupsi. Sebagian merupakan jerih payah sebelum menikah. Hal itu coba dibuktikan melalui perjanjian pisah harta yang diklaim telah dilakukan sebelum keduanya menikah pada tahun 2016.
Menikah bukan hanya perkara menyatukan dua insan dalam satu ikatan. Saat menikah, suami dan istri juga membawa aset dan harta bawaan, yang diperoleh ketika belum akad. Usai menikah, dikenal juga harta bersama, suatu penghasilan yang diperoleh ketika kedua pasangan menikah.
Baca Juga : Bolehkah Makmum Melakukan Qunut Sedangkan Imam Tidak? Ini Kata Ustaz Adi Hidayat
Namun, tak semua pasangan menjalankan konsep harta bersama. Ada juga yang memisahkan harta melalui perjanjian. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan perjanjian pisah harta. Dalam perjanjian itu diatur, praktik memisahkan aset keuangan dan harta bawaan masing-masing pasangan suami istri.
Biasanya, perjanjian ini dilakukan oleh pasangan yang memiliki kekayaan atau aset yang signifikan sebelum menikah. Meskipun disebut sebagai pisah harta, perjanjian ini tidak hanya memisahkan antara harta suami dan istri, tetapi juga mengatur berbagai hal lain untuk mendapatkan manfaat dari perjanjian tersebut. Selain harta perjanjian pisah harta sebelum menikah juga mencakup utang dan harta bawaan, serta hak dan wewenang suami istri dalam mengelola hartanya masing-masing.
Dilansir dari unissula.id, salah satu manfaat perjanjian ini adalah adanya jaminan perlindungan terhadap harta yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum pernikahan berlangsung. Selain itu, perjanjian ini dapat melindungi kekayaan kedua belah pihak, jika usaha bersama mengalami situasi kerugian atau kerugian. Perjanjian ini juga bisa mencegah terjadinya motivasi perkawinan yang tidak sehat.
Lantas, bagaimana cara melakukan pernikahan dengan perjanjian pisah harta seperti yang dilakukan Sandra Dewi dan Harvey Moeis?
Diketahui, Perjanjian perkawinan termasuk mengenai pemisahan harta suami dan istri kini bisa dicatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019.
Secara lebih spesifik, aturan perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut,” demikian bunyi ketentuan mengenai perjanjian kawin.
Syarat dan cara buat perjanjian nikah di KUA
Lebih lanjut, pencatatan perjanjian perkawinan juga diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
Pada Pasal 22 ayat (1) aturan tersebut, disebutkan bahwa calon suami dan calon istri atau pasangan suami istri dapat membuat perjanjian perkawinan pada waktu sebelum, saat dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan.
Perjanjian perkawinan tersebut harus dilakukan di hadapan notaris. Artinya, sebelum dicatatkan di KUA, perjanjian perkawinan harus sudah dibuat oleh para pihak di hadapan notaris.
“Materi perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan,” lanjut ketentuan tersebut.
Adapun di Pasal 23, dijelaskan bahwa pencatatan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dicatat oleh Kepala KUA Kecamatan/PPN LN pada Akta Nikah dan Buku Nikah.
“Persyaratan dan tata cara pencatatan perjanjian perkawinan ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal,” demikian bunyi aturan itu.
Baca Juga : Turun ke Jalan, Jurnalis Blitar Gelar Aksi Tolak Revisi UU Penyiaran
Terkait hal ini, sudah terbit Keputusan Dirjen No. 473 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencatatan Pernikahan.
Pada regulasi tersebut, disebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan, pada waktu perkawinan, atau selama dalam ikatan perkawinan dapat dicatat oleh Kepala KUA Kecamatan pada akta nikah dan buku nikah.
1. Perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan, pada waktu perkawinan, atau selama dalam ikatan perkawinan melampirkan fotokopi perjanjian perkawinan.
2. Pencatatan perjanjian perjawinan yang dibuat di Indonesia sedangkan perkawinan dicatat pada kantor perwakilan RI di luar negeri atau negara lain dengan persyaratan sebagai berikut: -Fotokopi KTP
-Fotokopi KK
-Fotokopi perjanjian perkawinan
- Buku nikah suami dan/atau istri
3. Pencatatan perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan dengan persyaratan sebagai berikut:
- Fotokopi KTP
- Fotokopi KK
- Fotokopi perubahan/pencabutan perjanjian perkawinan
- Buku nikah suami dan/atau istri.