free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Kisah Sunan Giri: Dakwah Melalui Pendidikan, Permainan Anak, dan Karya Seni yang Abadi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

12 - May - 2024, 17:10

Placeholder
Sunan Giri dalam ilustrasi AI.(Foto: Ist)

JATIMTIMES - Dalam suasana bulan Syawal yang penuh berkah, Situs Giri Kedaton di Sidomukti, Kebomas, Kabupaten Gresik menjelma menjadi oase spiritual yang menawan di puncak sebuah bukit yang menantang. Dengan tanjakan curam dan relatif terjal, situs ini memancarkan aura ketenangan dan kesucian bagi setiap pengunjung yang melangkah ke dalamnya. Di tengah gemuruh bulan yang penuh ampunan, tempat suci ini menjadi magnet bagi ribuan umat Islam yang membanjiri area tersebut.

Bukan sekadar destinasi wisata religi biasa, Situs Giri Kedaton menjadi tempat berhimpun bagi mereka yang haus akan kebersamaan spiritual. Di setiap sudutnya, terdengar doa-doa khusyuk yang terhampar dalam sunyi, menciptakan atmosfer yang memeluk jiwa. Banyak yang datang untuk merasakan kehadiran Ilahi, untuk berkumpul dalam munajat dan ibadah bersama, merasakan sentuhan yang istimewa dari sang Pencipta.

Baca Juga : Pasukan yang Terlihat Gigih Berperang Ini Ternyata Merupakan Ahli Neraka

Namun, yang membuat Situs Giri Kedaton benar-benar istimewa adalah keberadaan masjid yang menjulang tinggi di atas bukit. Di sini, umat Islam berkumpul untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dalam keheningan malam, menjadi pemandangan khas hampir setiap hari. Suara tilawah yang merdu mengalun di antara dinding-dinding masjid yang kokoh, memberikan suasana magis yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Tidak hanya sebagai tempat beribadah, Situs Giri Kedaton juga menjadi simbol keagungan sejarah dan warisan keislaman di daerah Gresik. Terletak sekitar 200 meter di sebelah selatan kompleks makam Sunan Giri, tempat ini menjadi saksi bisu dari perjalanan spiritual seorang wali. 

Dengan pesona alam yang menghijau dan pesona spiritual yang memikat, Situs Giri Kedaton bukan sekadar tempat beribadah, melainkan juga destinasi rohani yang menyelubungi jiwa setiap pengunjungnya dengan damai dan keberkahan.

Situs Giri Kedaton, tanpa ragu, adalah monumen kebesaran yang mengabadikan warisan spiritual Sunan Giri, salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Sunan Giri, seorang Wali Songo yang meraih penghargaan besar atas jasanya dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, memulai perjalanan spiritualnya sebagai seorang yang bernama Joko Samudro. 

Namun, ketika masa dewasanya tiba, dirinya mengubah identitasnya menjadi Raden Paku, yang kemudian disebut juga dengan nama lain seperti Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, dan Raden ‘Ainul Yaqin.

Pencapaian besar Sunan Giri tidak hanya tercermin dalam perubahan namanya, namun juga dalam jejak dakwahnya yang mengukir sejarah. Salah satu tindakan pentingnya adalah ketika ia mendirikan pesantren di puncak sebuah bukit di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. 

Penamaan "Sunan Giri" dipilih sebagai penghormatan atas tempat berdakwahnya yang berlokasi di atas bukit tersebut. Sementara dalam bahasa Jawa, kata "Giri" juga merujuk pada arti gunung, menandakan tinggi dan mulianya perjuangan spiritual yang dijalani Sunan Giri.

Sunan Giri, seorang tokoh yang lahir dari kisah yang tak lazim merupakan anak dari Maulana Ishaq, seorang ulama yang menjalankan misi dakwahnya di wilayah Blambangan, bagian dari kerajaan Majapahit pada masa itu. 

Ibunya adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, penguasa Blambangan yang kuat. Namun, kehidupan Sunan Giri terawang dalam bayang-bayang tragedi kelam. Maulana Ishaq terpaksa meninggalkan Dewi Sekardadu dan anak mereka karena ancaman terhadap nyawa akibat dakwahnya yang dianggap mengancam kekuasaan.

Kelahiran Sunan Giri, yang seharusnya menjadi berkah, malah dianggap sebagai kutukan oleh rakyat Blambangan, dipercayai membawa wabah penyakit. Prabu Menak Sembuyu, tidak tahan dengan tekanan dan kepercayaan masyarakat, mengambil keputusan tragis untuk menyingkirkan bayi itu. Bayi itu kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dihanyutkan ke laut, di tengah gelombang air yang ganas.

Dewi Sekardadu, ibu Sunan Giri, tak bisa menerima nasib anaknya yang tragis. Dengan penuh keputusasaan, ia menyusuri pantai, siang dan malam, mencari tanda-tanda keberadaan anaknya. Namun, pencariannya sia-sia, dan akhirnya, ia meninggal tanpa mendapatkan kepastian atas nasib sang anak.

Peti yang mengapung dengan isinya seorang bayi yang tak berdosa, akhirnya ditemukan oleh seorang nelayan. Sang nelayan membawa peti itu ke Gresik, di mana ia menyerahkan bayi itu kepada Nyai Gede Pinatih, seorang perempuan bijaksana dalam masyarakatnya. Tergerak oleh belas kasih, Nyai Gede Pinatih mengangkat bayi tersebut sebagai anak sendiri dan memberinya nama Joko Samudro.

Sunan Giri, atau Joko Samudro yang kemudian dikenal lahir di Blambangan yang kini dikenal sebagai Banyuwangi pada tahun 1365 Saka. Namun, meskipun awalnya terlahir dalam tragedi, Sunan Giri tumbuh menjadi sosok yang penuh kebijaksanaan dan kemuliaan spiritual. 

Wafatnya terjadi di desa Giri, Kebomas, Gresik pada tahun 1428 Saka, meninggalkan jejak kepahlawanan dan kebijaksanaan bagi umat Islam di Pulau Jawa. Kisah perjalanan Sunan Giri, yang sejak kecil berguru kepada Raden Rahmat, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel memberikan gambaran tentang perjalanan spiritual yang menginspirasi. Sejak dini, Joko Samudro, yang kemudian diberi julukan Ainul Yaqin oleh Sunan Ampel telah menunjukkan ketertarikannya dalam memahami ajaran Islam.

Sunan Ampel, mengetahui latar belakang Joko Samudro, merasa penting untuk mengembangkan potensi anak muda itu lebih jauh. Dengan itu, Sunan Ampel memutuskan untuk mengirim Joko Samudro beserta Makdum Ibrahim yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang untuk menimba ilmu Islam di Pasai. 

Tindakan ini diambil sebelum mereka memenuhi kewajiban ibadah Haji. Di Pasai, mereka diterima dengan baik oleh Maulana Ishaq, yang kemudian diketahui adalah ayah kandung Joko Samudro. Di sana, Joko Samudro akhirnya mengetahui kebenaran tentang latar belakangnya yang kelam.

Setelah menemukan kebenaran tentang asal-usulnya, Joko Samudro mendalami ilmu tasawuf dan tauhid selama tiga tahun bersama ayah kandungnya, Maulana Ishaq. Setelah itu, dengan hati yang penuh tekad, Joko Samudro kembali ke Pulau Jawa. 

Ia merantau, mencari tujuan yang sesuai dengan panggilan hatinya. Akhirnya, di desa Sidomukti, Kebomas, Gresik, pada tahun 1403 Saka, Joko Samudro membangun pondok pesantren. Pesantren ini menjadi cikal bakal dari pondok pesantren pertama di wilayah Gresik.

Seiring berjalannya waktu, pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri tersebut menjadi pusat penyebaran ajaran Islam di Jawa. Pengaruhnya menjalar tidak hanya di Pulau Jawa, namun juga mencapai daerah-daerah sekitarnya seperti Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi, dan Maluku. 

Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata bahkan mampu membangun sebuah kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton. Giri Kedaton menguasai wilayah Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi, hingga akhirnya diakhiri oleh kekuatan Sultan Agung. Keberanian Sunan Giri dalam menyebarkan ajaran Islam telah mengukir sejarah yang tak terlupakan bagi masyarakat Nusantara.

Sunan Giri terkenal akan pendekatannya yang ramah dan inklusif dalam berdakwah kepada masyarakat, yang tak jarang menggunakan unsur seni tradisional Jawa sebagai mediumnya. Salah satu pendekatan yang menarik adalah penggunaan lagu-lagu permainan anak dalam dakwahnya. 

Baca Juga : Sukses Menjadi Pemeran Utama Film Vina: Sebelum 7 Hari, Ini Profil Nayla Denny Purnama

Sunan Giri menciptakan lagu-lagu seperti Jelungan, Jor, Gula-ganti, Lir-ilir, dan Cublak Suweng. Lagu-lagu ini tidak hanya ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat, tetapi juga memiliki fungsi mendidik bagi anak-anak.

Tembang dolanan yang diciptakan oleh Sunan Giri menjadi sarana edukatif yang menyenangkan bagi anak-anak untuk belajar ajaran Islam. Dalam lagu-lagu tersebut, pesan moral dan nilai-nilai kehidupan Islam disampaikan dengan cara yang sederhana dan dapat dipahami oleh anak-anak. Sunan Giri memahami bahwa melalui permainan dan lagu-lagu yang menyenangkan, pesan-pesan dakwah dapat disampaikan dengan lebih efektif kepada generasi muda.

Selain menciptakan lagu-lagu permainan anak, Sunan Giri juga menciptakan beberapa gending seperti Asmaradana dan Pucung. Gending-gending ini tidak hanya memiliki nilai seni yang tinggi, tetapi juga mengandung makna-makna spiritual yang mendalam. Dengan menggabungkan seni dengan dakwah, Sunan Giri berhasil menciptakan sebuah pendekatan dakwah yang unik dan memperluas jangkauan pesan Islam kepada masyarakat luas.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang pada tahun 1975, ditemukan bahwa Sunan Giri memegang peranan penting dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan. 

Selain mengembangkan sistem pesantren yang diikuti oleh santri-santri dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu, Sunan Giri juga meluaskan pengaruhnya dengan menciptakan berbagai permainan anak-anak serta lagu-lagu tradisional yang sarat akan nilai-nilai keagamaan.

Salah satu karya Sunan Giri yang terkenal adalah lagu permainan anak-anak berjudul "Padang Bulan", yang memuat pesan-pesan moral dan ajaran Islam dalam bentuk yang sederhana namun mendalam. Sunan Giri juga dikenal tidak segan mendatangi masyarakat secara langsung untuk menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang ramah dan lunak, terutama dalam suasana keramaian seperti selamatan dan upacara-upacara tradisional.

Tak hanya itu, Sunan Giri juga memiliki peran politis yang signifikan, yang tercermin dalam keberadaan dua tempat utama yang disebut Bangsal dan Puri, yang menggambarkan pola kekuasaan dalam masyarakat pada masa itu. 

Gelar Sunan Giri sendiri memiliki makna yang dalam, berasal dari kata Susuhunan yang merupakan sebutan hormat kepada raja dan Girinatha yang merupakan nama Dewa Syiwa. Gelar tersebut mencerminkan kedudukan Sunan Giri sebagai sosok yang dihormati dan memiliki kebijaksanaan yang tinggi.

Penelitian juga menunjukkan bahwa Sunan Giri memiliki peran yang sangat penting dalam akulturasi budaya antara Islam dengan budaya lokal, terutama di wilayah Jawa. Melalui pendidikan, politik, dan kebudayaan, Sunan Giri berhasil menjadikan Islam sebagai agama yang diterima dengan baik oleh masyarakat, serta meninggalkan warisan yang tak terlupakan dalam sejarah peradaban Islam di Indonesia.

Dalam karya Literature of Java (1967-1980) karya Th.G.Th. Pigeaud, kita dibawa ke dalam perjalanan sejarah kebesaran Sunan Giri pada abad ke-15 M. Pada tahun 1485 M, Sunan Giri membangun kedaton yang megah di puncak sebuah bukit. 

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1488 M, dia melengkapi keindahan istananya dengan membangun sebuah kolam yang indah, dilengkapi dengan taman yang memikat, lengkap dengan danau tiruan dan sebuah pulau kecil di tengahnya. Bangunan-bangunan istana dan fasilitas air ini bukan hanya menjadi simbol kekuasaan raja, tetapi juga menjadi tempat ibadah pertama di wilayah Giri.

Menurut Th.G.Th. Pigeaud, dalam Jong Java (1938), Sunan Giri dianggap sebagai pelopor pembangunan tempat khalwat, atau tempat meditasi, yang penting dalam kehidupan keagamaan sejak sebelum kedatangan Islam di Jawa. Kesuciannya diakui hingga ke masa Islam, dan Sunan Giri, yang merupakan pemimpin agama pertama di Giri, memiliki tempat keramat di atas bukit yang sangat dihormati oleh masyarakat.

Dalam penelitian oleh HJ. De Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud pada Kingdoms of Islam in Java: Transition from Majapahit to Mataram (1985), disimpulkan bahwa Prabu Satmata dari Giri dan ibu angkatnya, Nyai Gede Pinatih dari Gresik, memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat Islam di Gresik, mirip dengan peran Sunan Ampel di Surabaya. Tindakan Prabu Satmata di Giri dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat dan memantapkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan, terutama bagi pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya.

Dari kedatonnya yang megah di bukit Giri, Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam melalui pendidikan masyarakat dan seni pertunjukan yang menarik minat. Sunan Giri terkenal tidak hanya sebagai pencipta tembang-tembang dolanan anak-anak, tetapi juga tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung yang digemari masyarakat. 

Bahkan, dia juga melakukan reformasi atas seni pertunjukan wayang, dengan menyempurnakan hiasan-hiasan wayang seperti gelang, anting telinga, dan hiasan kepala. Dengan begitu, Sunan Giri tidak hanya meninggalkan warisan spiritual, tetapi juga kultural yang tak ternilai harganya bagi masyarakat Jawa.

Sunan Giri tidak hanya dikenal sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai seorang seniman yang mengagumkan. Dia menciptakan lakon-lakon wayang yang memperkaya khazanah seni Jawa dengan menambahkan tokoh-tokoh wayang baru dari golongan wanara, seperti Hanoman, Sugriwa, Kapi Menda, Kapi Sraba, Kapi Anala, dan banyak lagi. Kehebatan Prabu Satmata Sunan Giri tidak hanya terlihat dalam seni, tetapi juga dalam keberhasilannya membawa kemakmuran bagi masyarakat Muslim di Gresik.

Pada masa kekuasaan Pangeran Zainal Abidin Sunan Dalem, putra Sunan Giri yang dikenal dengan gelar Sunan Giri II, kekuasaannya terasa kuat di daerah agraris di pedalaman. Tome Pires, seorang musafir Portugis yang datang ke Jawa pada tahun 1513-1514, menggambarkan kekuasaan Pangeran Zainal Abidin sebagai penguasa Islam tertua di kota-kota pesisir Jawa dan Jawa Timur, yang menjalin hubungan baik dengan penguasa Demak, Sultan Trenggana. Jasa besar Pangeran Zainal Abidin dalam pengembangan Islam sangat diakui.

Puncak kejayaan Giri tercapai saat cucu Sunan Giri bernama Pangeran Pratikha yang terkenal dengan nama Sunan Giri Prapen memimpin. Pada masa ini, tidak hanya kedaton dan masjid Giri yang diperbaiki dan diperluas, tetapi juga dakwah Islam berkembang hingga ke Kutai, Gowa, Sumbawa, Bima, dan bahkan hingga ke Maluku. 

Meskipun Sunan Giri Prapen melakukan tindakan besar dalam menyebarkan Islam, namun keagungan, kehormatan, kemuliaan, dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri Prabu Satmata. Makamnya menjadi tempat ziarah yang suci bagi umat Islam hingga saat ini.


Topik

Serba Serbi sunan giri situs giri kedaton kisah sunan giri



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana