free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengungkap Misteri Candi Ngetos: Jejak Makam Raja Hayam Wuruk, Penguasa Agung Majapahit

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

30 - Apr - 2024, 02:05

Placeholder
Candi Ngetos di Kabupaten Nganjuk.(Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Senja menyelimuti Candi Ngetos dengan kehangatan yang lembut. Meski memasuki senja, sisa-sisa kemegahannya masih terlihat. Candi Ngetos adalah tempat peristirahatan terakhir bagi salah satu raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit: Raja Hayam Wuruk.

Saat matahari hampir meredup sepenuhnya, dua sosok yang tetap setia berada di sekitar candi, menghadap langsung pada lingga yoni yang terdapat di dalamnya. Dua peziarah yang jarang terlihat itu mempersembahkan dupa dengan penuh kesungguhan, menjalankan laku spiritual mereka dengan penuh keyakinan. Mereka adalah orang kejawen, yang telah lama mengabdikan diri pada tradisi spiritualitas dan kepercayaan pada kekuatan gaib yang mengalir dalam alam semesta.

Baca Juga : Residivis di Malang Ditangkap Polisi Usai Mencuri, Kerugian Capai Rp 82 Juta

Saat langit semakin memudar menjadi warna kebiruan, suasana semakin hening di sekitar Candi Ngetos. Suara langkah kaki dan bisikan-bisikan mulai reda, digantikan oleh kesunyian malam yang memenuhi setiap sudut. Candi yang megah itu, di bawah cahaya bulan yang mulai menampakkan diri, terlihat semakin sunyi dan dalam. Bagi dua peziarah yang masih setia berada di sana, maghrib bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah ritual spiritual yang penuh makna.

Itulah potret suasana senja yang membentang indah di sekitar Candi Ngetos yang telah runtuh. Monumen bersejarah ini, yang terletak di tepi jalan antara Kuncir dan Ngetos, tidak hanya menjadi penjaga sejarah, tetapi juga makam dari salah satu raja paling terkenal dalam sejarah Nusantara: Raja Hayam Wuruk.Sebagai saksi bisu dari masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahannya, Candi Ngetos meskipun telah hancur tetap memancarkan aura kemegahan yang tak terpadamkan.

Hayam Wuruk (lahir pada tahun 1334, wafat pada tahun 1389) merupakan maharaja keempat Majapahit yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389. Beliau dikenal dengan gelar Maharaja Sri Rājasanagara. Di masa kepemimpinannya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Hayam Wuruk, yang secara harfiah berarti "ayam yang terpelajar", adalah putra dari Tribhuwana Tunggadewi, penguasa ketiga Majapahit, yang merupakan putri dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit, dan Sri Kertawardhana, yang juga dikenal sebagai Cakradhara, penguasa Tumapel atau Bhre Tumapel di wilayah yang kini dikenal sebagai Malang.

Hayam Wuruk, raja yang disebut sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah Nusantara ini, memimpin Majapahit menuju puncak kejayaannya pada abad ke-14 Masehi. Didampingi oleh Mahapatih Gadjah Mada, keduanya berhasil menyatukan sebagian besar wilayah Nusantara, menjadikan Majapahit sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di wilayah ini.

Namun, kejayaan itu tidak bertahan selamanya. Pada tahun 1389 Masehi, Raja Hayam Wuruk meninggal dunia, meninggalkan kerajaan yang mulai meredup. Tempat peristirahatan terakhirnya, Candi Ngetos, kini menjadi saksi bisu dari masa lalu yang mulai terlupakan.

Candi Ngetos, dengan segala kemegahannya, kini hanya tinggal puing-puing yang terbentur waktu. Bangunan yang pada masa kejayaannya menjadi tempat peristirahatan bagi seorang raja, kini hanya sisanya yang terhampar di antara reruntuhan. Dengan diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi, candi ini menyimpan sejumlah misteri yang sulit dipecahkan.Para ahli memperkirakan bahwa Candi Ngetos, dengan arca Siwa dan Wisnu yang ditemukan di dalamnya, mencerminkan kepercayaan agama Siwa-Wisnu yang dianut oleh Raja Hayam Wuruk. Namun, keberadaan relief seperti salib Portugis juga menimbulkan pertanyaan tentang pengaruh-pengaruh kebudayaan yang mungkin berinteraksi dengan Majapahit pada masa lalu.

Meskipun rusak dan terabaikan, bagian induk candi masih berdiri dengan gagah, menyimpan sebagian dari kejayaan masa lampau. Panjangnya mencapai 9,1 meter, dengan tinggi badan 5,43 meter, menjadikannya sebagai saksi bisu dari megahnya arsitektur masa itu. Namun, atapnya yang terbuat dari kayu telah lama lenyap, meninggalkan ruang-ruang kosong yang hanya dihuni oleh kenangan.
Tetapi, misteri Candi Ngetos tidak hanya terletak pada bangunannya yang hancur dan terlupakan. Luas halaman sebenarnya masih menjadi teka-teki bagi para peneliti. Kemungkinan adanya tingkat-tingkat halaman candi ini menambah kompleksitas dari keindahan yang terkubur dalam reruntuhan.

Relief pada Candi Ngetos, dulu berjumlah empat, namun kini hanya satu yang bertahan, sementara yang lain telah hancur. Pigura-pigura yang dulu menghiasi alasnya juga sudah lenyap tak berbekas. Di bagian atas dan bawah pigura, terdapat loteng-loteng yang terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, dengan tepi yang tak beraturan, membentuk bentuk banji yang menarik. Di sini terjadi perbedaan dengan bangunan bagian bawahnya yang tidak memiliki pigura, melainkan dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.

Di sisi kanan dan kiri candi, ada dua relung kecil dengan ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun, jika diperhatikan lebih teliti, bentuk spiral yang indah terperinci. Dindingnya kosong, tanpa relief penting, hanya di atasnya terdapat motif daun melengkung ke bawah dan horizontal, melingkari tubuh candi bagian atas.

Di bagian tubuhnya, di sebelah timur, selatan, dan utara, terdapat relung kosong dengan tinggi 2 meter dan lebar 0,65 meter. Di sisi barat tubuh candi, ada dua relung yang lebih kecil. Di atas relung-relung itu, terdapat hiasan kala, dan di sisi barat, di atas dua relung yang mengapit pintu masuk, ada hiasan yang merupakan perpanjangan dari rambut kepala kala yang terletak di atas pintu masuk. Yang menarik adalah motif kala yang besar, berukuran tinggi 2 x 1,8 meter, masih utuh terletak di sisi selatan. Wajahnya menakutkan, menggambarkan kewibawaan yang besar, mungkin digunakan sebagai penolak bahaya. Motif seperti ini umumnya terdapat pada pintu-pintu muka candi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, berasal dari India pada Zaman Hindu, namun, telah menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia.

Di Candi Ngetos, tak satupun arca terlihat kini. Namun, menurut cerita dari beberapa penduduk setempat yang dapat dipercaya, di dalam candi ini dulunya berdiri dua arca yang megah, yaitu paidon (tempat ludah) dan baki, semuanya ditempa dari kuningan. Krom, seorang ahli sejarah, pernah mencatat bahwa di candi ini pernah ditemukan sebuah arca Wisnu, yang kemudian dipindahkan ke Kediri. 

Baca Juga : Akun Ini Ungkap Suaminya Raih Juara Pertama Lomba Artificial Intelligence Tingkat Dunia di Madinah

Sedangkan nasib arca lainnya masih menjadi misteri. Meskipun demikian, ada keyakinan bahwa Candi Ngetos secara keseluruhan mencerminkan kepercayaan pada Siwa-Wisnu, walaupun mungkin peran arca Wisnu di sini hanya sebagai arca pendamping. Arca Siwa tetap menjadi pusat perhatian utama. Fenomena ini serupa dengan arca Hari-Hara yang ditemukan di makam Raden Wijaya di Candi Simping, Sumberjati, Blitar, yang jelas-jelas memiliki unsur Wisnu.

Menurut cerita rakyat yang berakar dalam sejarah, Candi Ngetos dibangun atas inisiatif Raja Hayam Wuruk. Tujuannya sederhana: sebagai tempat peristirahatan abu jenasahnya ketika wafat. Hayam Wuruk menginginkan pemakamannya di sana karena daerah Ngetos dianggap sebagai bagian dari wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, dianggap mirip dengan Gunung Mahameru.

Tradisi cerita lisan menyatakan, pembangunan candi ini diberikan kepada paman Hayam Wuruk, Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwoto. Di bawah pimpinan raja ini, terdapat seorang patih bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya berada sekitar 15 km di sebelah barat Ngatas Angin.

Dikisahkan bahwa Raden Ngabei Selopurwoto memiliki keponakan bernama Hayam Wuruk yang kemudian menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk sering mengunjungi pamannya dan Candi Lor semasa hidupnya. Wasiatnya menyatakan bahwa ketika wafatnya, jenasahnya akan dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun, bukan pada candi yang sekarang, melainkan pada candi yang kini sudah lenyap.

Legenda juga mencatat bahwa di Ngetos dulunya berdiri dua candi yang mirip (kembar), yang disebut Candi Tajum. Perbedaannya hanya pada ukuran, satu lebih besar dari yang lain. Krom juga menyatakan bahwa di sekitar candi Ngetos terdapat Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Terkait dengan kata Tajum, ada dugaan bahwa Tajum dapat disamakan dengan Tajung, karena perubahan bunyi "ng" menjadi "m" tanpa mengubah makna. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal, makamnya berada di Tajung, di daerah Berbek, Kediri.

Cerita berlanjut dengan kisah bahwa Raja Ngatas Angin, Raden Ngabei Selupurwoto, memiliki saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kemudian digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabei Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos. Dengan keahliannya, tugas itu diselesaikan sesuai petunjuk dalam waktu yang relatif singkat.

Candi Ngetos, dengan keanggunan yang tak tergoyahkan, telah menjadi saksi bisu dari masa lalu yang penuh makna. Di setiap batu dan relief yang terukir, tersimpan kisah-kisah legendaris tentang kebesaran Kerajaan Majapahit di era pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Sebuah masa keemasan yang membawa harapan dan kebanggaan bagi wilayah Nusantara, yang terpatri dalam kenangan dan warisan budaya yang dimiliki oleh candi megah ini.
Namun, kebesaran itu tidak berhenti pada kenangan semata.

 Seiring berjalannya waktu, tanggal 5 Mei 2024, di Desa Jimbe, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, akan menjadi momentum yang bersejarah dengan digelarnya Festival Desawarnana #2. Acara yang dirangkai sebagai peringatan akan perjalanan epik Raja Hayam Wuruk ke Blitar, tetapi lebih dari itu, festival ini adalah bentuk penghargaan dan penghormatan atas warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia.

"Festival Desawarnana ini diselenggarakan untuk mengenang kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Blitar pada tahun 1361. Nah, dari kunjungan bersejarah itu, kami terinspirasi untuk membuat kegiatan yang diikuti oleh desa-desa yang pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk,” terang Rahmanto Adi, panitia kegiatan dari Sulud Sukma, Rabu (24/4/2024).

Melalui panggung Festival Desawarnana #2, semangat dan kebijaksanaan Hayam Wuruk akan terus dipersembahkan, diselami, dan diabadikan untuk generasi mendatang. Setiap pertunjukan seni, setiap pembicaraan tentang sejarah, dan setiap sentuhan budaya akan menjadi wujud penghargaan atas perjuangan dan pencapaian luar biasa dari seorang pemimpin yang tetap dikenang dalam relung-relung hati bangsa. Sebuah perayaan yang tak hanya memperingati masa lalu, tetapi juga menandai janji untuk menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur bagi masa depan yang gemilang. Salam Budaya!


Topik

Serba Serbi candi ngetos kerajaan majapahit hayam wuruk peninggal majapahit



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya