JATIMTIMES- Di balik gemerlapnya bulan Ramadan, terdapat sebuah pondok bambu yang menjadi saksi bisu dari jejak spiritualitas penyebaran agama Islam di Blitar. Di sana, aktivitas mengaji mengalir dalam harmoni, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh keberkahan.
Ademnya angin sore membelai rerumputan yang hijau, sementara cahaya rembulan pelan-pelan mulai menampakkan diri, menyoroti jalan setapak menuju Pondok Bambu peninggalan Syech Abu Hasan. Di antara hamparan hijau yang sunyi, berdirilah pondok kecil yang terbuat dari anyaman bambu tua, menjadi saksi bisu dari ribuan ayat suci yang terucap dalam alunan zikir yang merdu.
Baca Juga : Tantangan Ekonomi: 466 Koperasi di Blitar Tertidur, 70 Terancam Dibubarkan
Suasana di dalam pondok bambu itu terasa hangat dan lembut, diterangi oleh cahaya lampu yang bersinar terang. Para warga sekitar dan anak-anak yang mengaji berkumpul di lantai kayu yang bersih, mengelilingi seorang guru ngaji yang bijaksana.
Telapak tangan sang Guru menggenggam kitab suci Al-Quran dengan penuh kerendahan hati, dan mata yang berbinar penuh semangat, khusyuk dalam mencari cahaya spiritual dalam menerangi kegelapan.
Waktu berbuka puasa akhirnya telah tiba. Suara azan maghrib berkumandang, menyambut saat yang ditunggu-tunggu oleh setiap warga sekitar dan anak-anak yang mengaji di pondok bambu. Mereka bersiap-siap dengan penuh antusiasme, menyusun hidangan sederhana namun penuh berkah di atas tikar yang bersih.
Inilah potret kehangatan suasana ngabuburit di Pondok Pesantren Nurul Huda, terletak di Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Suasana yang terasa hari ini masih mempertahankan aroma dan semangat masa lalu, ketika pesantren menjadi pusat keilmuan yang tak tergoyahkan.
Sejak abad ke-19, cerita lisan mengenai Pondok Pesantren telah mengakar kuat di Blitar. Di tengah gemuruh sejarah pasca Perang Diponegoro, terdapat sebuah titik terang yang masih bersinar hingga kini: Pondok Pesantren Nurul Huda. Berlokasi di Desa Kuningan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, pondok ini dipercaya sebagai yang pertama kali berdiri di wilayah itu, dengan Syech Abu Hasan sebagai penggagasnya.
Hingga kini belum ditemui kejelasan asal usul Syech Abu Hasan. Namun demikian, beliau dianggap sebagai sosok yang membawa cahaya ke wilayah Blitar. Meskipun tak ada bukti otentik tentang pendirian pondok ini, cerita dari keluarga besar Abu Hasan memperkuat keyakinan bahwa pondok ini berdiri sekitar awal abad ke-18, menyusul perang dan migrasi besar-besaran kalangan ulama dan bangsawan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Haikal Asrafi, keturunan keenam dari Syech Abu Hasan, menurunkan cerita yang kaya tentang leluhurnya. Menurutnya, Abu Hasan adalah seorang putra dari seorang ulama yang bijaksana dari Sleman, Yogyakarta.
Setengah hidupnya, Syech Abu Hasan dedikasikan untuk menimba ilmu agama Islam di Mamba’ul Oeloem, sebuah Madrasah Diniyyah yang dikelola oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat setelah perjanjian Giyanti 13 Februari tahun 1755.
"Pada tahun 1819, Syech Abu Hasan dipilih untuk membawa dakwah Islam ke wilayah timur, dan daerah Kuningan di Blitar dipilih sebagai tempat dakwah, yang saat itu diperintah oleh Pangeran Adipati Aryo Blitar," kata Haikal.
Dengan kecerdasan dan dedikasi dalam menuntut ilmu, Abu Hasan kemudian diangkat sebagai salah satu penghulu keraton (Kyai Keraton). Pada usia 29 tahun, sebelum memulai dakwahnya, beliau diberi tombak Dwi Sula oleh Sultan Hamengkubuwono IV, adik Pangeran Diponegoro. Tombak itu diberikan sultan kepada Abu Hasan sebagai tanda penghargaan.
"Keberadaan Tombak Dwi Sula milik Syaikh Abu Hasan telah disahkan oleh Sejarawan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Ki Herman Sinung Janutomo. Dia melihat secara langsung tombak itu dan mengonfirmasi bahwa itu adalah tombak mandat penghulu dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," jelasnya.
Haikal menceritakan bahwa tombak tersebut selalu menemani Syech Abu Hasan dalam dakwahnya untuk menyebarkan agama Islam. Bahkan saat ini, tombak tersebut masih dijaga oleh keluarga dan digunakan sebagai tongkat mimbar Khotib setiap Sholat Jumat di Masjid Nurul Huda di Kuningan.."Hingga kini, Tombak Dwi Sula masih kami rawat dan digunakan setiap Jumat sebagai tongkat mimbar Sholat Jumat," tambahnya dengan bangga.
Menurut cerita lisan, perjalanan Abu Hasan ke Blitar tidaklah mudah. Dikisahkan bahwa setelah melarikan diri dari kejaran Belanda, ia terlebih dahulu menetap di Desa Sumberdiren, Kecamatan Garum. Namun, semangatnya untuk menyebarkan ilmu agama membawanya ke Kuningan, di mana ia mendirikan pondok yang menjadi cikal bakal pesantren-pesantren di Blitar.
Hingga kini, bangunan Pondok Pesantren Nurul Huda tetap kokoh berdiri, menyimpan jejak-jejak masa lalu Abu Hasan. Rumah kediamannya dan pondok model jaman dulu yang berbentuk angkringan, menjadi saksi bisu dari perjalanan spiritual seorang pendakwah yang benar-benar menjadi penerang di tengah gelapnya masa lalu.
Muhammad Kirom, keturunan keempat dari Syech Abu Hasan, menjelaskan bahwa menurut kepercayaan banyak orang, Mbah Abu Hasan datang ke Blitar bersama seorang teman yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya.
Di Sumberdiren, Mbah Abu Hasan kemudian menikahi seorang gadis desa yang nantinya dikenal dengan nama Bu Riyah.
Tetapi, kehidupan mereka di Sumberdiren tidak begitu menyenangkan. Setelah pernikahan, mertua Bu Riyah mendorong pasangan itu untuk mencari tempat tinggal baru yang lebih cocok. Oleh karena itu, Abu Hasan dan istrinya memutuskan untuk menjelajahi hutan dan akhirnya menetap di Desa Kuningan, di mana Pondok Pesantren Nurul Huda kemudian dibangun.
“Setelah pernikahan mereka, mertua Bu Riyah menyarankan agar mereka mencari tempat tinggal baru yang lebih cocok. Dengan tekad yang kuat, Mbah Abu Hasan dan istrinya memilih untuk menjelajahi hutan dan akhirnya menetap di Desa Kuningan. Di situlah, , tercetus ide untuk mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda,” ungkap Kirom.
Baca Juga : DKPP Kota Blitar Gencar Pantau Kesehatan Hewan di Bulan Ramadan, DPRD Beri Dukungan Penuh
Pondok Pesantren Nurul Huda, yang didirikan oleh Syech Abu Hasan, telah mengalami perkembangan yang luar biasa seiring berjalannya waktu. Dalam legenda masa lalu, banyak tokoh terkemuka yang dikatakan belajar di pondok ini, termasuk salah satunya adalah Wachid Hasyim, seorang mantan Menteri Pendidikan RI dan ayah dari Presiden RI ke-5, KH Aburachman Wahid (Gus Dur).
Kejayaan pondok ini mencapai puncaknya pada masa penjajahan Jepang. Selain memiliki jumlah santri yang melimpah, pondok ini juga menjadi tempat di mana banyak santri terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Tidak hanya itu, cucu Syech Abu Hasan, yaitu Kyai Mansyur dari Kalipucung, terkenal sebagai tokoh yang “nyuwok” bambu runcing saat peristiwa 10 November di Surabaya.
"Dalam masa pendudukan Jepang, banyak santri pondok ini yang turut serta dalam perang dan rela gugur sebagai syuhada. Pada saat itu, pondok ini sering menjadi tempat latihan perang, dan jejak-jejaknya masih tersisa hingga sekarang. Terkadang, orang menemukan senjata-senjata laras panjang, granat, dan mortar ketika menggali di sekitar pondok ini," terang Kirom dengan nada penuh semangat.
Meskipun santri di pondok ini sudah tidak ada lagi, namun peran pentingnya dalam penyebaran Islam di Blitar tetap tak terbantahkan. Selain melahirkan ulama-ulama yang gemilang, hampir semua pondok pesantren lain di Blitar ternyata didirikan oleh keturunan Syech Abu Hasan.
"Keturunan Mbah Abu Hasan banyak yang kemudian mendirikan pondok pesantren. Tidak hanya di Blitar, tapi ada yang bahkan merambah hingga Kediri, Malang, hingga Surabaya. Salah satunya adalah Kyai Adib dari Kepanjen, yang mendirikan Ponpes Al Fitroh, dan beliau pun merupakan keturunan langsung dari Mbah Abu Hasan," ungkap Kirom.
Tentang Syech Abu Hasan sendiri, tanggal pasti meninggalnya masih menjadi teka-teki. Seperti yang disebutkan Kirom sebelumnya, tidak ada bukti otentik yang dapat mengkonfirmasi hal ini. Namun, jasadnya disemayamkan di sisi barat Masjid Pondok Pesantren Nurul Huda, berdampingan dengan istri, putrinya dan menantunya Syech Abu Mansyur. Makamnya masih sering dikunjungi oleh berbagai kalangan, dari tokoh hingga para santri.
Bagi pengunjung yang datang ke sini, akan ditemui dengan misteri yang masih belum terpecahkan. Di dalam area pondok, terdapat batu-batu besar yang mirip dengan batu candi, serta penemuan koin emas. Bahkan, di atap masjid terdapat tulisan tahun 1796 dalam aksara Arab. Ketiga hal tersebut hingga kini belum berhasil diungkap, bahkan oleh para arkeolog.
Di kawasan pondok ini terdapat pula rumah utama kediaman Abu Hasan yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah. Beberapa bangunan lainnya juga masih terjaga dengan baik, mulai dari pondok pesantren bambu yang terhormat hingga masjid jami' Nurul Huda yang dengan mimbar khotbah yang mengagumkan. Ada juga tombak Dwi Sula, pedang, dan sendang pasucen, sebuah kolam untuk bersuci.
"Arkeolog pernah meyakini bahwa di bawah masjid ini mungkin terdapat candi, bahkan diperkirakan lebih besar dari Candi Penataran. Namun, upaya untuk menggali belum dilakukan lebih lanjut, karena saya meminta ganti rugi pembongkaran. Masjid ini adalah tempat ibadah dan pencarian ilmu, sehingga arkeolog tidak berani melakukan penggalian lebih lanjut," paparnya dengan tegas.
Abu Hasan, ulama yang berpengaruh itu, memiliki tujuh orang anak, empat putra dan tiga putri. Salah satu menantunya adalah Syech Abu Mansyur, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Abu Mansyur sendiri adalah seorang ulama yang berasal dari keturunan Mbah Kiai Nur Iman, saudara Sultan Hamengkubuwono I, raja pertama Yogyakarta dan Sunan Pakubuwono II, raja Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Leluhur Abu Mansyur yaitu Kiai Nur Iman Mlangi, atau dikenal juga sebagai RM Sandeyo, menorehkan sejarah dengan catatan perjalanan spiritual yang menakjubkan. Dilahirkan pada 1708, beliau adalah pendiri dusun Mlangi di Sleman, Yogyakarta. Mlangi menjadi tempat di mana Kiai Nur Iman pertama kali menyebarkan ajaran agama kepada masyarakat setempat, sehingga dusun itu disebut "Mulangi" atau Mlangi.
Setelah perang suksesi Jawa ketiga berakhir, RM Sandeyo memutuskan untuk hidup di luar istana dan bergabung dengan penduduk setempat. Dia menetap di sebuah desa, mengubah namanya menjadi Kiai Nur Iman, dan mengamalkan ilmu yang diperoleh di pesantren.
Di sinilah ia mendirikan pondok pesantren yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Mlangi, sementara tempat tinggalnya dikenal sebagai Mlangi. Tanah tempat tinggal Kiai Nur Iman merupakan pemberian dari Sultan Hamengkubuwono I, dan menjadi tanah perdikan yang bebas dari pajak.
Ketika Kiai Nur Iman wafat, ia dimakamkan di halaman belakang masjid yang dibangun pada tahun 1760. Saat ini, masjid dan makamnya di Mlangi menjadi tempat ziarah bagi berbagai kalangan dari seluruh penjuru tanah air.