free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Jejak Pakubuwono II: Perjalanan Raja Mataram Mencari Kebangkitan Mahkota yang Hilang di Pesantren Tegalsari

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

16 - Mar - 2024, 17:48

Placeholder
Gerbang makam Kiai Ageng Muhammad Besari di kawasan Masjid Tegalsari, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo.(Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pesantren Tegalsari atau yang dikenal juga sebagai Pesantren Gebang Tinatar, menjadi salah satu penjaga kebesaran tradisi keislaman di Indonesia. Didirikan pada abad ke-17 oleh sosok Kiai Ageng Muhammad Besari, pesantren ini telah menjadi tempat yang dihormati dan diakui oleh banyak orang.

Dengan ribuan santri yang berasal dari berbagai penjuru tanah Jawa dan sekitarnya, Pesantren Tegalsari menjadi pusat pembelajaran yang dihargai. Di antara para santri yang pernah mengenyam ilmu di pesantren ini, terdapat beberapa nama yang telah melintasi waktu, seperti Pakubuwono II, Ranggawarsita, Pangeran Diponegoro, dan HOS Cokroaminoto. Mereka adalah saksi hidup dari kebesaran tradisi keislaman yang terpelihara dengan baik di pesantren ini.

Baca Juga : Bupati Blitar Rini Syarifah Ungkap Capaian LKPJ 2023: Ekonomi Membaik, Prestasi Meningkat

Awal mula pesantren ini bermula dari Kiai Ageng Muhammad Besari, yang memulai kehidupan pertapaan di tengah hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis hingga dataran Ponorogo. Dalam kesunyian tersebut, dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. 

Tak berapa lama kemudian, orang-orang seiman datang untuk mencari ilmu dari Kiai Besari. Jumlah pengikutnya pun bertambah secara perlahan, hingga akhirnya pertapaan tersebut berkembang menjadi sebuah desa yang dikenal sebagai Tegalsari. Perubahan ini menandai awal dari perjalanan panjang pesantren ini dalam menyebarkan ilmu dan spiritualitas kepada masyarakat sekitar.

Di tempat pertapaannya, Kiai Ageng Muhammad Besari dengan penuh dedikasi mengajarkan ilmu Al-Quran serta pelajaran keagamaan lainnya kepada para pengikutnya. Jumlah mereka terus bertambah dan komunitasnya berkembang dengan pesat.

Pertapaan yang awalnya tidak begitu penting, yang dipimpin oleh Kiai Muhammad Besari, kemudian menjadi sebuah desa yang berkembang pesat. Desa ini akhirnya diberi nama "Tegalsari", yang berasal dari kata "tegal" yang berarti tanah datar (mengacu pada awal pembentukannya sebagai sebuah desa) dan "sari" yang berarti bunga (mencerminkan perkembangan pesat desa tersebut).

Pada 30 Juni 1742,  meletus pemberontakan Geger Pecinan yang menandai kejatuhan Susuhunan Pakubuwono II. Pasukan Jawa-Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Garendi  berhasil mengalahkan pasukan Susuhunan dengan mudah dan mengepung Kartasura.

 Meskipun demikian, Pakubuwono II berhasil melarikan diri dari bahaya. Dalam pelariannya, ia hanya dijaga oleh segelintir orang yang setia dan petugas VOC.

Susuhunan Pakubuwono II, yang juga dikenal sebagai pendiri Keraton Surakarta, merupakan putra dari Amangkurat IV, diberi nama Raden Mas Probosuyoso pada kelahirannya pada 8 Desember 1711.

Naik takhta pada usia yang masih belia, 15 tahun, pada 15 Agustus 1726, Raden Mas Probosuyoso mengambil gelar Sri Susuhunan Pakubuwono II, mengikuti jejak kakeknya, Sri Susuhunan Pakubuwono I. Namun, keberhasilan naik takhta disertai oleh persaingan internal di keraton. Dia menyingkirkan pesaing terkuat yang juga saudaranya,  Pangeran Arya Mangkunegara.

Masa pemerintahan Pakubuwono II ditandai dengan gejolak besar, termasuk peristiwa Geger Pacinan pada tahun 1743, pemberontakan etnis Tionghoa dari Batavia terhadap Belanda. 

Pakubuwono II awalnya mendukung pemberontak Tionghoa. Namun ia berubah sikap setelah kegagalan penaklukan Semarang pada 1742 dan kembali bersekutu dengan Belanda. 

Pemberontakan Raden Mas Garendi yang diangkat oleh etnis Tionghoa dan masyarakat Mataram sebagai pemimpin menyebabkan Pakubuwono II terpaksa melarikan diri ke Ponorogo.

Di pihak musuh, Raden Mas Garendi, yang dikenal juga sebagai Sunan Kuning, lahir sebagai putra bungsu Pangeran Teposono pada tahun 1726. Sejak masa kecilnya, hidupnya telah diwarnai oleh politik yang penuh intrik. Keluarganya terlibat dalam konflik berdarah, dimulai dari kakeknya Sunan Amangkurat III yang diasingkan jauh ke Sri Lanka, hingga ayahnya, Pangeran Teposono, dihukum mati oleh Pakubuwono II atas tuduhan pemberontakan.

Setelah kematian ayahnya, Raden Mas Garendi diselamatkan oleh pamannya, Wiramenggala, yang membawanya melarikan diri dari istana Mataram di Kartasura. Garendi kemudian memimpin pemberontakan Geger Pecinan (1740-1743) dengan bantuan pasukan gabungan Laskar Jawa-Tionghoa.

Baca Juga : 129 Ribu Warga Banyuwangi Bakal Dapat Bantuan Pangan

Dalam perlawanan ini, Garendi berhasil menumbangkan pemerintahan Pakubuwono II dan naik takhta dengan gelar Amangkurat V. Namun, kekuasaannya tidak berlangsung lama, karena enam bulan kemudian, VOC bersama Cakraningrat IV dari Madura berhasil menggulingkannya. Meskipun pemberontakan ini akhirnya gagal, Raden Mas Said turut berperan sebagai salah satu komandan perangnya.

Terusir dari istananya, Pakubuwono II melarikan diri ke Madiun, tempat ia berusaha mengumpulkan pendukungnya yang tersebar di sana. Namun, upayanya untuk mendapatkan kembali mahkotanya yang hilang berujung sia-sia. Dalam keputusasaan yang membebani hatinya, raja memutuskan untuk menepikan diri di Ponorogo untuk mencari pengampunan dan berdoa agar dapat merasakan nikmat yang lama hilang.

Dalam pencarian spiritualnya di Ponorogo, sang raja mendirikan langgar di Desa Tamanarum, Setono, dan Karanggebang, berdoa berhari-hari agar mendapatkan petunjuk yang diharapkan dapat membimbingnya kembali ke jalan yang benar. Di tengah kegelapan yang menghampiri, satu nama muncul sebagai harapan terang: Kiai Ageng Muhammad Besari.

Sebagai seorang imam yang terpandang dan memiliki reputasi, Kiai Ageng Muhammad Besari adalah orang yang paling cocok untuk memegang tugas penting ini. Dengan penuh keyakinan, sang raja pun mencari bantuan dari Kiai Ageng Muhammad Besari, satu-satunya yang diyakini dapat membimbingnya kembali ke jalan yang benar.

Kiai Ageng Muhammad Besari menyambut raja dengan penuh hormat, mengakui martabatnya sebagai seorang raja Jawa. Namun, dalam pertemuan itu, Pakubuwono II dengan rendah hati memohon kepada Kiai Ageng untuk menjadi perantara antara dirinya dan Tuhan, memohon doa agar dia dapat memperoleh kembali mahkota kerajaan yang merupakan warisan leluhurnya. 

Raja pun bersumpah bahwa jika Tuhan mengembalikan martabatnya sebagai seorang raja, dia akan menjadikan Tegalsari sebagai pusat pembelajaran agama Islam di kerajaannya.

Tidak hanya itu. Raja juga berjanji akan memberikan pengelolaan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta mengangkat desa itu sebagai desa perdikan. Dengan status itu, desa akan dibebaskan dari pajak, upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan, menjadi suatu tanda penghargaan abadi atas jasa-jasa spiritual yang dilakukan oleh Kiai Ageng dan keluarganya.

Pada 26 November 1742, Pakubuwono II dengan bantuan Cakraningrat IV dari Madura melancarkan serangan terhadap Amangkurat V di Istana Kartasura. Pasukan mereka datang dari arah Bengawan Solo, sementara pasukan Belanda turut bergerak dari arah Ungaran dan Salatiga. Serangan tersebut berhasil merebut kembali Karaton Kartasura dan mengusir Amangkurat V beserta pasukannya dari istana Mataram, memaksa mereka mengungsi ke selatan.
Namun, perjuangan Amangkurat V berakhir dengan kegagalan yang menghancurkan. Ia terpaksa melarikan diri dan kabar dari Belanda menyebutkan bahwa ia tertangkap di Surabaya pada bulan Desember 1743 setelah terpisah dari rombongannya.
Setelah penangkapannya, Amangkurat V, yang juga dikenal sebagai Raden Mas Garendi, dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, sebelum akhirnya dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka. Tak ada yang tahu dengan pasti kapan Raden Mas Garendi mengembuskan napas terakhirnya. Catatan dari pihak Belanda menyebutkan bahwa Garendi wafat saat masih dalam pembuangan di Sri Lanka.

Sebagai bukti kesetiaan kepada janjinya, Pakubuwono II menepati janjinya dengan memberikan Tegalsari kepada Kiai Ageng Muhammad Besari dan keturunannya. Namun, pemberian tersebut tidaklah tanpa syarat. Kiai Ageng Muhammad Besari dan keturunannya diminta untuk tetap mengajar ajaran Nabi Muhammad kepada masyarakat, serta jika memungkinkan, melatih para pemuda agar menjadi ulama yang berilmu. 

Pesantren Tegalsari tidak hanya menjadi tempat warisan spiritual, tetapi juga menjadi pusat pembelajaran agama Islam yang mendidik generasi penerus dengan kearifan dan pengetahuan yang diteruskan dari generasi ke generasi.

Setelah pemberontakan Geger Pecinan berhasil dikendalikan oleh Belanda dan Amangkurat V dilengserkan, Pakubuwono II kembali ke Kartasura. Namun istana Mataram telah rusak. Dengan tekad bulat, ia kemudian memindahkan istana ke Desa Sala, yang kemudian menjadi diresmikan dengan dengan nama Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 1744.


Topik

Serba Serbi Kisah raja Mataram Kerajaan Mataram sejarah Mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy