JATIMTIMES - Letnan Kolonel Johannes Baptista Soesdarjanto (Susdaryanto) lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 27 Juni 1934. Setelah lulus dari Akademi IImu Pelayaran pada 1958, 4 tahun kemudian ia bergabung dengan Angkatan Laut Indonesia dan diberangkatkan ke Maryland, Amerika Serikat untuk mengenyam pendidikan lanjutan bidang hidrografi.
Sepulang dari Amerika, ia ditempatkan pada jabatan-jabatan yang mentereng. Susdaryanto sempat menjadi komandan beberapa kapal TNI AL dan menjabat Kadis Pemetaan pada 1979. Namun siapa sangka, sekalipun berstatus tentara, Letkol Susdaryanto ternyata berkhianat pada bangsanya sendiri.
Baca Juga : Pernah Dicibir, Produk Aksesoris Etnik Kota Batu Kini Mendunia
Lewat posisinya sebagai Kadis Pemetaan, Susdaryanto berkenalan dengan Vladimir seorang agen mata-mata rahasia KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti) Rusia. Susdaryanto menjual pada Vladimir peta kelautan Indonesia, laporan dan perjanjian survey Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang (Memorandum of Procedure Survey Operation); rencana kerja Janhidros (Jawatan Hidro Oseanografi) TNI AL, dan laporan bulanan operasi/survey Hidros untuk setahun.
Untuk dokumen dokumen tersebut, Sang Letkol menerima imbalan sebesar Rp600.000. Nominal yang sangat banyak untuk masa itu. Praktik jual beli dokumen penting dan rahasia ini terus berlangsung sejak selama bertahun tahun. Agen-agen Rusia yang berhubungan kontak dengan Susdaryanto juga sudah silih berganti. Mereka diantaranya menggunakan nama samaran Yuri, Robert dan Wito.
Belakangan, diketahui Robert bernama asli Alexander Finenko, seorang agen KGB yang menyamar sebagai Manager kantor perwakilan maskapai Aeroflot, maskapai penerbangan Rusia yang dulu sempat mengudara di Indonesia. Sementara Wito adalah seorang Letkol Angkatan Laut Rusia bernama asli Sergei Egorov.
Kepada para agen tersebut, Susdaryanto menyerahkan dokumen rahasia lainnya. Diantaranya laporan internal TNI AL, seperti laporan tahunan Jahindros, juklak (petunjuk pelaksanaan) anggaran, laporan bulanan intelejen Spam (Staf Umum Pengamanan), Kasal (dalam dan luar negeri), dan laporan bulanan staf operasi Kasal.
Susdaryanto juga menyerahkan laporan hasil survei Selat Malaka yang merupakan kerja sama antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang. Termasuk perjanjian dan laporan survei di Selat Makassar kerja sama Indonesia dan Amerika Serikat; program kerja Jahindros TNI AL; dan laporan surveil Amindo Jaya II Join-Survey.
Agen yang terakhir kali berhubungan dengan Susdaryanto adalah Robert dan Wito. Keduanya meminta untuk disediakan data fisik arus, temperatur, kadar garam air laut Selat Makassar dan laut Ambon. Keduanya juga menanyakan apakah Amerika Serikat telah memasang Early Warning System (EWS) di laut Indonesia.
Belakangan diketahui data-data ini akan digunakan untuk pemetaan jalur rute kapal selam Rusia di perairan Indonesia. Sekaligus ingin mengetahui seberapa besar kekuatan Amerika Serikat yang sudah ada di Indonesia. Karena saat itu persaingan antara AS dengan Russia untuk menjadi negara terkuat memang sedang panas-panasnya.
Gerak gerik para agen ini akhirnya tercium badan intelejen Indonesia saat itu masih bernama BAKIN di bawah kepemimpinan L.B Moerdani. Mereka berhasil menyadap telepon Susdaryanto dan mengetahui rencana serah terima dokumen yang akan ia lakukan di sebuah restoran di Jakarta Timur pada 4 Februari 1982.
Baca Juga : Program KIP Kuliah Merdeka 2024, Berikut Syarat dan Besaran Dana yang Diperoleh
Sebuah operasi tangkap tangan dibuat dengan sandi "Pantai". Para intel menyusup di restoran itu sebagai pelanggan, beberapa diantaranya bahkan membawa anak istri mereka untuk penyamaran. Kemudian para intel tersebut menangkap basah transaksi yang akan dilakukan oleh Susdaryanto dan Wito. Sayang Robert saat itu tidak hadir dalam pertemuan tersebut
Walaupun tertangkap basah, Letkol Egorov alias Wito tidak bisa ditahan. la hanya diusir dari Indonesia karena memiliki kekebalan diplomatik. Sebab posisinya sebagai asisten atase pertahanan Rusia di Indonesia.
Susdaryanto diminta untuk angat kaki maksimal 2x24 jam sejak ia dilepas. Sedangkan Alexander Finenko ditangkap di Bandara Halim Perdanakusuma pada 6 Februari 1982 saat mencoba kabur pasca Susdaryanto ditangkap. Namun ia kemudian juga dilepas tanpa sempat diadili. Tetapi imbas terbuktinya Finenko terlibat pada spionase tersebut membuat maskapai Aeroflot ditutup. Pada 1984, dalam sidang di Mahkamah Militer Tinggi Il Barat (Jakarta-Banten) Susdaryanto mengakui semua perbuatannya.
“Alasan dia melakukan tindakan itu karena kebutuhan ekonomi, iri kepada teman-teman sekantor yang lebih baik keadaan ekonominya, kepangkatan yang tidak naik-naik, dan keadaan hukum yang tidak menentu sebagaimana sering dibacanya di koran-koran," kata majelis hakim, dikutip akun TikTok @mwv.mystic.
Akibat pengkhianatannya itu, Susdaryanto pun otomatis dipecat dari TNI AL dan mendapat hukuman penjara 10 tahun. Uang senilai 300.000 rupiah yang rencananya menjadi bayarannya juga disita oleh negara.