free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Memperingati 269 Tahun Perjanjian Giyanti

Kisah Tragis Sunan Pakubuwono II: Dari Kematian di Pelukan Belanda Hingga Pemakaman di Laweyan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

16 - Feb - 2024, 20:42

Placeholder
Petilasan makam Sunan Pakubuwono II (nisan warna hitam) di Astana Laweyan, Kota Surakarta. (Foto: Aunur Rofiq/ JatimTIMES)

JATIMTIMES- Sri Susuhunan Pakubuwono II, raja kesembilan Kasultanan Mataram yang memerintah antara tahun 1726 hingga 1749, menorehkan babak yang penuh tantangan dalam sejarah kerajaan Jawa. 

Masa pemerintahannya ditandai dengan berbagai konflik pemberontakan dan diakhiri dengan perjanjian dengan kompeni yang membawa Mataram ke jurang kehancuran.

Baca Juga : Remaja Main Kano di Pantai Sijile TN Baluran Ditemukan Meninggal Tenggelam

Pakubuwono II, yang juga dikenal sebagai pendiri Keraton Surakarta, merupakan putra dari Amangkurat IV, diberi nama Raden Mas Probosuyoso pada kelahirannya pada 8 Desember 1711.

Naik takhta pada usia yang masih belia, 15 tahun, pada 15 Agustus 1726, Raden Mas Probosuyoso mengambil gelar Sri Susuhunan Pakubuwono II, mengikuti jejak kakeknya, Sri Susuhunan Pakubuwono I. Namun, keberhasilan naik takhta disertai oleh persaingan internal di keraton, dimana ia menyingkirkan pesaing terkuat yang juga saudaranya,  Pangeran Arya Mangkunegara.

Masa pemerintahan Pakubuwono II ditandai dengan gejolak besar, termasuk peristiwa Geger Pacinan pada tahun 1743, pemberontakan etnis Tionghoa dari Batavia terhadap Belanda. Pakubuwono II awalnya mendukung pemberontak Tionghoa, namun ia berubah sikap setelah kegagalan penaklukan Semarang pada 1742 dan kembali bersekutu dengan Belanda. Pemberontakan Raden Mas Garendi yang diangkat oleh etnis Tionghoa dan masyarakat Mataram sebagai pemimpin, menyebabkan Pakubuwono II terpaksa melarikan diri ke Ponorogo.

Setelah pemberontakan berhasil dikendalikan oleh Belanda dan Amangkurat V dilengserkan, Pakubuwono II kembali ke Kartasura, namun istana Mataram telah rusak. Dengan tekad bulat, ia kemudian memindahkan istana ke Desa Sala, yang kemudian menjadi Keraton Surakarta pada tahun 1744.

Meski mencoba untuk membangun kembali kerajaan baru di Surakarta, masa pemerintahan Pakubuwono II selalu dirundung oleh tekanan dari Belanda dan intrik di kalangan bangsawan Mataram. Ia kembali tertekan dengan meletusnya Perang Suksesi Jawa III yang dipimpin Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa, dua pangeran keraton yang memilih jalan perang karena terbuang akibat ketidakadilan kekuasaan.

Pada 11 Desember 1749, Pakubuwono II menandatangani perjanjian dengan Belanda, dianggap oleh sejarawan sebagai awal dari kehilangan kedaulatan Mataram. Periode hidup yang sulit dan penuh tantangan Pakubuwono II berakhir pada saat itu.

Pakubuwono II, seorang raja yang terhimpit oleh takdir, menanti kedatangan ajal di tengah riuhnya Perang Suksesi Jawa III yang dipimpin saudaranya, Pangeran Mangkubumi. Meskipun belum genap berusia 40 tahun, kondisinya sangat menyedihkan. Sakit parah yang dideritanya semakin meruncing sepanjang bulan-bulan terakhir tahun 1749, disaksikan oleh Gubernur pertama VOC di pesisir timur laut Jawa, Van Hohendorff.

Dalam keadaan sakitnya, Pakubuwono II ditinggalkan oleh para pangeran yang membelot ke barisan pemberontak yang dipimpin oleh saudaranya, Pangeran Mangkubumi. Van Hohendorff, bukan hanya sekadar sahabat dekat Pakubuwono II, bahkan datang khusus dari Semarang ke Surakarta untuk mengawasi suksesi yang tampaknya akan segera terjadi. Dalam pertemuan dengan putra mahkota yang kelak menjadi Pakubuwono III, mereka merundingkan masa depan, dan sang putra mahkota, meski awalnya kurang berminat, setuju untuk menjadi raja dengan mengikat perjanjian kerja dengan kompeni.

Seiring berjalannya waktu dan menjelang ajalnya, Pakubuwono II mengalami krisis kepercayaan diri. Di ranjang kematiannya, dia tidak mempercayai siapa pun di antara elit Jawa kecuali Van Hohendorff, satu-satunya orang yang masih dapat dipercayainya. Depresi menyelimuti raja ini, yang merasa seperti penguasa tanpa mahkota di tengah-tengah pemberontakan.

Dalam sebuah pertemuan penting, Pakubuwono II mengusulkan ide luar biasa: menyerahkan kendali kerajaan kepada Belanda. Pada tanggal 11 Desember 1749, ia menandatangani kontrak dengan dua tujuan utama. Pertama, untuk mempercayakan barang-barang pribadinya kepada Van Hohendorff, sebagai wali, agar bisa diserahkan dengan selamat kepada ahli warisnya dan menjaga anak-anaknya. 

Baca Juga : Alif Ahmad Khasan: Sang Guru Spiritual di Balik Pemberontakan PETA di Blitar

Kedua, kontrak itu menyerahkan seluruh kerajaan tanpa syarat pada Serikat Dagang Hindia Timur Belanda. Kesepakatan ini, meskipun dianggap revolusioner, sebenarnya tidak memiliki dampak nyata selama Perang Suksesi Jawa III. Belanda baru dapat mengamankan kekuasaannya di Jawa pada awal abad ke-19 setelah hampir bangkrut akibat Perang Jawa 1825-1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro.

Setelah wafat, Pakubuwono II dimakamkan di Astana Laweyan, makam keramat keluarga kerajaan Mataram. Di Astana Laweyan ini terdapat makam seorang tokoh suci dan dihormati dalam sejarah Kesultanan Mataram yaitu Ki Ageng Henis, ayah dari Ki Ageng Pamahanan, sang pendiri Desa Mataram. Desa Mataram ini di kemudian hari berkembang menjadi sebuah kerajaan besar yaitu Kesultanan Mataram dengan raja pertamanya Panembahan Senopati.

Pakubuwono II seharusnya dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri. Namun situasi Perang Suksesi  Jawa III dan dikuasainya Yogyakarta oleh pasukan pemberontak Pangeran Mangkubumi akhirnya diputuskan jasad Pakubuwono II dimakamkan di Laweyan.

Setelah berabad-abad setelahnya, muncul beragam versi terkait Makam Pakubuwono II di Laweyan. Cerita lisan menyebutkan, jasad Pakubuwono II tetap berada di tempat tersebut alias tidak dipindahkan. Versi kedua, menyebutkan jasad Pakubuwono II tetap berada di Laweyan namun dipindahkan ke pintu masuk Astana Ki Ageng Henis.

Versi lain menyatakan, setelah Perang Suksesi Jawa  III ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, jasad Pakubuwono II akhirnya dipindahkan dari Laweyan ke Imogiri. Pemindahan makam Pakubuwono II ini didukung dengan catatan historiografi yang ditulis oleh Pangeran Sambernyawa.

Dalam babadnya, Pangeran Sambernyawa menyatakan Meskipun awalnya dimakamkan di Laweyan, tempat peristirahatan terakhirnya akhirnya dipindahkan dan diputuskan di Imogiri. Pemindahan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Sambernyawa, terjadi sebelum tahun AJ 1696, yaitu antara April 1770 hingga April 1771 Masehi. Hal ini menegaskan bahwa pemindahan makam Pakubuwono II dari pemakaman masa perang ke pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri sudah terjadi sejak waktu tersebut, yaitu antara tahun 1770 ke tahun 1771. 

Pada masa pemindahan makam ini, Keraton Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta dipimpin Sultan Hamengkubuwono I. Sedangkan Pangeran Sambernyawa, menjadi Adipati Miji di Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar KGPAA Mangkunegara I.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Perjanjian Giyanti sejarah sunan pakubuwono 2



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni