JATIMTIMES- Pada tanggal 14 Februari 1945, Blitar menjadi saksi dari peristiwa epik dalam sejarah perlawanan Indonesia terhadap penjajahan Jepang. Pemberontakan ini dipimpin oleh Shodancho Supriyadi, seorang pemimpin PETA yang berani.
Peristiwa tanggal 14 Februari ini menandai perlawanan terbesar terhadap kekuasaan penjajah di wilayah tersebut. Meski akhirnya mengalami kegagalan, perlawanan ini meninggalkan jejak yang terus dikenang dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga : Keharmonisan Hingga Gaya Humoris Bupati Malang Sekeluarga Saat Mencoblos pada Pemilu 2024
Perlawanan PETA di Blitar tidak hanya sekadar reaksi spontan, melainkan dipenuhi dengan rasa prihatin yang mendalam terhadap derita rakyat Indonesia akibat kekejaman pendudukan Jepang. Kedatangan Jepang pada awalnya disambut dengan harapan akan kemerdekaan, namun harapan itu pupus oleh perlakuan sewenang-wenang yang menyiksa rakyat pribumi. Romusha, atau kerja paksa, menjadi penderitaan utama yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia demi memenuhi kepentingan Jepang.
Dalam sejarahnya, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, terbentuklah kesatuan militer bernama Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, atau yang lebih dikenal dengan PETA. Proses pembentukan PETA dimulai atas usulan dari R. Gatot Mangkoepradja, yang pada tanggal 8 September 1943, melalui suratnya kepada Gunseikan, meminta izin bagi bangsa Indonesia untuk turut serta membantu Pemerintah Militer Jepang.
Dalam suratnya, Gatot Mangkoepradja menyatakan harapannya agar bangsa Indonesia tidak hanya berada di belakang garis depan, tetapi juga turut serta secara aktif dalam medan perang melawan kekuatan Inggris, Amerika, dan sekutunya. Usulan ini akhirnya disetujui, dan pada tanggal 3 Oktober 1943, dibentuklah Pembela Tanah Air berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Pelatihan bagi anggota PETA dilakukan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Resentai. Dapat dikatakan bahwa minat dan antusiasme penduduk terhadap PETA sangat besar, terutama dari kalangan pemuda yang telah mendapat pendidikan sekolah menengah dan tergabung dalam Seinendan, sebuah barisan pemuda.
Anggota PETA berasal dari berbagai lapisan masyarakat dengan motivasi yang beragam, mulai dari semangat membantu Jepang hingga panggilan jiwa untuk memperjuangkan kemerdekaan. Peran penting juga diberikan kepada golongan agama Islam dalam mengembangkan PETA, yang tercermin dalam lambang atau panji tentara PETA yang menggabungkan matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dengan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
Tentara PETA, yang terutama ditugaskan mengawasi romusha di Pantai Selatan Jawa, menyaksikan secara langsung siksaan yang dialami para pekerja romusha. Mereka dipaksa bekerja tanpa henti dari dini hari hingga sore, tanpa diberi makanan atau upah yang layak. Kondisi ini membuat banyak di antara mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat. Pada akhir tahun 1944, desa-desa sekitar Blitar kehilangan banyak penduduk laki-laki akibat romusha, yang kemudian digantikan oleh romusha perempuan yang juga tidak luput dari penyiksaan.
Tidak hanya itu, tentara PETA juga menyaksikan penderitaan rakyat yang kelaparan akibat eksploitasi Jepang terhadap hasil pertanian. Pada suatu sore setelah latihan militer, mereka mendengar jeritan para petani yang dipaksa menjual padi melebihi jatah yang ditentukan kepada lembaga ekonomi Jepang. Sikap arogan dan sombong para tentara Jepang, serta perlakuan melecehkan terhadap perempuan-perempuan Indonesia, hanya menambah kekejihan yang memicu kemarahan dan akhirnya memicu pemberontakan PETA di Blitar.
Pada tahun 1944 hingga 1945, semangat perlawanan merasuk dalam jiwa para pemuda Indonesia yang tergabung dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar. Mereka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Jepang semakin terpojok dalam Perang Pasifik melawan Sekutu, sehingga kesempatan untuk meraih kemerdekaan Indonesia terasa semakin dekat. Dalam semangat itulah, para prajurit PETA memutuskan untuk menginisiasi gerakan melawan penjajah Jepang dan merebut kemerdekaan yang sudah dianggap sebagai hak bangsa.
Revolution menapaki jalanannya, menjadi pusat dari Pemberontakan PETA di Blitar. Di bawah komando Shodanco Suparjono, seorang pemimpin PETA yang penuh semangat, mereka tidak hanya berperang dengan senjata, tetapi juga dengan lagu-lagu kebangsaan. Indonesia Raya dan Di Timur Matahari terdengar berkumandang di antara barisan prajurit, membakar api semangat untuk meraih kemerdekaan yang selama ini mereka impikan.
Pada hari pemberontakan, Shodanco Partoharjono mengibarkan bendera Merah Putih dengan gagah berani di lapangan besar, melambangkan tekad yang bulat untuk menegakkan kemerdekaan. Tidak hanya itu, tindakan heroik juga terlihat saat seorang Bhudancho PETA merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”, sebuah tindakan simbolis yang memperkuat keyakinan akan kemenangan.
Baca Juga : Nyoblos di TPS 08 Kelurahan Kauman, Wali Kota Blitar Ajak Masyarakat Sukseskan Proses Pemilu
Dalam setiap langkah dan aksi, PETA Blitar menegaskan bahwa perlawanan mereka tidak sekadar untuk melawan penindasan Jepang, tetapi juga untuk merebut hak kemerdekaan yang sudah seharusnya menjadi milik bangsa Indonesia. Semangat dan keberanian mereka menjadi pilar utama dalam menuliskan sejarah perjuangan bangsa, yang pada akhirnya mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaan yang mereka idamkan.
Perjuangan yang menggebu tentara PETA untuk melawan penjajah Jepang telah direncanakan dengan matang sejak bulan September 1944. Namun, momentum yang dianggap paling tepat untuk melancarkan serangan adalah pada tanggal 14 Februari 1945, saat seluruh komandan dan anggota PETA berkumpul di Blitar untuk sebuah pertemuan penting.
Harapan mereka adalah mendapatkan lebih banyak pasukan untuk memperkuat serangan terhadap pasukan Jepang yang merajalela. Namun, upaya heroik mereka dipatahkan oleh kehadiran pasukan militer Jepang yang mampu meredakan pemberontakan dengan cepat. Meskipun terus berjuang, tentara PETA harus menghadapi ketidakadilan jumlah dan kekuatan senjata yang tidak seimbang, dengan Jepang yang dilengkapi tank dan pesawat udara.
Akibatnya, banyak tentara PETA yang terjebak, ditangkap, dan diajukan ke pengadilan militer Jepang. Namun, legenda berbicara tentang Supriyadi, salah satu pemimpin PETA yang berhasil melarikan diri dari penjara Jepang. Namun, nasibnya setelah itu menjadi misteri, dengan keberadaannya yang tak pernah terungkap.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Supriyadi diberi kepercayaan oleh Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidensial pada tanggal 6 Oktober 1945. Namun, harapan untuk melihatnya memenuhi tugasnya terpatahkan saat Supriyadi tidak pernah muncul. Posisinya sebagai menteri kemudian diserahkan kepada Imam Muhammad Suliyoadikusumo pada tanggal 20 Oktober 1945, dengan alasan bahwa Supriyadi diumumkan hilang.
Ketidakhadirannya memunculkan spekulasi dan asumsi tentang nasibnya, tanpa ada kepastian yang jelas mengenai keberadaannya. Masa depan Supriyadi, seorang tokoh yang pernah menjadi pahlawan dalam perjuangan kemerdekaan, menjadi misteri yang terus membayangi.
Meskipun demikian, jasanya bagi Indonesia tidak pernah dilupakan. Pengabdiannya yang luar biasa terhadap negara membuatnya layak diangkat sebagai Pahlawan Nasional, suatu penghormatan yang diberikan melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 063/Tk/Tahun 1975, tanggal 9 Agustus 1975. Walaupun keberadaannya masih menjadi teka-teki, kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia tetap diabadikan sebagai bagian dari sejarah bangsa yang tak terlupakan.