JATIMTIMES- Perjanjian Giyanti menjadi titik balik dalam sejarah perpecahan Kerajaan Mataram Islam, yang menghasilkan warisan penting yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dua entitas yang tetap kokoh hingga hari ini.
Pada masa keemasan Kerajaan Mataram Islam, wilayahnya meliputi sebagian besar Pulau Jawa, dengan pusat pemerintahan awalnya di Kotagede dan terakhir di Kartasura. Namun, kemegahan itu terkoyak oleh konflik internal yang rumit, dipicu oleh campur tangan Belanda yang memainkan permainan politik adu domba.
Baca Juga : Rosan Laporkan Connie Bakrie ke Bareskrim Soal Dugaan Pencemaran Nama Baik
Konflik mencapai puncaknya dengan munculnya dua tokoh utama, yaitu Susuhunan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi, yang sebenarnya adalah saudara. Raden Mas Said, atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, juga ikut memperumit situasi sebagai keponakan mereka yang juga mengklaim haknya atas takhta Mataram.
Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, keduanya merupakan putra dari Amangkurat IV (1719-1726), raja kedelapan Kesultanan Mataram di Kartasura. Di sisi lain, Raden Mas Said, juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, adalah cucu dari Amangkurat IV, sehingga ia adalah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Raden Mas Said menuntut haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannya, Pakubuwana II. Alasannya adalah bahwa ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara, adalah putra sulung dari Amangkurat IV. Dengan demikian, menurut garis keturunan, Arya Mangkunegara seharusnya menjadi raja Mataram untuk melanjutkan tahta Amangkurat IV.
Namun, Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC, sehingga ia diasingkan ke Sri Lanka hingga meninggal dunia. VOC kemudian menaikkan Pangeran Prabusuyasa, putra Amangkurat IV lainnya, sebagai penguasa Mataram yang baru dengan gelar Pakubuwana II.
Ketika Pakubuwana II memimpin Mataram Islam, ia memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745. Keputusan ini diambil setelah Keraton Kartasura rusak akibat pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin oleh Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742.
Peristiwa tersebut semakin memperkuat tekad Raden Mas Said untuk merebut tahta dari pamannya, Pakubuwana II. Dalam upaya ini, ia bersekutu dengan Pangeran Mangkubumi, dengan bantuan dari VOC, yang memiliki tujuan yang sama untuk merebut kekuasaan dari Pakubuwana II.
Kedua tokoh, Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, bersatu dalam usaha mereka untuk merebut takhta Mataram dari Pakubuwana II. Dukungan dari VOC, yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat pengaruh mereka di Jawa, semakin menambah kompleksitas konflik politik di dalam kerajaan Mataram.
Dengan demikian, konflik dalam kerajaan Mataram semakin memanas dengan adanya tuntutan garis keturunan yang berseberangan dan campur tangan VOC. Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi, dan Pakubuwana II yang berkoalisi dengan VOC saling berhadapan dalam pertarungan politik yang rumit, yang pada akhirnya memuncak pada perjanjian yang mengubah garis politik di Jawa, yaitu Perjanjian Giyanti.
Pada 20 Desember 1749, setelah wafatnya Pakubuwana II, terjadi kekosongan pemerintahan yang dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai raja baru Mataram Islam. Namun, VOC tidak mengakui klaimnya karena sebelum kematiannya, Pakubuwana II telah memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC. Situasi semakin memanas ketika VOC mengangkat Raden Mas Soerjadi, putra Pakubuwana II, menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III.
Di Yogyakarta, pada akhir tahun 1749, Mangkubumi mengambil langkah besar dengan mendeklarasikan dirinya sebagai raja baru Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana III. Keputusan ini datang setelah laporan mata-mata yang menyatakan bahwa Pakubuwana II di Surakarta sedang sakit keras. Awalnya, Mangkubumi enggan untuk mengambil alih tahta jika Pakubuwana II masih hidup, namun tekanan dari ibunya, Sambernyawa, dan para pemimpin pemberontak lainnya membuatnya akhirnya luluh.
Sebagai Pakubuwana III, Mangkubumi memperoleh dukungan dari para pemimpin pusat-pusat keagamaan di Mataram. Pemimpin agama dari Kajoran, Tembayat, Kembangarum, dan Wedi datang ke Yogyakarta untuk memberikan doa dan dukungan kepada Mangkubumi. Dilangsungkannya selamatan juga sebagai upaya untuk memohon keselamatan bagi Mangkubumi sebagai raja baru dengan gelar Pakubuwana III.
Sementara itu, Mangkubumi juga mengangkat keponakannya, Pangeran Sambernyawa, sebagai senopati dan patihnya. Mangkubumi juga melakukan pengangkatan sejumlah pejabat kerajaan, di antaranya adalah pemberian gelar Kiai Ngabdullah kepada penghulu kerajaan, serta pemberian gelar untuk pejabat baru di bidang hukum.
Hanya tiga hari setelah peristiwa ini, Pakubuwana II dilaporkan meninggal dunia. Di Surakarta, jumenengan pun digelar untuk menobatkan putra mahkota, Raden Mas Suryadi, sebagai Pakubuwana III. Hal ini menghasilkan situasi di mana Mataram memiliki dua raja dengan gelar yang sama sejak tahun 1749, yang menandai pembagian yang tidak resmi dari Kerajaan Mataram Islam.
Yang mengejutkan, laporan Belanda menunjukkan bahwa lebih banyak pembesar yang hadir dalam jumenengan Mangkubumi sebagai Pakubuwana III di Yogyakarta dibandingkan dengan jumenengan Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwana III di Surakarta. Penobatan Raden Mas Suryadi pada 15 Desember 1749, menandai awal dari kepemimpinannya yang panjang di Surakarta hingga tahun 1788.
Baca Juga : Jelang Tahapan Puncak Pemilu, PDI Perjuangan Jatim Ingatkan Warga Datang ke TPS
Perang terus berlanjut setelah Mangkubumi mendeklarasikan dirinya sebagai Pakubuwana III. Menurut laporan Babad Giyanti, pada 27 Oktober 1751, terjadi pertempuran yang tidak seimbang di bawah guyuran hujan badai. Dalam pertempuran ini, pasukan VOC di bawah komando Letnan Foster hampir kehabisan pasukan. Pasukan VOC terdiri dari 20 pasukan Eropa dan 50 pasukan pribumi, yang mayoritas terdiri dari orang Bugis dan Bali. Dalam pertempuran ini, Foster dan hampir seluruh pasukannya tewas, hanya tiga orang yang berhasil selamat.
Untuk menanggulangi serangan demi serangan dari raja pemberontak ini, VOC menyusun strategi adu domba terhadap kedua tokoh tersebut. Mereka mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang dituduh bisa mengkhianatinya.
Politik adu domba yang dilancarkan VOC berhasil membuahkan hasil. Pada tahun 1752, terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, yang kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan janji untuk memberikannya setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dikuasai oleh Pakubuwana III.
Dengan adanya tawaran ini, Pangeran Mangkubumi tertarik untuk berunding dengan VOC. Namun, kesepakatan ini tidak tercapai tanpa pertumpahan darah dan pertempuran yang sengit antara pihak-pihak yang terlibat. Konflik internal di dalam Mataram semakin memperumit situasi, dengan setiap pihak berusaha memperjuangkan kepentingan dan ambisi politiknya sendiri.
Demikianlah, dengan adanya siasat adu domba VOC, terbentuklah ketegangan dan perselisihan di antara tokoh-tokoh utama dalam perebutan kekuasaan di Mataram. Strategi politik yang rumit ini akhirnya menjadi pemicu terjadinya Perjanjian Giyanti, yang mengubah peta politik di Jawa dan menandai berakhirnya era Kerajaan Mataram.
Pada tanggal 22-23 September 1754, VOC mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, penentuan gelar yang akan digunakan, serta kerja sama antara VOC dengan kedua kesultanan tersebut. Perundingan ini berlangsung intensif, di mana kedua pihak berusaha mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Setelah berbagai diskusi dan negosiasi, akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani. Perjanjian ini memiliki konsekuensi besar dalam sejarah Jawa karena membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Dalam Perjanjian Giyanti, disepakati bahwa Pangeran Mangkubumi akan mendapatkan setengah wilayah Mataram Islam. Hal ini membawa konsekuensi berdirinya kerajaan baru yang diberi nama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi kemudian secara resmi mendeklarasikan diri sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, secara de facto dan de jure, riwayat Kerajaan Mataram Islam berakhir. Peristiwa ini tidak hanya mengubah peta politik di Jawa, tetapi juga menandai akhir dari dominasi Mataram sebagai pusat kekuasaan tunggal di Pulau Jawa.