JATIMTIMES - Setelah sempat berjalan alot, negosiasi upah petugas sortir dan pelipat surat suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Kabupaten Malang akhirnya menemui kata sepakat. Sayangnya, tuntutan aksi massa yang sempat menggelar demonstrasi tidak dikabulkan.
Pasalnya, koordinator petugas sortir dan pelipat surat suara tetap kekeh untuk memberikan upah per kotak. Bukan perlembar sebagaimana pernyataan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Malang.
Baca Juga : Millenial Surabaya Tertarik Program Satu Keluarga Satu Sarjana dari Ganjar dan Mahfud
Koordinator Petugas Sortir dan Pelipat Surat Suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 Kabupaten Malang Supriadi, membantah adanya pemotongan upah. Sebaliknya, upah yang diberikan oleh pihak koordinator pemenang tender telah sesuai dengan anggaran yang tersedia.
"Sebenernya tidak ada pemotongan. Saya jelaskan sejelas-jelas mungkin biar tidak ada yang salah paham," ungkap Supriadi.
Dalam penjelasannya, Supriadi menyebut anggaran yang turun dari KPU Kabupaten Malang bukan serta merta untuk upah petugas sortir dan pelipat surat suara. Sebaliknya, biaya operasional juga masuk tanggungan dari pemenang tender.
"Memang kita selaku pihak ketiga, tender itu biasanya terkait operasional dan sebagainya memang jadi satu. Jadi harga itu tidak langsung difokuskan ke (upah) pelipatan suara," terangnya.
Beberapa kebutuhan operasional tersebut, dijabarkan Supriadi, meliputi keamanan hingga konsumsi. "Ada untuk persiapan tenda, tenaga kerja, keamanan, terus konsumsi dan sebagainya, memang jadi satu," bebernya.
Atas pertimbangan itulah, Supriadi mengaku keberatan jika anggaran yang diturunkan oleh KPU Kabupaten Malang semuanya digelontorkan untuk upah. "Makanya kalau kita dituntut sesuai dengan harga yang diturunkan oleh KPU, terus terang saja pemenang tender itu agak keberatan, karena ada operasional yang itu dibebankan sama pemenang tender," tuturnya.
Sebagaimana diberitakan, dalam pernyataannya saat ditemui belum lama ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Malang Marhaendra Pramudya Mahardika menyebut, upah bagi petugas sortir dan pelipat surat suara dihitung perlembar. Rinciannya, satu lembar surat suara dianggarkan berkisar antara Rp 200 hingga Rp 300 rupiah.
Perbedaan pemberian honorarium tersebut sesuai dengan tingkat kerumitan dan ukuran surat suara yang di sortir dan di lipat. Namun, koordinator petugas sortir dan pelipat surat suara justru memberikan upah per kotak. Di mana, satu kotak berisi antara 500 hingga 2.000 surat suara.
Baca Juga : Millenial Surabaya Tertarik Program Satu Keluarga Satu Sarjana dari Ganjar dan Mahfud
Kebijakan tersebut lantas menuai polemik. Puncaknya, pada Sabtu (20/1/2024) sekitar 900 petugas sortir dan pelipat surat suara menggelar aksi demonstrasi di kediaman koordinator yang beralamat di Desa Jatirejoyoso, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang.
Meski negosiasi kedua belah pihak sempat berjalan alot, petugas sortir dan pelipat surat suara akhirnya dengan berat hati bersedia untuk diberi upah per kotak, bukan perlembar. Sementara itu, hingga Minggu (21/1/2024) dikabarkan proses pencarian upah masih terus berlangsung.
"Pekerja itu dari awal kita sudah perjanjian, itu per dus-nya itu Rp 90 ribu untuk DPR RI, Provinsi, dan DPRD Kabupaten Malang, mulai dapil 1 sampai 7. Adapun untuk presiden (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) itu Rp 130 ribu. Selanjutnya DPD Rp 70 ribu," tukasnya.
Sebagai perbandingan, merujuk pada pernyataan Komisioner KPU Kabupaten Malang Marhaendra Pramudya Mahardika, upah bagi petugas pelipat surat suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PPWP) sekitar Rp 200 perlembar. Sementara itu, satu kotak dus berisi 2.000 surat suara.
Artinya, upah per kotak bagi petugas sortir dan pelipat surat suara adalah Rp 400 ribu. Nominal tersebut berbanding jauh dengan yang diterima oleh petugas sortir dan pelipat surat suara berdasarkan hasil kesepakatan. Yakni hanya Rp 130 ribu atau selisih Rp 270 ribu dari pernyataan besaran upah yang disampaikan Komisioner KPU Kabupaten Malang sebelumnya.