JATIMTIMES - Indonesia, dengan sejarah yang panjang, menghidupkan setiap sudutnya dengan kisah menarik. Di sini, setiap tempat tak hanya memiliki namanya sendiri, tetapi juga cerita yang melingkupinya.
Surabaya, salah satu kota di Indonesia, memiliki jejak sejarah yang hidup di Stasiun Gubeng, sebuah tempat yang tak hanya terkenal sebagai pusat transportasi, tetapi juga menyimpan cerita-cerita menarik yang kini dihadirkan dalam nuansa baru dalam audio drama "Surat Kabar Asing & Gubeng Transport" di platform siniar Tinggal Nama yang bisa diakses melalui dik.si/TNGubeng.
Baca Juga : Antisipasi Kemacetan Libur Nataru, Kamera Pantau Bakal Disebar di 30 Titik
Stasiun Surabaya Gubeng (SGU) atau yang sering dikenal sebagai Stasiun Gubeng, adalah jantungnya perkeretaapian di kota ini. Berlokasi di Pacar Keling, Tambaksari, Surabaya, stasiun ini menjadi bagian dari Kereta Api Indonesia Daerah Operasi VIII Surabaya dan KAI Commuter.
Menjadi salah satu dari empat stasiun besar di Kota Surabaya, SGU menjadi titik awal perjalanan bagi banyak penumpang, menghubungkan berbagai destinasi penting di Pulau Jawa. Dengan posisinya yang strategis, stasiun ini menjadi pusat bagi perjalanan kereta api menuju arah selatan, tengah, dan timur Pulau Jawa, menggantikan peran Stasiun Surabaya Kota (kecuali KA Sri Tanjung). Stasiun Surabaya Pasarturi juga turut berperan dalam penghubungan lintas utara Pulau Jawa serta destinasi lokal dan komuter di Jawa Timur bagian utara.
Sebagai penghubung utama jalur kereta api di wilayah Gerbangkertosusila, SGU melayani berbagai jalur lintas antarkota yang menghubungkan Surabaya dengan Surakarta, Yogyakarta, Bandung di lintas selatan Jawa, Surabaya dengan Purwokerto, Jakarta di lintas tengah Jawa, dan menyambungkan jalur timur Pulau Jawa menuju Malang, Jember, dan Banyuwangi.
Tidak hanya melayani kereta api antarkota, stasiun ini juga menjadi jalur bagi kereta api aglomerasi, kereta api lokal, serta komuter yang mengarah ke berbagai tujuan di Jawa Timur bagian selatan. Namun, beberapa kereta api antarkota juga melanjutkan perjalanan mereka ke destinasi lain di Jawa Timur di luar Surabaya.
Sejak diresmikan pada 16 Mei 1878 sebagai bagian dari proyek pembangunan jalur kereta api Surabaya–Pasuruan oleh Staatsspoorwegen, Stasiun Surabaya Gubeng telah mengalami berbagai transformasi. Awalnya menggunakan sistem persinyalan mekanik, stasiun ini kemudian beralih ke sistem persinyalan elektrik pada dasawarsa 1970–1980-an. Pada 7 Juni 1996, stasiun ini mengalami perubahan besar dengan pembangunan bangunan baru yang lebih modern dan luas di sisi timur rel kereta api, menghabiskan biaya sekitar Rp1,5 miliar.
Bangunan lama stasiun juga telah mengalami beberapa kali renovasi, termasuk renovasi kanopi peron pada tahun 1905 dan lobi bangunan utama pada tahun 1928. Gaya arsitektur khas Stasiun Gubeng adalah gaya Chalet dari Staatsspoorwegen, dengan tembok tinggi dan atap yang dihiasi ornamen sulur-suluran dari besi tempa, serta jendela besar dengan jalusi besi. Bangunan lama stasiun ini diangkat sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Stasiun Gubeng bukan hanya menjadi pusat transportasi yang sibuk. Di masa lalu, stasiun ini juga menjadi tempat bekerja bagi presiden pertama Indonesia, Soekarno, saat beliau masih menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Menggunakan gelar Raden Soekarno, B.K.L., der Eerste Klasse Categorie, Soekarno bekerja sebagai juru tulis di bagian administrasi stasiun dengan gaji Rp165 per bulan, sebagian besar diberikan kepada keluarga Cokroaminoto. Markas Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang dipersenjatai juga berada di sekitar stasiun ini pada masa perang kemerdekaan, dipimpin oleh Moh. Ali dengan kekuatan sekitar 30 orang yang dipersenjatai dengan mitralyur.
Awalnya, Stasiun Surabaya Gubeng memiliki banyak jalur kereta api. Namun, sejak bangunan stasiun yang baru tersebut diresmikan, jumlah jalurnya berkurang menjadi enam. Adanya jalur ganda arah hilir (selatan) dan arah hulu (utara), serta jalur tunggal dari dan ke Sidotopo. Selain itu, terdapat jalur yang bercabang menuju Balai Yasa (BY) Surabaya Gubeng di sebelah utara jalur 6.
Baca Juga : Dua Pelaku Curas Jalanan Tulungagung yang Meresahkan Ditangkap Polisi, Akui Beraksi di Beberapa TKP
Stasiun ini memiliki dua bangunan dengan fungsi berbeda: bangunan lama bergaya Chalet digunakan untuk layanan kereta api lokal dan komuter, sementara bangunan baru yang bergaya modern di sisi timur stasiun diperuntukkan khusus bagi layanan kereta api antarkota serta aglomerasi. Sistem informasi yang canggih pun telah diterapkan di stasiun ini, mulai dari papan penunjuk arah, penunjuk arah jalur, hingga layar monitor informasi keberangkatan dan kedatangan kereta api secara real-time yang mirip dengan layanan di bandara. Bahkan, desain papan penunjuk arah jalur telah disesuaikan dengan standar ISO 7001:2007 untuk angkutan Natal dan Tahun Baru 2021.
Stasiun Surabaya Gubeng terus berinovasi. Pada September 2022, PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah melakukan uji coba sistem pengenalan wajah pada proses keberangkatan kereta api antarkota di Stasiun Bandung, dan sejak 10 Juli 2023, sistem serupa telah diterapkan di Stasiun Surabaya Gubeng bersama tujuh stasiun KA utama Pulau Jawa lainnya.
Selain itu, stasiun ini juga memiliki melodi penyambutan kereta api berirama keroncong berjudul "Soerabaja" yang dinyanyikan oleh Sundari Soekotjo, sebuah lagu yang kini menjadi bel penyambutan di seluruh stasiun terminus kereta api antarkota di Kota Surabaya.
Dengan sejarahnya yang kaya dan terus berkembang, Stasiun Surabaya Gubeng tak hanya menjadi pusat transportasi yang vital tetapi juga saksi bisu dari perjalanan panjang dan cerita yang memikat di Indonesia, menampilkan keunikan dalam setiap detilnya yang tak terlupakan.