JATIMTIMES -Jawa Timur, salah satu provinsi di Indonesia, dikenal tak hanya karena keindahan alamnya yang memesona, tetapi juga karena kekayaan warisan sejarah dan budaya yang memikat.
Di antara beragam situs bersejarah yang tersebar di Jawa Timur, terdapat sebuah petilasan yang menjadi saksi bisu dari masa lalu yang penuh misteri, yaitu Petilasan Raja Jayabaya di Kediri.
Baca Juga : Wilayah Jatim Ini Berpotensi Alami Hujan Lebat hingga 10 Desember
Dalam reruntuhan dan rerongga sejarah Jawa Timur, terdapat cerita-cerita yang terpatri dalam tiap batu dan reruntuhan. Namun, di tengah gemerlap perkotaan Kediri, Desa Menang menjadi rumah bagi petilasan yang menjadi saksi bisu peradaban masa lalu. Petilasan ini, yang dikenal sebagai tempat moksa atau pamoksaan Sri Aji Jayabaya, menawarkan warisan sejarah yang kaya akan spiritualitas, ramalan, dan kebijaksanaan masa lalu.
Sri Aji Jayabaya, yang memerintah pada abad ke-12, bukan hanya seorang raja yang menguasai Kerajaan Kediri pada masa keemasannya, tetapi juga seorang peramal yang ramalannya tertulis dalam bentuk kakawin Jawa, Kitab Musarar. Cerita tentang Jayabaya dan ramalannya yang mendalam telah melegenda hingga saat ini. Ramalannya yang dianggap memiliki ketepatan dan relevansi yang kuat membuatnya dijuluki sebagai Nostradamus versi Jawa.
Petilasan ini bukan hanya sekadar situs bersejarah. Ia adalah suatu kompleks yang memiliki makna spiritual yang dalam bagi masyarakat Jawa Timur dan peziarah dari berbagai penjuru. Terletak sekitar delapan kilometer di utara pusat Kota Kediri, petilasan ini menjadi daya tarik bagi ribuan peziarah setiap tahunnya, tidak hanya dari Jawa Timur tetapi juga dari luar provinsi hingga kota-kota besar seperti Jakarta.
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa, yang dikenal juga sebagai Prabu Sri Aji Jayabaya, adalah sosok yang tak terlupakan dalam sejarah Kerajaan Panjalu atau Kediri. Menurut perkiraan sejarah, Prabu Jayabaya memerintah sekitar tahun 1135-1157.
Ia adalah putra dari Raden Panji dari Kerajaan Jenggala dan Putri Sekartaji dari Daha. Masa pemerintahannya diwarnai oleh kegemilangan Kerajaan Kediri dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Saat itu, karya-karya besar seperti Mahabarata dan Ramayana diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Namun, kepopuleran Jayabaya lebih terkenal sebagai seorang peramal. Ramalannya tertulis dalam kakawin atau tembang Jawa. Di antaranya, ada 21 pupuh berirama Asmaradana, 29 pupuh berirama Sinom, dan 8 pupuh berirama Dhandanggulo, yang dikenal sebagai Kitab Musarar.
Prabu Jayabaya dikabarkan turun tahta dalam usia senja. Tempat moksa atau pergi ke alam lainnya konon terjadi di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Lokasi tersebut kini dianggap sebagai petilasan dan menjadi tempat ziarah yang dihormati oleh penduduk setempat dan peziarah dari berbagai penjuru.
Bukan hanya warga sekitar Kediri, tetapi ziarah juga dilakukan oleh orang-orang dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Situbondo, Pasuruan, dan daerah lainnya. Motivasi mereka bervariasi, mulai dari mencari keberuntungan dalam pendidikan, kesuksesan di dunia kerja, hingga berbagai harapan lainnya.
Ritual-ritual khusus dilakukan oleh peziarah yang datang, mulai dari tirta kamandanu hingga berdoa di lokasi pamoksaan. Ada yang datang untuk melanjutkan rangkaian ritual dari sendang Tirta Kamandanu dan berdoa di pamoksaan.
Tidak semua pengunjung yang melakukan ziarah mengikuti ritual yang lazim dilakukan. Beberapa datang semata-mata untuk memahami lokasi petilasan moksa Sang Prabu Jayabaya, menikmati area tersebut dengan berfoto, atau bahkan sekadar mandi di sendang.
Loka Moksa di kompleks petilasan ini adalah bagian suci yang dihormati para peziarah sebagai tempat di mana sang raja diyakini moksa atau melepaskan diri dari siklus kelahiran dan kematian. Sendang Tirta Kamandanu, yang menjadi bagian dari kompleks petilasan, dipercaya sebagai tempat mandi raja sebelum pemoksaan, menjadikannya situs yang disucikan dan keramat bagi masyarakat setempat.
Tradisi lisan yang berkembang di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah budaya Jawa. Dalam mimpi seorang tokoh spiritualis bernama Warsodikromo pada 1860, gundukan tanah yang kini menjadi petilasan Sri Aji Jayabaya diwujudkan. Penduduk setempat melakukan pencarian yang dipimpin oleh seorang ahli metafisik hingga petilasan tersebut berhasil ditemukan.
Pada tahun 1975, keluarga besar Hondodento berhasil memugar petilasan ini, termasuk Loka Muksa, Loka Busana, serta Loka Makuta. Upaya pemugaran ini menjadi bukti kepedulian terhadap warisan sejarah dan budaya yang ada di Jawa Timur. Di setiap perayaan 1 Sura atau Muharam, ribuan masyarakat dari berbagai daerah berkumpul untuk meminta berkah dari petilasan ini.
Petilasan Raja Jayabaya di Kediri tidak hanya mengajak pada perenungan dan kebijaksanaan, tetapi juga mengajak pada penghargaan terhadap sejarah dan warisan leluhur. Sebuah warisan yang memiliki nilai spiritual dan kearifan lokal yang tak ternilai harganya, menjadikannya sebagai situs yang harus dijaga dan dipelihara demi masa depan yang lebih baik bagi Jawa Timur.
Baca Juga : Mayat Bayi Laki-Laki Ditemukan di Bendungan Sengguruh
Ramalan Jayabaya: Legenda, Sejarah, dan Pesan Bagi Masa Depan Nusantara
Prabu Jayabaya, Raja Panjalu pada abad ke-12, menjadi sosok yang memegang peran sentral dalam sejarah Kerajaan Panjalu, kini dikenal sebagai Kota Kediri. Sejumlah peninggalan sejarahnya, mulai dari Prasasti Hantang, Prasasti Talan, hingga Kakawin Bharatayuddha, menjadi saksi bisu kejayaannya. Dalam setiap sisa sejarah itu, semboyan "Panjalu Jayati" atau Kadiri Menang terpatri kuat, mencatat keberhasilannya mengalahkan Janggala dan menyatukan kembali wilayah tersebut dengan Kadiri.
Dalam Prasasti Hantang yang terbit pada tahun 1135, Jayabaya dikenang sebagai raja yang berhasil menundukkan Janggala. Pada masa itu, kemenangannya diabadikan sebagai simbol kemenangan Pandawa atas Kurawa, yang tertuang dalam Kakawin Bharatayuddha yang dibuat pada tahun 1157 oleh empu Sedah dan empu Panuluh.
Prasasti Talan, yang diterbitkan tahun 1136, menunjukkan penghargaan Jayabaya terhadap desa Talan karena melestarikan lontar ripta dari wangsa Isyana, leluhur wangsa Airlangga. Hal ini menegaskan klaim Jayabaya bahwa Raja Airlangga adalah nenek moyangnya.
Namun, nasib turun tahta Jayabaya tetap menjadi misteri. Tertanggal 23 September 1159, Prasasti Padlegan II mencatat Sri Sarweswara sebagai raja penggantinya, merampas kekuasaan dari Jayabaya seperti yang tercatat dalam Prasasti Jaring.
Nama besar Jayabaya terus dikenang dalam kesusastraan Jawa, menjadi tokoh yang diperbincangkan dalam naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan bahwa Jayabaya adalah titisan Wisnu, dengan negaranya bernama Widarba dan ibu kotanya di Mamenang. Ayahnya adalah Gendrayana, keturunan Pandawa.
Ramalan Jayabaya yang menggambarkan masa depan Nusantara menjadi sorotan. Dalam ramalan itu, disebutkan adanya masa penuh bencana dan kesewenang-wenangan sebelum datangnya zaman baru yang gemilang. Banyak elemen ramalannya yang diyakini terhubung dengan peristiwa zaman modern, seperti datangnya bangsa berkulit pucat dan kuning dari utara, mobil, pesawat terbang, hingga peristiwa bencana alam dan perubahan iklim.
Kisah Jayabaya dan ramalannya terus mengundang perdebatan. Banyak teori mengenai naskah Ramalan Jayabaya, termasuk dugaan bahwa Ranggawarsita, seorang pujangga besar dari Surakarta, adalah penulisnya. Ramalan ini mengejutkan dengan banyak ramalannya yang terhubung dengan kondisi zaman modern, mencakup fenomena global seperti pemanasan global, bencana alam, dan perubahan peradaban.
Namun, di balik sorotan tentang ramalan ini, pesan utama Jayabaya terletak pada kebangkitan peradaban. Ia memberikan harapan akan zaman keemasan Nusantara setelah masa sulit, di mana kesadaran dan perjuangan akan membawa perubahan positif. Ramalan itu seperti sebuah peringatan agar manusia tidak lupa, bahwa dalam keadaan tergelap sekalipun, ada harapan untuk bangkit.
Dalam kesusastraan dan sejarah, Jayabhaya tetap menjadi figur yang mencerminkan kearifan masa lalu. Pesan dan ramalannya menjadi titik fokus, menuntun kita untuk terus memperhatikan kondisi masa depan Nusantara.