JATIMTIMES- Kota Kediri punya sebuah destinasi spiritual yang menyimpan kisah legenda yang memukau, yakni Sendang Tirto Kamandanu. Destinasi spiritual tersembunyi ini tak hanya menawarkan kedamaian tetapi juga keindahan alam yang memikat. Lokasinya terletak di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sendang Tirto Kamandanu, sebelumnya dikenal sebagai Sendang Buntung, memiliki sejarah yang kaya dan transformatif. Perjalanan sejarahnya mengalami perubahan menjadi 'kolosonyo', yang bermakna penyakit pergi.
Baca Juga : Rayakan Natal dan Tahun Baru Bareng Shanaya Resort Malang
Namun, kini diurus oleh Yayasan Hondodeto dan diberi nama Sendang Tirto Kamandanu. Dalam bahasa Jawa, 'sendang' berarti kolam alami, sementara 'Tirto Kamandanu' mengandung makna sumber kehidupan.
Tempat ini menjadi bagian dari Patirtan (mata air yang dianggap suci) yang memiliki keterkaitan erat dengan masa pemerintahan Sri Aji Joyoboyo, Raja Kediri abad ke-12.
Sendang Tirto Kamandanu lebih dari sekadar destinasi wisata. Destinasi ini mengundang para pengunjung untuk menelusuri jejak legenda yang bersemayam di setiap sudutnya.
Sri Aji Joyoboyo dikisahkan sering menggunakan tempat ini sebagai tempat bermain putra-putri raja. Termasuk kisah menjalani ritual penting sebelum peperangan, memberikan nilai sejarah yang mendalam pada tempat ini.
Namun, daya tarik Sendang Tirto Kamandanu tak hanya terletak pada cerita dan legenda yang menarik. Destinasi ini menawarkan pengalaman yang mendalam bagi pencari kedamaian dan spiritualitas.
Di tengah kolam, air yang mengalir dengan jernih dan segar menjadi daya tarik utama. Suasana sejuk dipadu dengan kehadiran pepohonan rindang di sekitar kolam menambah pesona alami tempat ini.
Para peziarah dan pengunjung yang datang ke Sendang Tirto Kamandanu tidak hanya datang untuk sekadar menikmati keindahan alamnya. Namun juga untuk merasakan pengalaman spiritual yang mendalam.
Tempat ini menjadi tempat untuk meditasi, merenung, atau sekadar mencari kedamaian di tengah kehidupan yang penuh tekanan. Ritual mandi suci dan doa di sekitar kolam menjadi pengalaman yang mengubah bagi banyak orang yang mengunjunginya.
Selain keunikan spiritualnya, Sendang Tirto Kamandanu juga menjadi tuan rumah bagi acara tahunan yang sangat istimewa, yakni Ritual 1 Suro.
Setiap tanggal 1 pada bulan Muharam atau tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, Yayasan Hondodeto bersama pemerintah Kabupaten Kediri menggelar upacara adat yang khusus. Acara ini bertujuan untuk menghormati Sri Aji Joyoboyo serta menjadi bagian integral dari agenda wisata budaya yang rutin diadakan setiap tahun.
Ritual ini dimulai dengan doa bersama yang digelar di Desa Menang, dilanjutkan dengan prosesi kirab atau iring-iringan menuju petilasan yang diyakini sebagai tempat mokhsanya Sri Aji Joyoboyo.
Prosesi ini melibatkan penggunaan busana adat Jawa oleh sesepuh, pembawa payung pusaka, pembawa bunga, dan penduduk setempat. Berbagai prosesi ritual dilakukan di petilasan, termasuk prosesi tabur bunga dan prosesi utama penyemayaman pusaka Sri Aji Joyoboyo.
Semua rangkaian ritual diakhiri di Sendang Tirto Kamandanu, yang dipercayai masyarakat dapat membersihkan dari pengaruh negatif dan membawa keberuntungan.
Fasilitas yang disediakan di Sendang Tirto Kamandanu turut menunjang kenyamanan para pengunjung. Terdapat warung makan dan toko suvenir yang menjual beragam oleh-oleh khas Kediri. Area parkir yang luas serta toilet yang bersih dan terawat membuat kunjungan semakin menyenangkan.
Baca Juga : Heboh Wanita Israel Berterima Kasih ke Hamas, Pengamat Amerika: Mata Tak Bisa Bohong
Sebagai sebuah destinasi yang tak hanya memikat dari sisi keindahan alamnya, tetapi juga dari nilai-nilai spiritual dan sejarahnya, pesan terpenting bagi para pengunjung adalah untuk selalu mematuhi peraturan dan menghormati nilai-nilai yang terkandung di Sendang Tirto Kamandanu. Tempat ini menjadi sebuah perpaduan antara pesona alam dan spiritualitas yang tidak dapat diabaikan bagi mereka yang ingin merasakan kedamaian yang sejati.
Ramalan Jayabaya: Legenda, Sejarah, dan Pesan Bagi Masa Depan Nusantara
Prabu Jayabaya, Raja Panjalu pada abad ke-12, menjadi sosok yang memegang peran sentral dalam sejarah Kerajaan Panjalu, kini dikenal sebagai Kota Kediri. Sejumlah peninggalan sejarahnya, mulai dari Prasasti Hantang, Prasasti Talan, hingga Kakawin Bharatayuddha, menjadi saksi bisu kejayaannya. Dalam setiap sisa sejarah itu, semboyan "Panjalu Jayati" atau Kadiri Menang terpatri kuat, mencatat keberhasilannya mengalahkan Janggala dan menyatukan kembali wilayah tersebut dengan Kadiri.
Dalam Prasasti Hantang yang terbit pada tahun 1135, Jayabaya dikenang sebagai raja yang berhasil menundukkan Janggala. Pada masa itu, kemenangannya diabadikan sebagai simbol kemenangan Pandawa atas Kurawa, yang tertuang dalam Kakawin Bharatayuddha yang dibuat pada tahun 1157 oleh empu Sedah dan empu Panuluh.
Prasasti Talan, yang diterbitkan tahun 1136, menunjukkan penghargaan Jayabaya terhadap desa Talan karena melestarikan lontar ripta dari wangsa Isyana, leluhur wangsa Airlangga. Hal ini menegaskan klaim Jayabaya bahwa Raja Airlangga adalah nenek moyangnya.
Namun, nasib turun tahta Jayabaya tetap menjadi misteri. Tertanggal 23 September 1159, Prasasti Padlegan II mencatat Sri Sarweswara sebagai raja penggantinya, merampas kekuasaan dari Jayabaya seperti yang tercatat dalam Prasasti Jaring.
Nama besar Jayabaya terus dikenang dalam kesusastraan Jawa, menjadi tokoh yang diperbincangkan dalam naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan bahwa Jayabaya adalah titisan Wisnu, dengan negaranya bernama Widarba dan ibu kotanya di Mamenang. Ayahnya adalah Gendrayana, keturunan Pandawa.
Ramalan Jayabaya yang menggambarkan masa depan Nusantara menjadi sorotan. Dalam ramalan itu, disebutkan adanya masa penuh bencana dan kesewenang-wenangan sebelum datangnya zaman baru yang gemilang. Banyak elemen ramalannya yang diyakini terhubung dengan peristiwa zaman modern, seperti datangnya bangsa berkulit pucat dan kuning dari utara, mobil, pesawat terbang, hingga peristiwa bencana alam dan perubahan iklim.
Kisah Jayabaya dan ramalannya terus mengundang perdebatan. Banyak teori mengenai naskah Ramalan Jayabaya, termasuk dugaan bahwa Ranggawarsita, seorang pujangga besar dari Surakarta, adalah penulisnya. Ramalan ini mengejutkan dengan banyak ramalannya yang terhubung dengan kondisi zaman modern, mencakup fenomena global seperti pemanasan global, bencana alam, dan perubahan peradaban.
Namun, di balik sorotan tentang ramalan ini, pesan utama Jayabaya terletak pada kebangkitan peradaban. Ia memberikan harapan akan zaman keemasan Nusantara setelah masa sulit, di mana kesadaran dan perjuangan akan membawa perubahan positif. Ramalan itu seperti sebuah peringatan agar manusia tidak lupa, bahwa dalam keadaan tergelap sekalipun, ada harapan untuk bangkit.
Dalam kesusastraan dan sejarah, Jayabhaya tetap menjadi figur yang mencerminkan kearifan masa lalu. Pesan dan ramalannya menjadi titik fokus, menuntun kita untuk terus memperhatikan kondisi masa depan Nusantara.