JATIMTIMES- Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur, terkenal dengan salah satu seni pertunjukan yang sangat khas, yaitu tarian reog. Namun, di setiap pertunjukan reog Ponorogo, seorang tokoh yang menjadi ikon muncul di antara para penari dan penonton yakni Warok.
Warok, atau sering disebut sebagai warokan, adalah karakter yang sering kali kita lihat dalam pertunjukan reog.
Baca Juga : Unik, Pasutri Pimpin Kirab Tumpeng Maulid 2 Desa di Jember
Warok memiliki penampilan yang sangat mencolok. Mereka sering mengenakan pakaian serba hitam, dengan baju potong gulon, celana panjang hitam yang lebar, dan kain bebet (batik dengan latar belakang hitam) yang membungkus kepala mereka. Salah satu ciri khas Warok yang sangat mencolok adalah tali kolor (usus-usus) yang panjang dan besar, menjulur dari pinggang hingga mencapai kaki.
Kisah Warok tidak hanya sebatas penampilan dan seni pertunjukan. Sejarah Warok dimulai pada abad ke-15, ketika wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ponorogo masuk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, Kademangan Wengker, yang merupakan cikal bakal Kota Ponorogo, adalah bagian dari wilayah yang diperintah oleh Majapahit di bawah penguasa agung, Prabu Brawijaya V.
Wengker dipimpin oleh seorang demang yang sangat kuat bernama Ki Ageng Suryongalam, atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu karena tinggal di desa Kutu Jetis. Sebagai wilayah bawahan, Wengker diharuskan untuk membayar pajak atau upeti kepada Majapahit sebagai tanda ketaatan. Namun, Ki Demang Ageng Kutu, yang dikenal sebagai pembelot, menolak untuk membayar upeti selama beberapa tahun.
Ketidaktertiban ini membuat sang raja Majapahit geram, dan ia memerintahkan putranya, Pangeran Lembu Kanigoro, untuk menemui Ki Demang Ageng Kutu dan memaksa agar upeti dibayar. Pangeran Lembu Kanigoro memulai perjalanannya ke Wengker. Selama perjalanan, ia singgah ke rumah kakaknya, Raden Patah, yang juga dikenal sebagai Sultan Demak.
Di sana, Pangeran Lembu Kanigoro belajar berbagai ilmu, termasuk taktik perang dan agama Islam. Lebih dari itu, ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Bethoro Katong atau Raden Katong. Setelah menyelesaikan tahap pendidikan ini, Raden Katong melanjutkan perjalanannya ke Wengker dengan seorang abdi setianya yang bernama Selo Aji.
Setelah tiba di Wengker, Raden Katong bertemu dengan seorang Muslim taat bernama Ki Ageng Mirah. Raden Katong menyusun strategi untuk bertemu dengan Ki Ageng Kutu secara damai. Namun, upaya tersebut tidak berhasil, dan Ki Ageng Kutu marah serta melawan utusan tersebut.
Pertempuran akhirnya pecah di antara keduanya, dan Raden Katong kalah. Namun, ia dengan cerdik berpura-pura mendukung gerakan Ki Ageng Kutu. Bahkan, akhirnya Raden Katong menjadi menantu Ki Ageng Kutu setelah menikahi putri pertama Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Sulastri.
Dengan menjadi bagian dari keluarga Ki Ageng Kutu, Raden Katong mengetahui kelemahan gurunya yang hanya bisa dibunuh dengan menggunakan pusaka sakti yang disebut Kiai Puspitorawe. Akhirnya, dengan keberanian yang luar biasa, Raden Katong berhasil membunuh mertuanya itu. Akibatnya, seluruh pengikut Ki Ageng Kutu menjadi pengikut Raden Katong.
Pengikut Ki Demang Ageng Kutu ini juga dikenal dengan kesaktiannya. Selama hidup Ki Demang Ageng Kutu, ada sebuah padepokan yang dia dirikan untuk mengajarkan ilmu kanuragan dan kebatinan kepada generasi penerusnya. Mereka menjaga kesaktian mereka dengan menjauhi interaksi dengan perempuan, sehingga tidak berhubungan dengan wanita.
Ki Ageng Kutu yang sangat sakti ini dulunya adalah seorang abdi dalem dalam kerajaan pada masa Raja Bhre Kertabhumi, yang merupakan Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Pemberontakan Ki Ageng Kutu dimulai ketika dia merasa kecewa terhadap istri Raja Kertabhumi dari Tiongkok, yang dianggapnya terlalu berkuasa pada masa itu.
Kekecewaan ini dipicu oleh kepemimpinan Raja Kertabhumi yang dinilai korup. Dengan semakin lama, tampaknya kehancuran Kerajaan Majapahit semakin mendekat. Ki Ageng Kutu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kerajaan dan membuka sebuah perguruan yang bertujuan melatih anak-anak muda dalam ilmu bela diri.
Dia berharap bahwa perguruan yang dibangunnya akan menjadi sumber kekuatan baru untuk melawan Raja Kertabhumi dan mengembalikan kejayaan Majapahit yang pernah ada. Namun, Ki Ageng Kutu menyadari bahwa pasukannya sangat kecil dan lemah jika dibandingkan dengan Kerajaan Majapahit yang sangat kuat. Oleh karena itu, ia mencoba cara lain untuk menyindir kepemimpinan Raja Kertabhumi.
Melalui pertunjukan reog yang semakin populer di kalangan masyarakat, Ki Ageng Kutu berusaha memberikan perlawanan terhadap Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raja Kertabhumi pada saat itu. Pertunjukan reog ini berhasil mengambil perhatian masyarakat.
Dalam pertunjukan reog, Ki Ageng Kutu menampilkan sosok kepala singa besar yang dikenal sebagai Singa Barong, yang menggambarkan kekuasaan Raja Kertabhumi. Kepala Singa Barong ini dihiasi dengan bulu yang menggambarkan merak yang menggambarkan kipas raksasa layaknya pengaruh rekan Raja Kerthabumi dari Tiongkok.
Baca Juga : Review Serial Gadis Kretek: Salah Satu Series Terbaik Tahun Ini
Raden Katong, yang akhirnya menjadi bupati pertama Ponorogo, memainkan peran penting dalam meneruskan tradisi Warok. Ia menjadikan pengikut Ki Demang Ageng sebagai "manggala sakti" atau kesatria yang bertugas untuk membela negeri. Manggala sakti ini, dalam perjalanan mereka, seringkali dikenal sebagai Warok.
Masyarakat Ponorogo sangat mengidolakan sosok Warok, dan untuk melestarikan budaya ini, muncul tradisi Warokan. Tradisi ini melibatkan tiruan penampilan Warok sebagai upaya untuk mempertahankan kekayaan budaya mereka.
Namun, penting untuk dicatat bahwa keberadaan Warok tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Gemblak. Gemblak adalah anak laki-laki rupawan yang tinggal bersama dengan komunitas Warok dalam jangka waktu 2 tahun. Mereka sering dipinang oleh Warok menggunakan hewan ternak sapi atau hasil pertanian, dan mahar ini diberikan kepada keluarga Gemblak. Setelah itu, mereka hidup bersama dengan Warok dan mengikuti kelompok pertunjukan keliling ke berbagai tempat untuk meramaikan pementasan Reog.
Warok adalah sebutan untuk lelaki yang memiliki sifat kesatria, berbudi pekerti luhur, dan memiliki wibawa tinggi di kalangan masyarakat. Pada awalnya, Warok digambarkan sebagai sosok yang mengolah kanuragan. Mereka menjalani "puasa perempuan," yang berarti mereka tidak berhubungan dengan wanita, tetapi berhubungan dengan anak laki-laki berumur 11–15 tahun yang sering disebut sebagai Gemblak.
Meskipun hubungan Warok-Gemblakan ini kadang dianggap sebagai homoseksualitas, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai homoseksual. Mereka menggunakan istilah "warok-gemblakan" untuk menggambarkan hubungan ini.
Warok yang lebih berada dan memiliki kemampuan finansial sering memanjakan Gemblak mereka. Mereka memberikan makanan lezat, mengajak jalan-jalan, memberikan perhiasan, dan bahkan memberikan dukungan finansial untuk pendidikan dan biaya hidup Gemblak.
Meskipun Gemblak mendapat kesenangan, mereka juga memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada Warok-nya dan patuh pada setiap nasihat yang diberikan oleh Warok. Jika mereka melanggar peraturan atau nasihat tersebut, mereka akan dikenai hukuman.
Gemblak memang sering dianggap sebagai bagian dari hubungan homoseksualitas, namun, hubungan antara Warok dan Gemblak lebih mirip dengan tradisi perjantanan di Yunani kuno. Siapa pun yang mengenal cara hidup tradisional di Ponorogo tahu bahwa ada pria yang lebih tua yang disebut Warok, yang tidak berhubungan seks dengan istri mereka, tetapi berhubungan seks dengan anak laki-laki yang lebih muda.
Selain peran dalam hubungan pribadi, Warok dan Gemblak juga memiliki ikatan kuat dalam hal pendidikan. Warok mengajari Gemblak tentang cara hidup bijak dan santun, melatih mereka dalam seni menari untuk pementasan Reog, dan menyekolahkannya. Ini menciptakan hubungan seperti antara ayah dan anak dalam konteks pendidikan.
Gemblak sering dikaitkan dengan kepercayaan diri Warok. Semakin ganteng seorang Gemblak, semakin kuat dianggap Warok-nya. Semakin banyak jumlah Gemblak yang dimiliki oleh seorang Warok, semakin tinggi status dan kekayaannya. Namun, hal ini tidak mengurangi kewajiban Gemblak untuk tunduk pada Warok-nya dan taat pada setiap nasihat yang diberikan.
Jika ada pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap nasihat Warok, hukuman mungkin akan diberlakukan. Dengan segala kontroversi yang melekat pada tradisi ini, Warok dan Gemblak tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan kehidupan masyarakat Ponorogo. Sejarah dan budaya yang kaya ini telah membentuk Warok menjadi salah satu ikon yang paling dihormati dalam seni pertunjukan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Ponorogo.