JATIMTIMES - Kota Surakarta di Jawa Tengah adalah kota kuno dengan banyak bangunan bersejarah. Salah satu bangunan bersejarah itu adalah Monumen Pers Nasional. Monumen ini terletak di Jl. Gajahmada No.59, Timuran, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Sebagai informasi, Monumen Pers Nasional di Surakarta adalah museum khusus pers nasional. Koleksinya meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, telepon, dan kentongan besar. Museum ini didirikan pada tahun 1978, setelah lebih dari 20 tahun diusulkan dan dioperasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia.
Baca Juga : Gadaikan Pikap Pinjaman, Tersangka Penipuan dan Penggelapan Ditangkap Polisi
Kompleks monumen terdiri atas gedung societeit lama, yang dibangun pada tahun 1918, dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta beberapa gedung yang ditambahkan pada tahun 1970-an. Monumen ini terdaftar sebagai Cagar Budaya Indonesia.
Monumen Pers Nasional memiliki koleksi yang terdiri dari lebih dari satu juta koran dan majalah serta berbagai benda bersejarah yang terkait dengan pers Indonesia. Sekitar satu juta surat kabar dan majalah sejak masa sebelum dan sesudah Revolusi Nasional Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara tersimpan di museum ini.
Fasilitas di museum termasuk ruang multimedia, koran yang bisa dibaca secara gratis, dan perpustakaan. Tempat yang telah dikunjungi oleh lebih dari 26.000 orang selama tahun 2013 dipromosikan sebagai tujuan wisata pendidikan melalui Facebook dan beberapa pameran.
Lalu apa dan mengapa Monumen Pers Nasional ini ada di Surakarta? bukan di kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang atau Surabaya?. Jika ditelisik lebih dalam, Monumen Pers Nasional memang pantas berada di Kota Bengawan. Kota Surakarta sendiri sangat pantas disebut dengan Kota Pers. Di masa lalu di zaman pergerakan nasional, pers merupakan industry yang tumbuh subur di kota ini, saat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipimpinan Sunan Pakubuwono X.
Pakubuwono X lahir pada 29 November 1866 dengan nama kecil Raden Mas Sayidin Malikul Kusno. Ia adalah putra Pakubuwono IX dengan permaisuri KRAy Kustiyah. Pada usia 3 tahun, Raden Mas Kusno telah ditetapkan sebagai putra mahkota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram.
Pakubuwono X menggantikan ayahnya, Pakubuwono IX sebagai susuhunan Surakarta ketika Pakubuwono IX meninggal pada 16 Maret 1893. Dua minggu setelahnya Pakubuwana X resmi dilantik sebagai Susuhunan pada 30 Maret 1893. Pakubuwono memerintah Nagari Surakarta Hadiningrat selama 46 tahun.
Pakubuwono X adalah raja yang istimewa. Raja Jawa yang satu ini dikenal cerdas dan ahli dalam segala ilmu. Ilmu pemerintahan, ilmu politik, hingga ilmu ghaib semuanya dikuasai oleh Pakubuwono X.
Di masa penjajahan ini, Pakubuwono X yang dikenal kaya-raya dan dermawan melakukan serangkaian gebrakan besar. Yang paling mencolok, raja itu melakukan perombakan dan pembangunan fisik besar-besaran di Surakarta Hadiningrat, yang saat ini kita kenal dengan nama Kota Surakarta atau Kota Solo.
Pakubuwono X benar-benar adalah raja dengan otak locak genius. Di masa itu ketika mayoritas rakyat pribumi masih buta huruf, ia sudah menggunakan surat kabar untuk media pencitraan dirinya. Surat kabar juga digunakan sunan sebagai media pergerakan nasional untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Berbeda dengan raja-raja Jawa pendahulunya, Pakubuwono X adalah raja Jawa yang terbuka terhadap peradaban modern. Di masa berkuasa, Pakubuwono X mengkondisikan iklim kondusif pada penerbitan pers. Raja juga menggunakan pers untuk menyiarkan kegiatannya sebagai raja Keraton Surakarta. Koran dijadikan media untuk menyiarkan kegiatan abdi dalem dan kehidupan masyarakat.
Di masa ini pula, jumenengan keraton dan sejarah riawat hidup Pakubuwono X mulai dari lahir, jadi putra mahkota dan menjadi raja dimuat di surat kabar. Pencitraan seorang pemimpin lokal ini boleh jadi adalah yang pertama kali di Indonesia.
Apa yang dilakukan Pakubuwono X ini pada akhirnya menjadi proses sejarah pers di Indonesia. Memang benar, surat kabar pertama di Indoensia adalah Bataviase Nouvelles yang terbit pertama kali di Batavia pada 7 Agustus 1744. Namun pers di Indonesia berkembang pesat berkat kebijakan Pakubuwono X. Di saat Pakubuwono X berkuasa, di Surakarta pada waktu itu ada 69 media surat kabar yang cetak dan terbit. Koran-koran lokal ini terbit harian, majalah dan mingguan. Bahasa yang digunakan pun beragam mulai dari bahasa Jawa, campuran Jawa Melayu, Belanda dan Tionghoa.
Berkat Pakubuwono X, pers yang semula produk media yang sangat sederhana berkembang menjadi kebutuhan masyarakat. Pers juga dipandang sebagai industri dengan cuan yang sangat menjanjikan. Pers pada masa itu berharga cukup mahal tapi jadi kebutuhan. Seperti koran Bromortani yang satu ekslembarnya dihargai 12 juta gulden, harga yang terlalu mahal untuk keluarga pribumi di dekade 1930an.
Pada periode 1900-1915, merupakan momentum penting bagi Keraton Kasunanan Surakarta. Pada masa itu, Pakubuwono X benar-benar terbuka pada peradaban modern. Demi kemajuan bangsa dan negaranya, Pakubuwono X memperbolehkan orang-orang Jawa pria mencukur rambut panjangnya yang semula digulung atau dikepang. Orang-orang cina juga diperbolehkan mencukur kuncir. Pakubuwono X juga mempebolehkan abdi dalem keraton memotong rambutnya sejak 1914. Di tahun-tahun ini pula, para priyayi memakai pakaian jas, iket dan cripu pada acara-acara formal. Seluruh peristiwa penting ini dipublikasikan melalui surat kabar.
Keraton Surakarta benar-benar memaksimalkan surat kabar sebagai publikasi, persis seperti yang dilakukan pemerintah pada hari ini. Berita mutasi pegawai keraton dimuat di surat kabar Darmakandha. Pengangkatan pegawai, serta pembentukan stuktural keraton hingga tingkat kampung juga dimuat di surat kabar. Pola ini nampaknya diadopsi sebagai model pencitraan pemerintah dan birokrasi di Indonesia pada hari ini. Jika hipotesis ini menemui kebenaran, maka pelopor pencitraan media untuk kasus di Indonesia adalah Pakubuwono X, Raja Keraton Kasunanan Surakarta.
Baca Juga : 44 Desa di Ngawi Dapat Tambahan Dana Desa dari Kemenkeu
Koran Darmakandha juga memuat pemberitaan surat undangan perkawinan Sultan Yogyakarta untuk Pakubuwono X pada 10 November 1910. Publikasi ini berdampak positif. Banyak kerabat keraton dan masyarakat bersemangat mengakses informasi, berlangganan dan memasang iklan di surat kabar.
Selain aktif dalam kegiatan kenegaraan, Pakubuwono X juga tampil sebagai Pembina media massa. Pembinaan pers lokal dilakukan Pakubuwono X dalam kurun waktu 1905-1930an. Sebagaimana telah disinggung di awal, Pakubuwono X juga aktif menggunakan surat kabar untuk pencitraan dirinya. Salah satu Koran itu adalah Bromortani, yang dugunakan sunan untuk menyebarkan paham nasionalisme Jawa. Bromortani adalah surat kabar yang terbit setiap hari Jumat. Di Solo, hanya bangsawan dan priyayi yang berlangganan Bromortani, surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Jawa.
Di sisi lain, dengan berlangganan surat kabar rakyat Jawa jadi lebih tahu sepak terjang pemimpinnya di bidang pemerintahan dan kenegaraan. Hubungan Pakubuwono X dengan rakyat jadi lebih dekat berkat surat kabar. Pakubuwono X juga menerapkan kebebasan pers. Hak informasi pers bukan hanya milik keraton, tapi juga untuk kerabat raja dan bangsawan yang tinggal di luar keraton.
Pengaruh dari Pakubuwono X ini juga berimplikasi kepada Sarekat Islam. Walaupun tingkat pendidikan rakyat pada waktu itu masih rendah, namun Pakubuwono X dan pendiri Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto sadar bahwa lembaran pers bisa dijadikan media untuk mengkampanyekan ide-ide nasionalisme, integrasi nasional dan pemikiran perjuangan menuju kemerdekaan bangsa secara luas.
Tjokroaminoto begitu leluasa bergerak melakukan perjuangan berkat perlindungan yang diberikan Sunan Pakubuwono X.
Dibawah Tjokroaminoto, Sarekat Islam melebarkan sayapnya ke aspek politik dengan menerbitkan surat kabar yang dinamakan Oetoesan Hindia. Melalui Koran Oetosan Hindia, Sarekat Islam coba menyebarkan propaganda perjuangan. Surat kabar ini terbit pertama kali pada 1912. Koran ini resmi berada di bawah Sarekat Islam dengan Tjokroaminoto sebagai pemimpin redaksinya.
Tjokroaminoto semakin menggila mengkritik pemerintah Hindia Belanda melalui surat kabar.Tulisan adalah senjata perlawanan Tjokroaminoto untuk menyampaikan pemikiran sekaligus menyulut api perjuangan pribumi Bangsa Indonesia.Melalui surat kabar, Tjokroaminoto menyampaikan gagasan patriotiknya sebagai alat propaganda mengusir penjajah bangsa eropa.
Oetosan Hindia juga menjadi lahan menulis bagi para aktivis-aktivis yang bernaung dalam Sarekat Islam untuk menumpahkan gagasan dan pemikirannya. Sedangkan bagi masyarakat umum, surat kabar Oetosan Hindia digunakan rakyat pribumi untuk mencari informasi, khususnya informasi tentang Sarekat Islam.
Selain Oetosan Hindia, Sarekat Islam juga meneribatkan banyak surat kabar lain seperti seperti Sarotomo, Pantjaran Warta, Kaoem Moeda, dan Sinar Djawa. Namun dibanding surat kabar lainnya, Oetosan Hindia adalah surat kabar milik Sarekat Islam yang paling lengkap dan update dari sisi pemberitaan. Oetosan Hindia menampilkan berita-berita dalam negeri dan internasional. Surat kabar lainnya juga memberitahukan berita yang sama, namun dengan cakupan yang lebih sedikit.
Selain Tjokroaminoto, tokoh-tokoh pergerakan pada era itu hampir semuanya adalah tokoh pers. Sebut saja Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Dr Cipto Mangonkoesoemo. Para tokoh pers ini umumnya menempati posisi pemimpin redaksi dan paling rendah adalah redaktur. Ki Hajar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu membahu bersuara dalam majalah Pemimpin.
Dan nama berikutnya yang berjuang melalui jalan pers adalah Ir Soekarno alias Bung Karno. Soekarno tercatat adalah pimpinan redaksi surat kabar Persatoean Indonesia dan Pikiran Rakyat. Rekan sejawat Soekarno yaitu Mohammad Hatta dibantu Sutan Sjahrir menjadi nahkoda Daulat Rakyat. Sedangkan Amir Sjarifudin menjadi pemimpin redaksi surat kabar Banteng.