JATIMTIMES - Di jalan raya Solo-Ngawi tepatnya di Desa Pelanglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi berdiri sebuah monumen bersejarah untuk mengenang Gubernur pertama Jawa Timur Bendoro Raden Mas Tumenggung Ario Suryo. Bangunan berbentuk patung yang bernama Monumen Soerjo itu kini jadi salah satu wisata andalan milik Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Belakangan, Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi membangun beragam fasilitas untuk menyempurnakan Monumen Soerjo. Letak Monumen Soerjo yang strategis membuat tempat ini banyak dikunjungi orang yang mampir untuk sekedar beristirahat dalam perjalanan. Ada pula orang yang memang sengaja berkunjung untuk napak tilas sejarah dan mengenanh kiprah serta perjalanan Gubernur Suryo.
Baca Juga : Mengenal Burung Gereja yang Tidak Boleh Dipelihara oleh Manusia
Saat ini kawasan Monumen Soerjo telah dilengkapi dengan tempat bermain anak, ruang informasi, tempat penjualan cinderamata, pasar burung, hingga sentra industri kerajian sangkar burung. Pemkab setempat juga telah menyediakan tempat peristirahatan sementara yang sejuk. Selain itu ada juga tempat warung makan dan minum. Belakangan tempat ini jadi rest area karena memiliki tempat parkir luas dan nyaman untuk disinggahi. Pepohonan yang rindang menjadikan kawasan Monument Soerjo begitu sejuk dan nyaman dijadikan tempat istirahat.
Namun dibalik pamornya yang terus meroket, Monument Soerjo ternyata menyimpan sejarah kelam masa lalu. Dalam catatan sejarah Indonesia, tempat ini dulunya merupakan saksi bisu terbunuhnya Gubernur pertama Jawa Timur yang memiliki nama lengkap Bendoro Raden Mas Tumenggung Ario Suryo. Setahun setelah meninggalkan jabatan Gubernur Jawa Timur, tepatnya 10 September 1948, Suryo ditemukan tak bernyawa di sebuah hutan di Ngawi. Dari hasil investigasi diketahui Suryo tewas di tangan PKI Madiun.
Pada waktu itu setelah meninggalkan Yogyakarta menuju Magetan lewat Surakarta, mobil Suryo berpapasan dengan gerombolan PKI di Desa Bogo, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Pada saat itu pula dari arah Madiun melintas mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M Duryat dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut.
Penghadangan oleh PKI ini terjadi sekitar pukul 15.00 WIB. Suryo yang menaiki mobil sedan beserta dua polisi itu kemudian dibelokkan ke arah utara sekitar 100 meter dari titik Monumen Soerjo. Selanjutnya
Suryo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil.Ketiga orang ini kemudian dihabisi PKI. Sebelum dibunuh, gerombolan PKI yang dipimpin Maladi Jusuf melakukan dengan kejam menyeret Suryo dan dua orang lainnya keluar dari mobil. PKI kemudian membakar kedua mobil setelah Suryo dan kedua orang lainya tewas dengan serangkaian penyiksaan.
Jenazah Suryo dan dua polisi itu baru ditemukan empat hari kemudian oleh penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi. Setelah ditemukan, jenazah Suryo dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Kelurahan Sawahan, Desa Kepolorejo, Kabupaten Magetan.
Sebagai bentuk penghormatan, di tempat Gubernur Suryo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Soerjo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarmin.
Monumen Soerjo sendiri dibangun atas dasar hati nurani masyarakat Ngawi dan didukung DPRD setempat. Monumen ini dibangun di tempat terjadinya pengadangan Gubernur Soerjo bersama dua anggota polisi itu. Berjarak sekitar 100 meter arah utara dari monument ini dibangun sebuah prasasti. Titik berdirinya prasasti itu merupakan tempat Suryo dan dua polisi dibunuh PKI dengan cara penyiksaan kejam.
Monumen Soerjo ini berbentuk patung Gubernur Soerjo dikawal Kombes Polisi M. Doerjat dan Komisaris Polisi TK. I Soeroko. Patung ini berdiri di atas dasar berbentuk segi lima dengan relief berjumlah lima buah.
Patung tersebut memiliki tinggi 5 meter dengan berat patung dan relief sebesar 5 ton. Tinggi alas patung berbentuk segi lima 2 meter dan lebar 2,10 meter. Sementara di sisi lantai berbentuk segi lima masing-masing berukuran 4,25 meter, garis tengah pagar rantai yang mengelilingi monumen sekitar 100 meter.
Relief yang ada di dasar patung melukiskan adegan penghadangan mobil Gubernur Suryo oleh gerombolan PKI. Relief juga mengkisahkan tentang pembakaran mobil, penganiayaan terhadap Gubernur Suryo dan dua anggota polisi, dan yang terakhir adalah adegan pembunuhan.
Pembangunan Monumen Soerjo ini rampung dibangun pada 15 Juli 1975 dan diresmikan Pangdam VIII/Brawijaya Mayjen TNI Witarmin pada 28 Oktober 1975.
Sebelum Suryo terbunuh secara tragis, situasi politik saat itu memang tengah memanas akibat pemberontakan PKI Madiun pimpinan Musso yang meletus pada 18 September 1948. Dalam perkembangannya, aksi pemberontakan PKI di Madiun itu berhasil dipukul mundur TNI ke pelosok Jawa Timur. Namun sisa-sisa dari gerombolan PKI itu kemudian melakukan serangkaian aksi pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap feodal (susunan masyarakat yang dikuasai kaum bangsawan) pada November 1948. Salah satu yang menjadi korban dari keganasan PKI Madiun adalah Wedana Sepanjang bernama Raden Mas Soejono, adik dari Gubernur Suryo.
Lalu apa penyebab PKI sampai tega membunuh Gubernur Suryo secara sadis? Aksi pembunuhan ini ternyata dilatarbelakangi dengan PKI kepada Suryo. Suryo oleh PKI termasuk orang yang dicap sebagai kaum Kabir (Kapitalis Barat) yang harus dibinasakan.
Bendoro Raden Mas Tumenggung Ario Suryo lahir pada tanggal 9 Juli 1898 di Magetan, Karesidenan Madiun, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga ningrat tercermin dari gelar kebangsawanan di awal namanya.
Dari garis silsilah Suryo adalah keturunan orang berpengaruh dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah anak ke dua dari sepuluh bersaudara. Ayah Suryo yaitu Raden Mas Wiryosumarto terakhir menjabat Wedana Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Ibu dari Suryo adalah Raden Ayu Kustiyah Wiryosumarto, adik dari Bupati Madiun zaman Hindia Belanda Raden Ronggo Kusnodininggrat.
Sepanjang kariernya sebagai birokrat, Suryo memiliki jasa besar untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Suryo yang saat itu menjabat Gubernur Jawa Timur, membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Aubertin Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28 – 30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo pada 9 November 1945 dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan. Isi pidato tersebut adalah sebagai berikut :
“Saudara-saudara sekalian. Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa Surabaya pada hari ini, tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.
Baca Juga : DPRD Kota Malang Jalin Sinergitas dengan Muslimat NU melalui Pelatihan Administrasi Organisasi
Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.
Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah, lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap kita ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.
Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua Badan-badan perjoangan pemuda dan rakyat kita.
Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir-bathin serta Rakhat dan Taufik dalam perjoangan. Selamat berjoang!,”
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto. Di pihak musuh, Inggris benar-benar kewalahan dan menyebut Surabaya sebagai “Inferno” atau kota neraka.
Suryo resmi mengakhiri tugasnya sebagai Gubernur Jawa Timur pada 1947. Ia diangkat dalam jabatan baru sebagai wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Namun tak banyak yang tahu, dibalik kegagahanya sebagai birokrat, Suryo adalah seorang pemimpin yang memiliki dedikasi tinggi, tanggung jawab dan selalu membela hak-hak kaum tertindas. Sebagai pemimpin, Suryo tidak ingin niat baiknya diketahui siapapun. Para ahli sejarah menyamakan gerakan ini dengan aktor imajinasi Robinhood.
Dibalik sifatnya yang merakyat, Suryo dikenal sebagai sosok pemimpin yang Anti Komunis dan berpegang teguh pada Pancasila. Alhasil, Suryo masuk dalam daftar incaran PKI untuk dimusnahkan alias dibunuh.
Sejak masih aktif menjabat Gubernur Jawa Timur, Suryo sudah jadi incaran PKI. Namun karena masih menjabat gubernur, Suryo pada waktu itu belum jadi sasaran pembunuhan. PKI menunggu waktu hingga Suryo turun dari jabatan gubernur. Jika sudah tidak lagi jadi gubernur, PKI menilai Suryo bukan lagi tokoh yang punya pengaruh dan jika dibunuh maka akan jauh dari sorotan publik.
Semasa menjabat Gubernur Jawa Timur, Suryo pernah berselisih dengan pki. Pada waktu itu PKI dengan terang-terangan membenci para pejabat di Surabaya. Di mata orang-orang Komunis para pejabat seperti Gubernur Suryo adalah sekelompok orang tak berguna yang hanya bisa makan enak dan tidur enak.
Secara tegas Gubernur Suryo membantah tuduhan yang dilontarkan PKI. Suryo tidak rela dirinya dan para bawahannya difitnah tidak bekerja dan hanya memakan gaji buta. Dengan keberanian, Suryo melakukan perlawanan dengan menantang PKI untuk berhadapan langsung di ibukota Jawa Timur di Surabaya.
Suryo adalah mantan pemimpin perang 10 November di Surabaya. Di hadapan PKI, ia sama sekali tidak gentar. Ia sama sekali tidak takut adu pukul dan adu senjata dan mati di tangan PKI. Suryo adalah perwujudan nyata banteng Madiun di dekade awal Indonesia merdeka.
Permusuhan Suryo dengan PKI tidak pernah selesai. PKI tetap menyimpan dendam membara terhadap Suryo hingga sang gubernur meletakkan jabatannya dan dipindahkan tugas ke Jakarta. PKI diam-diam mengatur waktu dan strategi untuk membunuh Suryo.
Akhirnya waktu pembunuhan Suryo pun tiba. Pada tanggal 10 November 1945, Suryo yang sudah tidak lagi menjabat Gubernur Jawa Timur sedang berada di Yogyakarta menghadiri peringatan Hari Pahlawan Nasional. Selepas acara, Suryo pamit dengan maksud ingin pulang kerumahnya di Magetan, Jawa Timur. Sultan Hamengkubuwono IX pada waktu itu sempat melarang Suryo untuk pulang karena situasi Madiun dan Jawa Timur kala itu sedang tidak baik-baik saja. Pasca pemberontakan PKI Madiun, PKI di sana kerap melakukan aksi penculikan dan pembunuhan pada para pejabat daerah.
Mengikuti kata hati, Suryo tetap memutuskan untuk pulang. Suryo pada waktu itu juga sempat mampir ke rumah Residen Sudiro di Surakarta pada 11 November 1945.Seperti sebuah firasat buruk, di Surakarta, Suryo mengalami berbagai kendala teknis menuju pulang ke Magetan. Beberapa kendala itu seperti mobil mogok dan ban mobil yang ditumpangi Suryo mengalami pecah. Kendala teknis ini seperti sebuah petunjuk alam tentang kejadian buruk yang akan terjadi jika Suryo tetap memutuskan pulang.
Bahkan kala itu, sama seperti Sultan Hamengkubuwono IX, Residen Sudiro juga melarang Gubernur Suryo pulang dan menginap 2 atau 3 hari di rumahnya. Namun dengan keteguhan hati, Suryo tetap memutuskan untuk pulang ke Magetan.
Apa yang dikhawatirkan pun benar-benar terjadi, kepulangan Suryo ke Magetan adalah untuk menjemput ajal. Di tengah-tengah hutan di Ngawi, Suryo dicegat dan dibunuh PKI dengan cara kejam dan sadis. Kelompok pembunuh Suryo itu menggunakan atribut PKI, namun ada juga yang hanya menggunakan baju hitam pekat. PKI menuntaskan dendamnya.