free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengenal Burung Gereja yang Tidak Boleh Dipelihara oleh Manusia

Penulis : Mutmainah J - Editor : A Yahya

13 - Oct - 2023, 13:38

Placeholder
Burung Gereja. (Foto dari internet)

JATIMTIMES - Sebagian besar masyarakat Indonesia dan di beberapa daerah lainnya sepertinya sudah tidak asing lagi dengan burung gereja. Burung gereja adalah burung yang persebarannya sangat banyak ditemui di Indonesia.

Burung yang dikenal juga dengan sebutan tree sparrow ini merupakan burung yang paling sering dijumpai di lingkungan sekitar manusia. Di Indonesia, sub spesies yang paling populer yaitu Passer montanus-malaccensis.

Baca Juga : Pemkot Malang Mendapat Penghargaan Rencana Aksi HAM oleh Pemprov Jatim

Sedangkan sarangnya biasa dibuat di dalam rongga yang alami, biasanya di sebuah lubang yang ada di sebuah bangunan rumah, masjid, maupun lainnya. 

Dilansir dari akun Tiktok @kamutahugakofficial, burung gereja memiliki ukuran badan kecil. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa mereka sangat mudah dimangsa oleh predator. Panjang tubuhnya hanya sekitar 14 cm atau sebesar genggaman tangan orang dewasa.

Tampilan bulunya didominasi oleh warna cokelat, tapi jika diperhatikan secara cermat akan terlihat variasi bulu berwarna kelabu dan putih pada tubuhnya. Meski berukuran kecil, burung dengan gerakan gesit ini terlihat gempal dengan ekor pendek. Paruhnya berukuran kecil namun memberikan kesan kuat pada kepalanya.

Pada bagian atas kepala berwarna merah bata, tenggorakan berwarna hitam dengan tepi leher berwarna putih. Bagian perut putih kebu-abuan. Sedangan betina warnanya sedikit lebih pucat. Membedakan jenis kelamin burung ini termasuk cukup sulit.

Seperti halnya burung lovebird, burung ini juga termasuk burung monoformik. Monoformik tersebut mempunyai arti bahwa perbedaan antara jantan dan betina hampir tidak ada sehingga cukup sulit dibedakan secara kasat mata.

Makanan burung gereja adalah biji-bijian dan juga serangga kecil terutama pada musim kawin. Jenis burung ini juga sering kita temui di taman-taman, tempat wisata, pasar dan tempat pembuangan sampah untuk mencari sisa-sisa makanan manusia.

Saat berpapasan dengan burung ini, seringkali kita tidak sadar dengan aroma khas yang dimiliki kawanan burung gereja. Tapi ketika menjumpai sarangnya, kita akan mudah mencium bau tidak sedap yang keluar dari tubuhnya.

Burung Gereja memiliki kebiasaan berasosiasi dekat dengan manusia. Adaptasi hidupnya berkelompok di sekitar rumah maupun gudang. Di saat mencari makan mereka berada di tanah dan lahan pertanian dengan mematuk biji-biji kecil ataupun beras.

Burung dengan nama latin Passer montanus ini masuk termasuk satwa yang memiliki sifat kawin lebih dari satu pasangan. Saat musim kawin tiba, kicauan burung-burung gereja akan terdengar lebih nyaring, lantang, dan intensitasnya meningkat.

Intensitas kicau yang meningkat tersebut dilakukan pejantan agar burung betina tertarik. Dalam satu hari, seekor burung betina dapat kawin dengan beberapa pejantan. Kemampuan bertelurnya sekitar 5-6 butir. Telur-telur tersebut akan dierami oleh pejantan dan betina secara bersama-sama.

Proses pengeraman dilakukan dalam kurun waktu 2 minggu. Anakan burung gereja kemudian akan diurus selama 15-20 hari oleh induknya sebelum dapat mencari makan sendiri. Burung gereja yang siap kawin dan berkembang biak biasanya memasuki usia 1 tahun. Untuk rata-rata usia hidupnya, mayoritas burung pipit kecil ini dapat hidup hingga usia 3 tahun.

Burung jenis ini bukanlah burung asli Indonesia, melainkan berasal dari daratan Asia. Waktu pertama kali datang ke Sulawesi dan Jawa, mereka segera mencari tempat yang paling aman untuk bersarang yaitu di dalam bangunan yang besar dan tinggi. Burung gereja merupakan burung yang terbangnya rendah.

Pada saat itu, bangunan yang arsitekturnya tinggi hanyalah gereja. Sehingga burung ini mulai bersarang di langit-langit gereja. Sejak saat itulah burung Passer montanus ini dijuluki sebagai burung gereja.

Burung gereja dapat ditemukan di Eropa dan Asia. Di Indonesia sendiri, burung gereja dapat dijumpai di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Habitat mereka yang mendiami daerah pemukiman penduduk, membuat mereka begitu familiar bagi orang Indonesia.

Banyak orang yang yang menyamakan burung kecil ini dengan burung pipit karena bentuknya yang hampir serupa. Tapi sebenarnya berbeda, burung gereja termasuk dalam passeridae sedangkan burung pipit termasuk ke dalam ploceidae.

Burung gereja ternyata mendominasi total dari populasi burung di dunia. Hal ini bukanlah tanpa alasan, kemampuan beradaptasi burung ini sangat baik. Burung jenis ini merupakan burung yang jinak dari semua burung liar dan memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya seperti perubahan kondisi cuaca, ketersediaan pakan maupun predator.

Baca Juga : Blusukan Kampus, Dewan Pers Kampanyekan Kebebasan Pers di Brawijaya

Oleh karena itu, burung ini dianggap sebagai burung yang tidak takut didekat manusia atau disebut human dominated ecosystem. Tidak heran pula, jika jenis ini paling banyak dijumpai di kota-kota besar Indonesia.

Mereka biasanya hidup berkelompok dalam jumlah kecil. Di pedesaan, burung ini sering dianggap hama karena suka memakan hasil pertanian terutama padi ketika dijemur. Sarang burung kecil ini sering ditemui di celah tebih, rongga-rongga gedung hingga di plafon rumah manusia.

Suara burung gereja terdengar seperti cicitan ramai dengan nada – nada ocehan yang cepat. Suara burung ini sering digunakan oleh para pecinta burung kicau sebagai pemaster. Suaranya yang rapat tanpa jeda dan panjang sangat baik jika burung kicauan mampu merekam dengan baik suara burung gereja tarung.

Namun, di balik itu semua rupanya burung yang satu ini tidak boleh dipelihara oleh manusia. Adapun alasan burung gereja tidak boleh dipelihara oleh manusia karena ada beberapa faktor;

1. Bisa ganggu kehidupan manusia

Burung gereja yang dipelihara juga dapat mengganggu kehidupan manusia. Kotoran burung gereja yang menumpuk di sekitar kandang atau sangkar dapat mencemari area tersebut. Kotoran ini mengandung zat berbahaya seperti amonia, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia jika terhirup dalam jangka panjang.

Selain itu, burung gereja juga dapat merusak properti dengan mencakar atau merusak bahan bangunan. Hal ini bisa menjadi masalah serius terutama jika mereka dipelihara dalam jumlah besar atau di tempat-tempat dengan populasi burung gereja yang tinggi.

2. Risiko penularan penyakit

Ketika burung gereja dipelihara dalam jumlah besar, seperti yang sering terjadi di tempat-tempat hiburan atau kompetisi burung, ada risiko penularan penyakit. Burung gereja sering berinteraksi dengan berbagai jenis makanan di lingkungan perkotaan, termasuk sisa-sisa makanan manusia.

Hal ini membuat mereka rentan terhadap penyakit yang dapat ditularkan kepada manusia. Salah satu penyakit yang dapat ditularkan adalah salmonellosis, yang dapat disebabkan oleh kontak dengan kotoran burung gereja yang terkontaminasi.

3. Stres dan masalah kesehatan

Ketika burung gereja dipelihara dalam lingkungan yang tidak alami, seperti dalam kandang atau sangkar, mereka sering mengalami stres yang signifikan. Ini adalah makhluk yang terbiasa dengan kehidupan liar dan kebebasan untuk terbang di langit.

Mereka juga memiliki naluri migrasi yang kuat. Namun, ketika mereka dipelihara dalam kondisi yang membatasi gerakan mereka, mereka bisa merasa tertekan dan gelisah. Stres ini dapat berdampak buruk pada kesehatan burung gereja, termasuk masalah pernapasan, gangguan pencernaan, dan kehilangan bulu.


Topik

Serba Serbi Burung gereja larangan pelihara burung gereja



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Mutmainah J

Editor

A Yahya