free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

RMT Ario Suryo, Gubernur Pertama Jatim yang Berakhir Tragis di Tangan PKI

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

12 - Oct - 2023, 19:28

Placeholder
Monumen Soerjo di Desa Bogo, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.(Foto : Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia terbagi menjadi 8 provinsi, dan Jawa Timur termasuk salah satu provinsi tersebut. Gubernur pertama Jawa Timur adalah Raden Mas Tumenggung Ario Suryo dari Magetan.

Raden Mas Tumenggung Ario Suryo adalah seorang bangsawan ningrat Jawa. Sebelum menjabat Gubernur pertama Jawa Timur, ia telah lebih dulu duduk di pemerintahan Hindia Belanda dengan menjabat sebagai Bupati Magetan  dari tahun 1938 hingga tahun 1943. 

Baca Juga : Peringati Hari Jadi Jatim, Ini Pesan Bupati Situbondo

Saat Belanda menyerah pada Jepang sempat terjadi insiden adu gertak antara seorang perwira Dai Nippon dengan Suryo yang itu masuk ke Magetan.

 Beruntung, insiden itu tidak menyebabkan pertumpahan darah dan Suryo tidak kehilangan nyawa. Justru yang terjadi, beberapa hari setelah insiden ini Suryo diangkat sebagai Syuchokan atau Residen Bojonegoro. Pasca-proklamasi 17 Agustus 1945, Soerjo mendapat kehormatan menjadi Gubernur pertama Jawa Timur.

Dari garis silsilah Suryo adalah keturunan orang berpengaruh. Ia adalah anak ke dua dari sepuluh bersaudara. Lahir di Magetan pada tanggal 9 Juli 1898 Suryo adalah seorang keturunan pegawai pamongpraja. 

Ayahnya yakni Raden Mas Wiryosumarto terakhir menjabat Wedana Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Ibu dari Soerjo adalah Raden Ayu Kustiyah Wiryosumarto, adik dari Bupati Madiun zaman Hindia Belanda Raden Ronggo Kusnodininggrat. Kakek Soerjo  dari pihak ayah adalah Raden Mas Wiryosukarto seorang Patih Magetan yang berasal dari Caruban, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. 

Sejak kecil, Soerjo mengenyam pendidikan Tweede Inlandsche School di Magetan, Hollandsch Inlandsche School (HIS), serta Opleidings School Voor Inlandsche Ambteraar (OSVIA). Jiwa pemimpinnya tumbuh, saat dirinya merantau ke Madiun bersama pamannya, Raden Ronggo Kusnodiningrat. 

Selepas lulus dari OSVIA pada 1918, Soerjo memasuki dunia kerja sebagai Gediplomeerd Asisstandlansche Bestuur Ambtenaar di Ngawi. Soerjo juga sempat jadi Wedana di Ngawi setahun setelahnya. Pendidikan polisi juga sempat didapatnya di Veld Politie School di Sukabumi, Jawa Barat. 

Pada Tahun 1926 Raden Mas Tumenggung Ario Suryo menikah dengan Raden Ayu Mustapeni, puteri  sulung Raden Mas Ario Hadiwinoto yang saat itu menjabat sebagai Bupati Magetan. Dari pernikahan ini lahir buah hati yang bernama Raden Ajeng Siti Suprapti.

Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Aubertin Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya  28 – 30 Oktober yang membuat Inggris  terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.

Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. 

Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya  supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya  akan dihancurkan.

Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. 

Gubernur Suryo pada 9 November 1945 dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.  Isi pidato tersebut adalah sebagai berikut : 

“Saudara-saudara sekalian. Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa Surabaya pada hari ini, tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.

Baca Juga : Jadi Finalis Top 45 Kovablik Jatim 2023, Pj Wali Kota Malang Apresiasi Inovasi Laskar Perencana

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah, lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap kita ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua Badan-badan perjoangan pemuda dan rakyat kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir-bathin serta Rakhat dan Taufik dalam perjoangan. Selamat berjoang!,”

Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya  akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto. Di pihak musuh, Inggris benar-benar kewalahan dan menyebut Surabaya sebagai “Inferno” atau kota neraka.

Suryo resmi mengakhiri tugasnya sebagai Gubernur Jawa Timur pada 1947. Ia diangkat dalam jabatan baru sebagai wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Dibalik jasa besarnya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia Hidup Suryo malah berakhir tragis di tangan bangsanya sendiri. Setahun setelah meninggalkan jabatan Gubernur Jawa Timur, tepatnya 10 September 1948, Suryo ditemukan tak bernyawa di sebuah hutan di Ngawi yang belakangan diketahui, Soerjo jadi korban keganasan PKI Madiun.

Dari hasil investigasi diketahui Suryo tewas di tangan PKI pada tanggal 9 November 1948. Pada waktu itu setelah meninggalkan Yogyakarta menuju Magetan lewat Surakarta, mobil Suryo berpapasan dengan gerombolan PKI di Desa Bogo, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. 

Pada saat itu pula dari arah Madiun datang mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M Duryat  dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko  dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut.

Suryo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Suryo  dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi,  lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Kelurahan Sawahan, Desa Kepolorejo, Kabupaten Magetan.

Sebelum tragedi pembunuhan Suryo, Pada 18 September 1948, kelompok pemberontak PKI yang dipimpin Musso melakukan pemberontakan di Madiun. Namun kelompok tersebut kemudian dapat dipukul mundur TNI ke pelosok Jawa Timur. 

Sisa-sisa gerombolan PKI pun melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap feodal (susunan masyarakat yang dikuasai kaum bangsawan) pada November 1948. Salah satu yang menjadi korban gerombolan PKI adalah adik dari Gubernur Suryo yang bernama R.M. Sarjoeno yang merupakan Wedana (camat) di Sepanjang.

Sebagai bentuk penghormatan, di tempat Gubernur Suryo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Soerjo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarmin.


Topik

Serba Serbi rmt ario suryo pki gubernur pertama jatim



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana