JATIMTIMES - Selain menyerang pusat Kerajaan Surabaya, Sultan Agung juga mengerahkan pasukan untuk menggempur Madura, sekutu utama Surabaya.
Madura pada waktu itu adalah kepulauan yang terbagi dalam beberapa kerajaan kecil. Politik serangan untuk menguasai Madura ini kemungkinan besar berlangsung pada 1624, di tengah-tengah invasi serangan Mataram ke Surabaya.
Baca Juga : Ini Lima Event Musik Paling Dinanti di Malang
Politik invasi Mataram menguasai Madura berakhir mengerikan. Tak satupun raja-raja Madura yang hidup, seluruhnya tewas di tangan pasukan ekspedisi Mataram. Satu-satunya pangeran yang masih hidup adalah Raden Prasena dari Kerajaan Arosbaya.
Cerita lisan menyebutkan, Raden Prasena adalah seorang bangsawa asli Madura yang dididik oleh pamannya, Pangeran Santa Merta di Madegan. Sumber lain menyatakan ia dididik dengan nilai-nilai keislaman yang taat oleh ibundanya.
Raden Prasena adalah putera dari pangeran tengah dan Ratu Ibu I dari Arosbaya. Kakek Raden Prasena adalah Raja Arosbaya Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Duwur (1531-1592), salah seorang putra Raden Pragalbo. Panembahan Lemah Duwur dan ayahnya Raden Pragalbo adalah keturunan Raja Majapahit Brawijaya V dari garis Pangeran Lembu Peteng. Panembahan Lemah Duwur telah memeluk agama Islam dan dikenal sebagai seorang raja yang berjasa meletakkan dasar- dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang.
Panembahan Lemah Duwur adalah pemimpin visioner di zamannya. Ia memindahkan pusat pemerintahan kraton yang semula di Plakaran ke suatu dataran tertinggi di sekitar Arosbaya. Kraton tersebut kemudian diberi nama Kraton Lemah Duwur. Pasca dipindahkannya pusat kraton, Jaringan islamisasi di pulau garam semakin meluas bahkan sampai ke pusat-pusat islam di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik dan Tuban.
Kerajaan yang dipimpin Lemah Duwur semakin maju dengan relasi perdagangan yang luas dengan pedagang muslim. Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya perahu para pedagang yang bersandar di Arosbaya. Hubungan bilateral Kerajaan Arosbaya diperluas lagi dengan hubungan bilateral ke Jawa Tengah melalui persekutuan dengan Kesultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir.
Panembahan Lemah Duwur memiliki putra bernama Pangeran Tengah (1592-1621). Dari pernikahannya dengan Ratu Ibu I, Pangeran Tengah kemudian menurunkan Raden Prasena dan Dinasti Cakraningrat yang memerintah Madura Barat selama tujuh turunan.
Raden Prasena ikut dibawa ke Mataram setelah Madura dikuasai Mataram. Di Mataram, Raden Prasena dijadikan tahanan perang. Sultan Agung berhati baik, ia kemudian mengangkat Prasena sebagai abdi dalem. Raden Prasena berjiwa besar, ia menutup luka dendamnya dan dengan jiwa besar dan penuh ketegaran menerima jalan kehidupannya sebagai abdi dalem Mataram.
Raden Prasena memainkan perannya sebagai abdi dalem Mataram dengan baik dan dengan loyalitas tinggi. Integritasnya berhasil memikat hati Sultan Agung. Sultan Agung kemudian menjadikan Prasena sebagai anak angkat. Sebagai anak angkat, Prasena memiliki hak dan perlakuan sama dengan putera raja yang lain.
Nasib Prasena semakin mujur setelah Sultan Agung mengangkatnya sebagai penguasa Madura di bawah kekuasaan Mataram. Pada 23 Desember 1624, Raden Prasena resmi dinobatkan sebagai penguasa Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Penobatan ini dilaksanakan bersamaan dengan dengan grebek Maulud Peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sultan Agung memandang bahwa Raden Prasena cukup mampu memimpin kerajaan bawahan Mataram di Madura, baik dipandang dari segi kepribadian maupun dari segi jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Sultan Agung melihat Raden Prasena memiliki rasa tanggung jawab besar dalam menunaikan tugas dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya.
Kepercayaan besar Sultan Agung juga dilandasi oleh pemikiran, dengan kepribadiannya yang luhur tidak mungkin jika Raden Prasena akan melakukan balas dendam. Dengan pemikiran inilah akhirnya Sultan Agung kemudian mengangkar Raden Prasena sebagai penguasa Madura dibawah kekuasaan Mataram.
Sultan Agung juga menikahkan Prasena dengan adiknya yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Ibu yang terhitung masih keturunan Sunan Giri. Raden Prasena yang bergelar Cakraningrat I memimpin Madura dengan mendirikan keraton di Sampang.
Di satu sisi, perlakuan baik Sultan Agung kepada Raden Prasena ini merupakan bukti jika Mataram ingin menjalin hubungan yang baik dengan Madura. Mataram menganggap Madura bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai bagian penting dari kerajaan mereka yang beribu kota di Kotagede.
Dari pernikahannya dengan Ratu Ibu, Cakraningrat I memiliki beberapa putra-putri yaitu Raden Ario Admodjonegoro, Raden Oendakan dan Ratu Martopati. Cakraningrat I juga memiliki beberapa putra-putri dari selir yaitu Raden Demang Molojo, Pangeran Saring Argo Podjok, Raden Sumotonojo, Raden Mantri, Raden Maospati, Ratu Megatsari, Raden Ayu Weronolo dan Raden Ayu Rondo.
Dari seluruh putra-putri Cakraningrat I, Raden Demang Molojo yang lahir dari istri selir kelak di kemudian hari menurunkan seorang petarung tangguh dari Madura. Ksatria sejati itu tak lain adalah Raden Trunojoyo.
Trunojoyo adalah anak Raden Demang Molojo dari istri yang masih keturunan Joko Tole. Raden Demang Molojo meninggal dunia di istana Mataram saat Trunojoyo berusia enam tahun. Raden Demang Molojo gugur bersama Cakraningrat I pada tahun 1647 saat menjalankan tugas mengatasi pemberontakan Pangeran Alit di alun-alun Plered. Dua bangsawan Madura ini tewas setelah ditikam keris oleh Pangeran Alit. Setelah ayahnya terbunuh, Trunojoyo memilih keluar dari keraton dan menyingkir ke pesantren Raden Kajoran di Klaten.
Sepeninggal Sultan Agung dan Mataram dipimpin Amangkurat I, Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Latar belakang pemberontakan karena Amangkurat I memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Meskipun berakhir dengan kegagalan, pemberontakan Trunojoyo dikenang sejarah sebagai salah satu perlawanan terbesar orang pribumi terhadap bangsa Eropa.
Baca Juga : Simak Harga Presale Padi Reborn di Malang
Bersama Karaeng Galesong, Trunojoyo juga berhasil menghancurkan dan menguasai istana Mataram di Plered. Pemberontakan Trunojoyo berlangsung mulai 1674 dan berakhir pada 1680.
Raden Prasena melalui garis keturunan putranya yang menjadi Cakraningrat II (Raden Undagan) juga menurunkan tokoh pejuang dikenang kiprahnya oleh rakyat Jawa Timur, yaitu Pangeran Cakraningrat IV. Cakraningrat IV memiliki nama kecil Abdul Kharim Diningrat dan nama lainnya adalah Raden Djurit. Ia naih tahta sebagai penguasa Madura dibawah kekuasaan Raja Mataram pada 1718 menggantikan menggantikan kakaknya Tumenggung Adisosro yang bergelar Cakraningrat III yang wafat.
Saat pasukan Jawa-Tionghoa pimpinan Raden Mas Garendi menaklukkan dan menjarah istana Kartasura, Pakubuwono II dan Kapten van Hohendorff lari ke Ponorogo. Disaat pelarian ini Pakubuwono II meminta bantuan kepada Cakraningrat IV. Cakraningrat IV berkenan untuk membantu Pakubuwono II. Pada bulan November, pasukan Cakraningrat berhasil merebut Kartasura kembali.
Cakraningrat IV sebenarnya bisa saja mengambil langkah represif di situasi ini untuk mengambil alih Jawa. Saat itu ia Cakraningrat IV sudah menguasai Keraton beserta Mahkotanya, namun dengan ksatria Cakraningrat IV mengembalikan Keraton yang memang bukan haknya itu kepada yang berhak yaitu Pakubuwono II.
Meskipun telah berhasil mengalahkan pasukan Garendi dan merebut serta menyerahkan kembali Keraton Kartasura kepada Pakubuwono II, nyatanya Cakraningrat IV mengajukan banyak tuntutan. Tuntutan itu terkait dengan kemerdekaan Jawa Timur. Cakraningrat IV menuntut seluruh Jawa Timur merdeka dari Mataram dan VOC dan berada dibawah kekuasaanya sebagai Raja Madura. VOC menganggap tuntutan Cakraningrat IV terlalu berlebihan. Di tahun 1744, VOC mencoba perundingan tapi Cakraningrat IV menolak.
Cakraningrat IV kemudian bersekutu dengan pemimpin Surabaya dan keturunan Untung Surapati yang masih menguasai sebagian Jawa Timur. Dia juga berhenti mengirim upeti beras dan membayar bea pelabuhan Jawa Timur ke VOC. Nyatanya kebijakan-kebijakan Cakraningrat itu justru membuar rakyat Madura hidup dalam kemakmuran. Perang antara Madura dengan VOC pecah pada tahun 1745.
VOC berhasil mengalahkan Cakraningrat IV dan pasukannya di Madura. Cakraningrat IV kemudian lari ke Banjarmasin dan tertangkap disana. Ia berhasil ditangkap pada akhir tahun 1745, diadili di Batavia dan diasingkan ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Keturunan Raden Prasena berikutnya yang jadi legenda tanah air adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa 1825-1830. Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Perang ini melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa. Di pihak Belanda, biaya untuk perang tersebut tidak kurang dari 20 juta gulden. Perkebunan-perkebunan swasta asing juga banyak yang rusak. Selain itu, kemakmuran rakyat lenyap. Belanda nyaris bangkrut akibat perang ini dan imbasnya Belgia melepaskan diri menjadi Negara merdeka.
Pangeran Diponegoro terlahir dengan nama Raden Mas Ontowiryo. Dari garis silsilah, Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dengan istri selir Raden Ayu Mangkorowati. Dari garis silsilah, Diponegoro adalah cucu Sultan Hemengkubuwono II dan cicit Sultan Hamengkubuwono I yang masih keturunan Panembahan Senopati dan Sultan Agung.
Darah Madura yang mengalir dalam tubuh Diponegoro berasal dari pihak ayahnya, bukan dari ibunya. Menurut silsilah, permaisuri Sultan Hamengkubuwono II yaitu Ratu Kedaton adalah keturunan generasi keenam dari Cakraningrat IV.
Dari pernikahannya dengan Ratu Kedaton, Hamengkubuwono II menurunkan beberapa putra-putri, dimana yang paling terkenal adalah Raden Mmas Surojo (Sultan Hamengkubuwono III) dan Gusti Kanjeng Ratu Maduretno (permaisuri Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo Prawirodirdjo III). Sultan Hamengkubuwono III kemudian menurunkan putra sulung bernama Raden Mas Ontowiryo yang kemudian bergelar Pangeran Diponegoro.
Jadi kiranya jelas, dalam tubuh Pangeran Diponegoro mengalir darah raja dan pemimpin besar tanah Jawa. Selain darah Panembahan Senopati dan Sultan Agung, di tubuh sang pangeran juga mengalir darah Panembahan Lemah Duwur, Raden Prasena dan Cakraningrat IV. Selain Pangeran Diponegoro, garis keturunan darah Mataram-Madura ini kelak menurunkan raja-raja Jawa di Kesultanan Yogyakarta hingga saat ini.
Orang Madura adalah manusia yang memiliki semangat baja dan ambisius dalam meraih apa yang dikehendakinya. Orang Madura juga memiliki kepribadian tegas, keras dan berani.
Karakter keras, tegas dan pantang menyerah orang-orang Madura bisa kita saksikan dari banyak petarung besar Tanah Jawa yang berperang hingga titik darah penghabisan melawan penjajah. Mereka adalah Raden Trunojoyo, Pangeran Cakraningrat IV dan Pangeran Diponegoro.