JATIMTIMES - "Biar Tuhan yang mengadili mereka yang zalim," ujar Siti Mardiah (56) sembari sesenggukan menahan tangis.
Siti Mardiah merupakan orang tua salah satu korban meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu.
Baca Juga : Raden Trunojoyo, Bangsawan Madura Penghancur Kekuasaan Raja Mataram Amangkurat I
Putrinya bernama Mita Maulidia (26) turut menjadi korban yang tidak tertolong pada tragedi Kanjuruhan bersama 134 korban meninggal lainnya. Kehilangan putri satu-satunya benar-benar menghantam kehidupan Siti Mardiah.
"Sudah satu tahun, sampai sekarang saya masih tidak bisa percaya putri saya satu-satunya sudah tiada," ujarnya saat ditemui wartawan di rumahnya.
Kecewa dan trauma masih sangat ia rasakan. Rindu kepada putri yang telah tiada juga mengisi hari-harinya. Ia pun hanya bisa mengunjungi makam anaknya untuk melepas rindu dengan tangis dan doa.
"Sehari dua kali saya ke makam. Biasanya setelah dhuha dan setelah ashar. Tapi kalau kadang teringat, saya lari ke makam hanya untuk menangis sambil mendoakannya," terang Mardiah.
Waktu selama satu tahun ternyata tak cukup untuk mengobati lukanya kehilangan putri ketiganya itu. Apalagi, proses hukum tragedi mengenaskan itu yang masih jauh dari kata memuaskan bagi para korban.
Proses hukum yang sudah berbuah putusan pun ternyata tak cukup baginya, malah hanya menambah kekecewaan yang ia rasakan. Putusan bagi 6 tersangka ia nilai tak cukup adil dengan 135 korban yang meninggal sia-sia.
"Kalau saya tidak berharap sama sekali dengan pemerintah. Dan tidak mungkin ada keadilan. Saya hanya berharap ada kebijaksanaan pemerintah," ucapnya dengan kecewa.
Dirinya tak cukup banyak menjelaskan bagaimana keadilan dan kebijaksanaan yang ia harap bisa didapat dari pemerintah melalui pengadilan. Hanya saja, meminta pemerintah bisa menepati janjinya untuk mengusut tuntas tragedi memilukan ini.
"Inginnya kebijaksanaan pemerintah, Pak Jokowi kan juga sudah janji sama kita, tapi buktinya juga tidak ada. Janjinya akan menuntaskan kasus ini," tegasnya.
Baca Juga : Viral, Sekelompok Orang Berenang Dekat Buaya, Benarkah di Indonesia?
Samar-samar, ia mengingat kondisi jenazah anaknya saat tiba di rumah setelah tragedi itu pecah. Ia pun meyakini bahwa putrinya meninggal dengan cara yang tak biasa, meski di sisi lain, hal itu harus ia hadapi sebagai takdir sang Maha Kuasa.
"Anak saya bengkak hitam, dari mulut mengeluarkan busa, hidung keluar darah, matanya merah. Saksi hidup ada, dan tembakan (gas air mata) benar mengarah ke anak saya," jelasnya.
Ikhlas hanya ia rasakan bahwa kehilangan putrinya menjadi sesuatu yang telah digariskan. Namun proses hukun, seharusnya bisa didapat dan dilakukan dengan memberikan hukuman setimpal bagi para oknum pelaku.
"Maksudnya saya sudah ikhlas, karena memang takdir. Tapi proses hukumnya kan tidak jelas. Maunya dihukum seberat-beratnya, tapi tidak mungkin. Tapi itu tidak mungkin," ujar Mardiah.
Trauma juga masih sangat jelas ia rasakan. Sebuah televisi di rumah juga terpaksa tak pernah ia nyalakan, sejak putrinya meninggal dunia. Karena takut melihat berita yang bisa membawanya pada memori saat putrinya merasakan ricuhnya Tragedi Kanjuruhan.
"Pernah dipeluk sekali sama almarhum, waktu malam jumat saat itu saya sedang ikut Jamaah Sholawat. Saya benar merasa dipeluk, hati saya senang, tidak susah tidak ngersulo (menyesal). Saya cuma bisan berdoa agar diampuni dosanya, dilapangkan kuburnya. Dibebaskan dari siksa kuburnya," pungkasnya.