free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Raden Trunojoyo, Bangsawan Madura Penghancur Kekuasaan Raja Mataram Amangkurat I

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

30 - Sep - 2023, 20:37

Placeholder
Lukisan Raden Trunojoyo karya Zamawi Imron.

JATIMTIMES- Orang Madura adalah manusia yang memiliki semangat baja dan ambisius dalam meraih apa yang dikehendakinya. Orang Madura juga memiliki kepribadian tegas, keras dan berani. 

Orang Madura juga memiliki gaya bicara yang kasar. Namun jangan menilai orang dari chasing-nya. Meski nada bicaranya kasar, orang Madura memiliki hati yang lembut. Keras dan tegas itu cuma gaya diatas panggung.

Baca Juga : Viral Bocah Salat di Depan Teater Bioskop Sebelum Nonton Film, Banjir Pujian Netizen

Karakter keras, tegas dan pantang menyerah orang-orang Madura bisa kita saksikan dari salah satu tokoh besar dari Pulau Garam, yaitu Raden Trunojoyo. Raden Trunojoyo adalah bangsawan Madura yang berjuang melawan kekuasaan Raja Mataram Sunan Amangkurat I, Amangkurat II dan VOC. Trunojoyo berjuang selama kurun waktu 1674-1680. 

Perjuangan ini mulanya adalah gerakan protes terhadap kezaliman Amangkurat I terhadap rakyat Mataram. Gerakan ini pada akhirnya berkembang menjadi gerakan jihad melawan VOC dan Belanda yang beragama Kristen. Trunojoyo berjuang dengan keikhlasan dengan tujuan tidak mencari takhta.

Dari garis silsilah, Trunojoyo adalah bangsawan keturunan dari raja-raja Madura. Trunojoyo adalah produk manusia yang tersisa dari politik invasi Mataram terhadap Madura yang berakhir mengerikan. Dalam ekspedisi ini, tak satu pun raja Madura yang hidup. Seluruhnya tewas di tangan pasukan ekspedisi Mataram. Satu-satunya pangeran yang masih hidup adalah Raden Prasena dari Kerajaan Arosbaya.

Cerita lisan menyebutkan, Raden Prasena adalah seorang bangsawan asli Madura yang dididik oleh pamannya, Pangeran Santa Merta di Madegan. Sumber lain menyatakan ia dididik dengan nilai-nilai keislaman oleh ibunya.

Raden Prasena ikut dibawa ke Mataram setelah Madura dikuasai Mataram. Di Mataram, Raden Prasena dijadikan tahanan perang. Sultan Agung berhati baik, ia kemudian mengangkat Prasena sebagai abdi dalem. Raden Prasena berjiwa besar. Dia menutup luka dendamnya dan dengan jiwa besar dan penuh ketegaran menerima jalan kehidupannya sebagai abdi dalem Mataram.

Raden Prasena memainkan perannya sebagai abdi dalem Mataram dengan baik dan dengan loyalitas tinggi. Integritasnya berhasil memikat hati Sultan Agung. Sultan Agung kemudian menjadikan Prasena sebagai anak angkat. Sebagai anak angkat, Prasena memiliki hak dan perlakuan sama dengan putra raja yang lain.

Nasib Prasena semakin mujur setelah Sultan Agung mengangkatnya sebagai penguasa Madura di bawah kekuasaan Mataram. Pada 23 Desember 1624, Raden Prasena resmi dinobatkan sebagai penguasa Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. 

Sultan Agung juga menikahkan Prasena dengan adiknya yaitu Kanjeng Ratu Ibu yang terhitung masih keturunan Sunan Giri. Raden Prasena yang bergelar Cakraningrat I memimpin Madura dengan mendirikan keraton di Sampang.

Di satu sisi, perlakuan baik Sultan Agung kepada Raden Prasena ini merupakan bukti jika Mataram ingin menjalin hubungan yang baik dengan Madura. Mataram menganggap Madura bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai bagian penting dari kerajaan mereka yang beribu kota di Kotagede.

Dari pernikahannya dengan Ratu Ibu, Cakraningrat I memiliki beberapa putra-putri, yaitu Raden Ario Admodjonegoro, Raden Oendakan dan Ratu Martopati. Cakraningrat I juga memiliki beberapa putra-putri dari selir, yaitu Raden Demang Molojo, Pangeran Saring Argo Podjok, Raden Sumotonojo, Raden Mantri, Raden Maospati, Ratu Megatsari, Raden Ayu Weronolo dan Raden Ayu Rondo.

Dari seluruh putra-putri Cakraningrat I, Raden Demang Molojo yang lahir dari istri selir kelak di kemudian hari menurunkan seorang petarung tangguh dari Madura. Ksatria sejati itu tak lain adalah Raden Trunojoyo. 

Trunojoyo adalah anak Raden Demang Molojo dari istri yang masih keturunan Joko Tole.  Raden Demang Molojo meninggal dunia di istana Mataram saat Trunojoyo berusia enam tahun. Sebelum melancarkan aksi perjuangan yang oleh banyak sumber disebut sebagai pemberontakan, Trunojoyo hidup di ibukota Keraton Mataram di Kerto dan memiliki hubungan dekat dengan putra mahkota yang kelak jadi Raja Amangkurat II.

Trunojoyo bisa dikatakan merupakan bangsawan asli dari Jawa Timur yang berjuang tanpa mencari kekuasaan. Trunojoyo berjuang murni untuk menindas ketidakadilan, keserakahan dan kelaliman. Meskipun pada akhirnya perjuangannya menemui kegagalan, Kesultanan Mataram dan VOC butuh waktu bertahun-tahun untuk menghentikan perlawanan Trunojoyo. Peperangan yang dipimpin Trunojoyo tak kalah dahsyat dengan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro.

Musuh utama Trunojoyo adalah Sunan Amangkurat I, putra ketiga Raja  Mataram Sultan Agung. Berbeda dengan ayahnya yang anti bangsa Eropa, Amangkurat I adalah raja yang dalam banyak sumber sejarah digambarkan sebagai raja yang bertabiat buruk.  Amangkurat I adalah raja yang suka main perempuan, gampang curiga kepada siapa pun dan membunuh siapa pun yang tidak ia sukai.

Mataram menorehkan sejarah kelam pada 1659. Di tahun ini Amangkurat I memerintahkan prajuritnya untuk membantai para pemuka agama Islam beserta istri dan anak mereka yang mencapai jumlah 6.000 orang. Enam ribu orang tak berdosa itu tewas dalam dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Mereka dibantai karena dicurigai terlibat dalam konspirasi melawan Amangkurat I oleh adiknya, Pangeran Alit.

Dosa terbesar Amangkurat I adalah melakukan perjanjian dengan VOC. Perjanjian ini benar-benar merugikan dan membawa Mataram ke arah kemunduran. Sementara bagi VOC, perjanjian ini memberikan keuntungan besar. Mataram dengan perjanjian ini juga mengakui kedaulatan Belanda di Batavia.

Semakin hancurnya Mataram dibawah kendali Amangkurat I membuat Keraton Mataram bergejolak. Semakin banyak orang yang tidak suka dengan Amangkurat I, termasuk putra mahkota Pangeran Adipati Anom. Pangeran Adipati Anom berupaya menumbahkan pemerintahan ayahnya sendiri. Ia kemudian meminta bantuan kepada Raden Kajoran dan memulai gerakan revolusi merebut kekuasaan.

Karena sudah merasa tua, Raden Kajoran menolak permintaan Pangeran Adipati Anom. Meski menolak, Kajoran melimpahkan keinginan Pangeran Adipati Anom kepada menantunya yaitu Raden Trunojoyo. Pangeran Adipati Anom dan Trunojoyo akhirnya sepakat untuk mengibarkan bendera revolusi. Skenario yang dibuat, Raden Kajoran dan Pangeran Anom akan tampil ke muka jika api revolusi sudah menyala membara.

Raden Kajoran merupakan seorang suci yang begitu dihormati karena memiliki kesaktian ghoib. Raden Kajoran adalah seorang ahli spiritual dan memiliki bakat rohani yang luar biasa. Selain itu, Raden Kajoran berasal dari wangsa yang menandingi Wangsa Mataram secara martabat. Raden Kajoran juga memiliki dendam pribadi terhadap Amangkurat I atas pembunuhan menantunya Wiramenggala. Wiramenggala dibunuh secara keji oleh Amangkurat I melalui Pangeran Purbaya. Saat pembunuhan ini, putri Raden Kajoran sedang hamil tiga bulan. Jadi bisa dimaklumi jika Raden Kajoran berada di pihak musuh Mataram.

Perjuangan Trunojoyo mendapat bantuan dari Karaeng Galesong, putra Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa. Di tengah berlangsungnya Perang Banten, Raden Kajoran mertua dari Raden Trunojoyo dari Madura yang sedang mempersiapkan pergerakan melawan Sunan Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan kepada Karaeng Galesong. Raden Kajoran kemudian memohon agar Karaeng Galesong mau membantu Trunojoyo melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ujung tombak dari perjuangan ini adalah prajurit Madura dan prajurit Indonesia Timur dari Makassar.

Kedatangan Karaeng Galesong di Jawa Timur disambut baik oleh Trunojoyo dan Tawangalun dari Kerajaan Blambangan. Trio ini kemudian mengadakan pertemuan di Kedhaton Keraton Sampang. Mereka bersatu padu melanjutkan perlawanan terhadap kerajaan Mataram dan Belanda pada 1676-1679. Trunojoyo secara terang-terangan menyatakan diri berpisah dengan Kerajaan Mataram. Trunojoyo kemudian resmi mendeklarasikan diri sebagai Raja Madura  dengan dukungan Sunan Giri dan Raden Kajoran.

Hubungan Galesong dengan Trunojoyo semakin dekat dan pada akhirnya menjadi keluarga. Galesong jatuh cinta dengan putri Trunojoyo yang berparas jelita. Trunojoyo suka dengan pribadi Galesong, ia  mengambil Galesong sebagai menantunya.

Perang melawan kezaliman Amangkurat I dimulai Trunojoyo dari Madura. Dalam waktu singkat, Trunojoyo berhasil menaklukkan seluruh wilayah Madura karena besarnya dukungan rakyat pulau Garam. Rakyat begitu mudah dimobilisasi karena tidak menyukai pemimpin Madura waktu itu yakni Cakraningrat II. Setelah menaklukkan Madura, Trunojoyo bergerak cepat menaklukkan seluruh wilayah Jawa Timur dan pesisir Utara Jawa Tengah.

Salah satu pertempuran terdahsyat Trunojoyo melawan Mataram dan VOC adalah pertempuran di Gegodok pada 13 Oktober 1676. Di Gegodok, pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong berhasil mengalahkan pasukan Mataram pimpinan Pangeran Adipati Anom yang dibantu pasukan VOC. Kekalahan di Gegodok ini jadi awal kebencian Pangeran Adipati Anom kepada Trunojoyo. Pangeran Adipati Anom kemudian meminta maaf kepada ayahnya dan berbalik memusuhi Trunojoyo.

Baca Juga : Pusentasi, Sumur Alami di Sulawesi Tengah yang Dipercaya Obat Segala Macam Penyakit

 Berbaliknya sikap Pangeran Adipati Anom dan semakin besarnya campur tangan VOC di internal Keraton Mataram merubah warna perjuangan Trunojoyo. Perjuangan yang semula bertujuan menumpas kezaliman Amangkurat I berubah menjadi gerakan jihad melawan VOC dengan pasukan Belandanya yang beragama Kristen.

Perang Jihad yang diserukan Trunojoyo ada kemiripan dengan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Trunojoyo dan pasukannya menghimbau orang-orang Jawa dan Madura untuk mendukung perjuangan mereka. Trunojoyo dalam perjuangan ini juga mendapatkan tanggapan positif dari Panembahan Giri. Panembahan Giri menyatakan, Negara Mataram tidak akan bisa sejahtera jika VOC masih menancapkan pengaruhnya di  Jawa.

Jihad yang diserukan Trunojoyo mendapat dukungan kuat dalam waktu singkat.  Krisis di Mataram memuncak pada akhir 1676 setelah pasukan Trunojoyo berhasil menduduki Demak, Semarang, Kendal, Kaliwungu, Pekalongan, Tegal, Cirebon, dan Indramayu. Pasukan Mataram kalah lagi dan Pangeran Adipati Anom semakin benci dengan Trunojoyo. Kebencian sang pangeran semakin memuncak setelah ia mendengar kabar Trunojoyo dinobatkan sebagai raja oleh rakyat Jawa Timur di Surabaya dengan gelar Panembahan Maduretno.

Masih di tahun 1677,  bersama dengan Karaeng Galesong, Trunojoyo berhasil menguasai Istana Mataram di Kerto. Pasukan Trunojoyo benar-benar membuat kacau Mataram. Desa-desa di ibukota Mataram dibakar. Mataram tidak siap dengan serbuan pasukan Trunojoyo yang sangat mendadak. Inilah puncak kejayaan dari Trunojoyo, kesatria Jawa Timur dari Madura.

Penaklukan ini memberikan tamparan keras bagi Amangkurat I. Trunojoyo menjarah harta pusaka milik keraton. Sedangkan Amangkurat I melarikan diri dari keraton bersama Putra Mahkota. Kehilangan istana membuat Amangkurat I sangat gugup.Ia meninggalkan istana bersama seluruh putra dan permaisurinya. Abdi yang masih setia ikut bersamanya.

Babad Tanah Djawi mengabarkan, raja meninggalkan istana pada malam Ahad bulan Sapar dalam tahun be atau tahun 1600 (28 Juni 1677). Perjalanan raja dari Plered menuju ke barat dan berhenti di Makam Sultan Agung di Imogiri. Dari Imogiri rombongan menyeberang ke Kali Progo. Amangkurat I benar-benar menderita dalam peristiwa ini. Ia tidak kuat menahan gejolak penderitaan dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan. Jenazahnya dimakamkan di Tegalwangi pada 1677.

Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Amangkurat I menobatkan Pangeran Adipati Anom sebagai raja Mataram berikutnya dengan gelar Amangkurat II.  Ia berpesan agar Amangkurat II kembali merebut Keraton Mataram dengan meminta bantuan VOC.

“Kelak setelah saya tiada, pergilah engkau meminta pertolongan Belanda. Ajaklah mereka untuk membalas dendam kepada orang-orang dari daerah timur yang merusak Mataram. Pesanku supaya engkau sungguh-sungguh melaksanakan nasehatku. Orang Belanda akan menangkan perangnya, semua anak cucuku jika berteman dengan Belanda kelak akan menangkan perangnya. Kalau saya doakan semoga dapat mengalahkan musuhmu, tetapi jangan lupa membawa teman orang Belanda,” pesan terakhir Amangkurat I kepada Amangkurat II.

Atas wasiat ayahnya, Amangkurat II kemudian meminta bantuan kepada VOC.  Speelman, Wakil VOC di Jepara menyanggupi permintaan itu namun syaratnya sangat berat. Syarat yang diajukan VOC juga sangat merugikan Mataram. Syarat tersebut disanggupi Amangkurat II. Beberapa isi perjanjian itu diantaranya Amangkurat II setuju mengakui hutang kepada Belanda sebesar 2.000.000 real, Mataram bersedia menyerahkan beras sebanyak 3.000 koyan, Mataram bersedia membayar kerugian perang sebesar 3.000 real setiap tiga bulan, dan Belanda boleh menguasai daerah pesisir sampai Pamanukan.

Akhirnya dengan bantuan pasukan Bone dan Ambon, Speelman menyerbu pusat kekuatan pasukan Trunojoyo di Kediri pada 25 Nopember 1678. Pertempuran sengit pun terjadi. Menghadapi lawan yang berlipat ganda dengan persenjataan yang jauh lebih lengkap, Trunojoyo akhirnya melepaskan Kediri dan mundur ke Blitar, lalu ke Malang. Jatuhnya Kediri disambut dengan sangat gembira oleh petinggi Belanda di Batavia.

Saat mundur dari pusat pertahananya di Kediri itu, Trunojoyo mengirimkan surat kepada Amangkurat II. Trunojoyo mengingatkan Amangkurat II akan hubungannya dengan orang Belanda yang ia sebut sebagai orang kafir. Trunojoyo dalam suratnya juga menyatakan ia siap untuk mengabdi kembali kepada Mataram jika Amangkurat II memutuskan hubungannya dengan Belanda.

Masih dalam suratnya, Trunojoyo juga mengingatkan Amangkurat II tentang perjuangan kakeknya yaitu Sultan Agung yang anti bangsa eropa. Sultan Agung adalah raja yang bersikap tegas dan tahu jika Belanda adalah penjajah Kristen yang harus dibumihanguskan dari tanah Jawa.

 

Amangkurat II tidak peduli dengan surat dari Trunojoyo. Sesuai dengan wasiat terakhir ayahnya, ia meminta VOC untuk menghabisi pasukan Trunojoyo. Setelah penaklukan Kediri, pasukan Belanda dan Amangkurat II menangkapi sisa-sisa pasukan Trunojoyo. Ekspedisi perang ini juga jadi catatan penting bagi Belanda yang untuk pertama kalinya mengenal alam pedalaman pulau Jawa.

Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan dan menyerah pada 1680. Kapitan Jonker kemudian menyerahkan Trunojoyo kepada Amangkurat II. Trunojoyo sang pelaga dari Madura itu akhirnya  tewas ditikam keris oleh Amangkurat II.

Ada beberapa versi terkait penyerahan Trunojoyo kepada Mataram. Versi pertama, Amangkurat II dalam ekspedisi penangkapan ini bersikap bersahabat. Ia menawarkan jabatan Patih Mataram kepada Trunojoyo tapi sang pelaga Madura menolaknya. Penolakan Trunojoyo ini bisa jadi karena konsistensinya tidak mau jadi kawan Belanda yang sudah jadi partner abadi Keraton Mataram. Trunojoyo kemudian ditangkap di Gunung Kelud wilayah Ngantang Kabupaten Malang oleh Cakraningrat II (paman Trunojoyo) dan Kapten Spelman.

Versi lain menurut Babad Tanah Djawi dan Serat Trunojoyo, dikabarkan Trunojoyo menyerah kepada Mataram atas bujukan istrinya (Keletingwungu) yang terhitung masih adik Sunan Amangkurat II. Babad Tanah Djawi menyatakan, atas bujukan istrinya ini Trunojoyo berkata “Saya Menyerahkan apa yang menjadi kehendak andika, tentu andika tidak akan menyengsarakan saya”.

Berbeda dengan tiga sumber diatas, Babad Tanah Madura mengabarkan Amangkurat II sebenarnya mengingat janjinya kepada Trunojoyo akan kekuasaan. Setelah berhasil menjadi raja, Amangkurat II memberikan pengampunan dan ingin memberikan jabatan Patih Mataram kepada Trunojoyo namun Trunojoyo menolaknya. Amangkurat II marah dengan penolakan itu, menarik kerisnya dan menusukkannya ke Trunojoyo. Penolakan tak mau dijadikan patih merupakan bukti jika Trunojoyo berjuang dengan tulus dan tidak mencari jabatan.

Sebuah sumber menyatakan Trunojoyo tewas dengan akhir yang mengerikan. Setelah meregang nyawa akibat ditikam keris, Amangkurat II meminta para petinggi kerajaan aksi kanibalisme memakan jantung dan hati sang pejuang dari Madura.

Kesimpulan dari ulasan ini adalah, revolusi yang disepakati oleh Pangeran Adipati Anom dan Trunojoyo pada akhirnya tidak dapat diwujudkan karena motivasi perjuangan yang berbeda. Benar kedua bangsawan memiliki tujuan perjuangan yang sama yaitu meruntuhkan pemerintahan Amangkurat I, namun mereka berbeda dalam dasar pertimbangan. Pangeran Adipati Anom menumbangkan pemerintahan ayahnya untuk merebut mahkota Mataram. Sedangkan Trunojoyo berjuang karena didorong rasa keadilan dan membaski kezaliman raja Mataram. Trunojoyo ingin mengusir Kristen bangsa eropa yang menjajah dan mewujudkan kehidupan yang aman, adil, makmur dan tentram di wilayah Kesultanan Mataram.

Dan satu lagi, Trunojoyo adalah orang pertama dari Jawa Timur yang berjuang dan berperang melawan penjajahan Belanda. Jadi sangat pantas jika Trunojoyo pada akhirnya dianugrahi gelar Pahlawa Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia. Trunojoyo dan perjuangannya akan selalu dikenang oleh Bangsa Indonesia khususnya rakyat Jawa Timur.


Topik

Serba Serbi Trunojoyo Kerajaan Mataram sejarah Madura



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy