JATIMTIMES - Selain candi dan situs bersejarah lainnya, Blitar Raya juga memiliki banyak makam-makam keramat. Makam keramat ini tersebar di Kabupaten Blitar dan Kota Blitar. Salah satu makam keramat tersebut adalah Pasarean Pangeranan.
Pasarean Pangeranan adalah makam bupati-bupati yang pernah memimpin Kabupaten Blitar. Lokasi pasarean ini berada di Lingkungan Gebang, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Pasarean ini berada di tengah-tengah Kota Blitar, tepatnya di sebelah timur Istana Gebang (rumah keluarga Presiden Soekarno).
Baca Juga : Tindaklanjuti Laporan BPK dan APIP, Inspektorat Kabupaten Blitar Gelar Bimtek E-Audit
Pemimpin dan tokoh yang dimakamkan Pasarean Pangeranan ini di antaranya Bupati Blitar ke-2 KPH Warsokoesoemo (1866-1896), Bupat Blitar ke-3 KPH Sosrohadinegoro (1896-1917, dijuluki Kanjeng Jimat, pemilik pecut Samandiman), KPH Warsohadiningrat (1918-1942), Sarjono (Bupati Blitar ke-19) dan Siswanto Adi (Bupati Blitar ke-20).
Di pasarean ini juga jadi tempat peristirahatan terakhir Bupati Malang ke-4 R.A.A Soerioadiningrat dan R.M.H.T Brotodiningrat (Bupati Madiun 1954-1956). Serta Raden Kartowibowo.
Dari sekian nama diatas, nama Raden Kartowibowo adalah tokoh yang menarik untuk diulas. Benar Kartowibowo adalah seorang bangsawan berdarah biru, namun ia bukanlah pemimpin daerah, ia tidak pernah menjadi bupati, patih atau wedana.
Raden Kartowibowo
Lalu apa istimewanya Kartowibowo? Sehingga makamnya cukup istimewa dan berada di tempat keramat bersama bupati dan pemimpin besar lainnya?
Hanya sedikit saja orang yang tahu tentang makam Raden Kartowibowo di Pasarean Pangeranan. Seperti nama besarnya yang tenggelam, makam Kartowibowo juga hampir tidak diketahui masyarakat umum.
Padahal di Pasarean Pangeranan, makam Kartowibowo dan istri berada di bagian luar tembok utama. Makam Kartowibowo dan isteri nampak cukup megah dengan pusara berwarna putih dengan gaya desain ornamen Keraton Mataram.
Lokasinya berada di depan pintu masuk gerbang yang tak jauh dari jalan raya dan masjid. Di pemakaman bagian depan ini dimakamkan pula beberapa pejabat yang berjasa untuk Blitar dan Jawa Timur. Beberapa pejabat itu diantaranya adalah pejabat wedana.
“Pasarean Pangeranan ini adalah pemakaman milik keluarga besar Eyang Bupati Warsokoesoemo. Namun orang luar yang punya jasa besar untuk daerah diberikan keistimewaan untuk dimakamkan disini. Salah satunya Bapak Kartowibowo,” jelas Juru Kunci Pasarean Pangeranan, Harmono.
Seperti yang beberapa waktu ini kita bahas, Raden Kartowibowo adalah seorang local genius dan pendobrak tradisi yang merubah wajah Blitar Raya di zaman Hindia Belanda. Belakangan perjuangannya mendapat apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Blitar. Pemkab memberikan penghargaan Achievement Award Blitar Land of Kings kepada Raden Kartowibowo sebagai tokoh berpengaruh dari Blitar. Penghargaan tersebut diberikan oleh Bupati Blitar Rini Syarifah di acara puncak Hari Jadi ke-699 Blitar yang digelar pada 5 Agustus 2023.
Ya, Raden Kartowibowo di kalangan sepuh Blitar Raya lebih dikenal sebagai tokoh penggali sejarah. Bukunya yang berjudul Arijo Blitar, Matjan Malihan dan Bakda Mawi Rampog hingga hari ini merupakan artefak sejarah lokal yang bernilai luar biasa.
Namun tak banyak yang tahu, selain di bidang sejarah, Kartowibowo memiliki jejak dan jasa luar biasa di bidang lain. Ia adalah seorang ahli ilmu pertanian dan pahlawan pendidikan.
Kartowibowo adalah bangsawan keturunan Keraton Mataram yang lahir di Tulungagung pada 1885. Ia adalah keponakan dari Soekeni Sosrodihardjo, ayah Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno (Bung Karno).
Selepas menempuh pendidikan di OSVIA, Kartowibowo melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor hingga 1905. Di Bogor ia meraih kompetensinya sebagai ahli ilmu pertanian.
Di bidang pertanian, Kartowibowo juga menerbitkan buku berjudul Mardi Tani yang diterbitkan oleh van Dorp & Co pada 1919. Buku ini pernah menjadi salah satu diktat penting bagi pemerintah Belanda dalam penyelenggaraan pendidikan pertanian.
“Bung Karno dan Eyang Kartowibowo adalah keponakan. Beliau berdua itu dulu akrab dan sering ketemu kalau Bung Karno pas pulang ke Blitar. Beliau berdua punya hobi yang sama, menyukai dan tidak bisa jauh dari buku,” jelas Wisnu Ardiyanto, salah satu cucu Raden Kartowibowo.
Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Pertanian Bogor, Kartowibowo kemudian bekerja sebagai pegawai negeri Hindia Belanda. Ia berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Beberapa kota yang pernah menjadi tempat tugasnya antara lain Jombang, Tulungagung, Mojokerto, Nganjuk, Madiun, Kediri, Semarang, Salatiga dan tentu saja Blitar.
Baca Juga : Tips Menulis Caption Instagram yang Keren dan Unik
Karier di Blitar menjadi titik penting dalam kehidupan Kartowibowo. Di kota kecil ini ia tidak lagi diberi tanggung jawab dibidang pertanian, melainkan diberi tugas sebagai guru. Dia ditempatkan di Noormalschool satu tempat tugas dengan Soekeni Sosrodihardjo, ayahanda Bung Karno. Noormalschool di Blitar ini merupakan satu di antara 6 sekolah serupa yang ada di tanah air dan berdiri tahun 1915.
Kartowibowo menjadi guru yang istimewa di Noormalschool. Kiprahnya semakin berkembang dengan mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Particulire Hollans Indise School ( PHIS) Mardi Siswo, sekolah swasta pertama di Blitar.
Di tangan Kartowibowo, Mardi Siswo berkembang menjadi sekolah dengan kurikulum muatan lokal yang dirancang Kartowibowo. Tujuan dari Mardi Siswo adalah mendidik dan mencerdaskan anak-anak bumiputra (inlanders ) yang tidak dapat diterima masuk HIS Diens atau HIS Negeri.
Kartowibowo mendirikan PHIS Mardi Siswo setelah terusik dengan sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda. Di Blitar pada waktu itu, banyak murid sekolah dasar mengalami kegagalan saat akan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kasus yang terjadi waktu itu, banyak murid di Blitar sekolah dasar di Blitar gagal melanjutkan studi pendidikannya di HIS Blitar, sekolah lanjutan satu-satunya yang ada di Blitar kala itu. Sedangkan MULO, Osvia dan lain-lain telah terstruktur sebagai sekolah yang berorientasi khusus.
Demikian juga kasus yang sama terjadi pada sekolah lanjutan lainnya yang sudah disusun sesuai kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kehadiran PHIS Mardi Siswo mendapat apresiasi dan dukungan dari Bupati Blitar waktu itu.
Berbeda pandangan, pemerintah Hindia Belanda justru menganggap sekolah ini sebagai sekolah swasta yang biasa saja. Yang terjadi justru adalah, Mardi Siswo mampu berkibar dan memecahkan kebuntuan yang ada. Murid-murid sekolah yang tidak dapat diterima di HIS Diens memperoleh pendidikan yang sama di PHIS Mardi Siswo.
Di sinilah, penghargaan Achievement Award Blitar Land of Kings sangat pantas diterima Kartowibowo. Meskipun sekolah swasta, semua yang ada di PHIS Mardi Siswo dibuat persis seperti sekolah negeri.
Kartowibowo adalah local genius, pendobrak tradisi dan pahlawan dunia pendidikan. Kartowibowo sukses mencerdaskan rakyat pribumi yang termarginalkan sistem pendidikan kolonial Hindia Belanda.
Di tahun-tahun mengajar inilah, Kartowibowo membangun rumah di Jalan Kalimantan, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Rumah yang dibeli pada 1932 ini kemudian dikenal dengan nama Wisma Kartowibowo.
Keterangan lain yang dituliskan oleh Sawito Kartowibowo, anak Kartowibowo, menyebutkan rumah di Sananwetan itu dibeli ketika Kartowibowo sudah pensiun sebagai pegawai negeri Hindia Belanda.
Rumah tersebut dibangun cukup megah dengan pendapa berukuran 10×10 m di bagian depannya. Pendapa tersebut kemudian diisi dengan gamelan jawa pelok dan slendro, wayang kulit dan perlengkapan pakaian wayang orang.
Raden Kartowibowo meninggal dunia di Blitar pada 30 Desember 1948. Ia dimakamkan di Pasarean Pangeranan di Lingkungan Gebang, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Pasarean Pangeranan adalah satu pemakaman paling keramat di Blitar. Di tempat ini dimakamkan pula Bupati Blitar ke-2 KPH Warsokoesoemo, Bupati Blitar ke-3 KPH Sosrohadinegoro dan Bupati Blitar ke-4 KPH Warsohadiningrat.