JATIMTIMES - Mengubur ari-ari bayi baru lahir atau menggantungnya menggunakan kendi telah menjadi tradisi di berbagai wilayah Indonesia. Lantas bagaimana sebenarnya hukumnya dalam Islam?
Founder Aswaja Muda Ustaz Ahmad Muntaha AM menjelaskan, jika mengubur ari-ari dari bayi yang dilahirkan sendiri hukumnya adalah sunah. Termasuk membungkusnya dengan kain, juga dilakukan untuk memuliakan bayi tersebut.
Baca Juga : Diisukan Akan Menggandeng PKB, Anies Baswedan Kunjungi Kediaman Ibunda Cak Imin di Jombang
Melansir laman NU Online, mengubur ari-ari itu hukumnya sunnah seperti halnya mengubur potongan tubuh manusia yang terpotong saat hidup. Seperti tangan, kuku, rambut dan lainnya. Al-Khatib As-Syarbini menjelaskan:
أما ما انفصل من حي أو شككنا في موته كيد سارق وظفر وشعر وعلقة ودم فصد ونحوه فيسن دفنه إكراما لصاحبها ويسن لف اليد ونحوها بخرقة أيضا كما صرح به المتولي
Artinya, “Adapun bagian tubuh yang terpisah dari orang hidup atau yang masih kita ragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, gumpalan darah sebelum menjadi janin, darah bekam dan semisalnya, maka sunah dikubur karena memuliakan orangnya. Sunah pula membungkus tangan yang terpotong dan semisalnya dengan kain, sebagaimana dijelaskan secara terang-terangan oleh Imam Al-Mutawalli.” (Muhammad Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 349).
Lebih tegas, Syekh Sulaiman Al-Bujairami sebagaimana dikutip Syekh Abdul Hamid As-Syirwani menyatakan, ari-ari termasuk dalam hukum bagian tubuh yang terpisah dari orang hidup:
أما المشيمة المسماة بالخلاص التي تقطع من الولد فهي جزء منه
Artinya, “Adapun ari-ari yang dinamakan khalash yang dipotong dari bayi maka merupakan bagian dari tubuhnya.” (Muhammad Abdul Hamid As-Syirwani, Hasyiyatus Syirwani, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 161).
Namun berbeda hukumnya dalam islam jika ari-ari dikubur dengan ayat Al-Quran seperti surat Al Fatihah. Menurut sebagian ulama ada yang membolehkan, namun ada juga yang memandang jika tulisan kalimat-kalimat mulia itu nanti akan terkena najis dari jasad mayit saat membusuk di dalam kubur.
Menurut keterangan dari Syekh Muhammad bin Ali Al-Hashkafi, mazhab Hanafi:
كُتِبَ عَلَى جَبْهَةِ الْمَيِّتِ أَوْ عِمَامَتِهِ أَوْ كَفَنِهِ عَهْدُ نَامَهْ يُرْجَى أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِلْمَيِّتِ. أَوْصَى بَعْضُهُمْ أَنْ يُكْتَبَ فِي جَبْهَتِهِ وَصَدْرِهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَن الرَّحِيم، فَفُعِلَ
Artinya, “Bila di jidat mayit, sorban atau kafannya dituliskan doa 'ahdu namah, maka diharapkan Allah akan mengampuni mayit. Sebagian ulama berwasiat saat meninggal nanti agar di jidat dan di dadanya dituliskan bismillahirrahmanirrahim, lalu hal itu dilakukan.” (Muhammad bin Ali Al-Hashkafi, Ad-Durrul Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1368 H], juz II, halaman 246).
Baca Juga : Heboh Indomie Disebut Hasil Kudeta dari Djajadi Djaja, Mie Gaga Angkat Bicara
Dari pernyataan di atas, maka artinya Syekh Ibnu Abidin menyatakan bahwa hukum ari-ari dikubur dengan ayat Al Quran dibolehkan. Hal seperti ini juga diriwayatkan dari Imam As-Shaffar, dan bahkan Syekh Nushair tegas membolehkannya. (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar, [Beirut, Darul Fikr: 2000], juz II, halaman 246).
Sementara ulama yang melarangnya karena akan membuat najis tulisan kalimat tersebut adalah ulama Syafi'iyah yang di antaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Ibnus Shalah. Secara panjang lebar Ibnu Hajar menegaskan:
فَقَدْ أَفْتَى الْإِمَامُ ابن الصَّلَاحِ بِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ كِتَابَةُ شَيْءٍ من الْقُرْآنِ على الْكَفَنِ صِيَانَةً له عن صَدِيدِ الْمَوْتَى وَمِثْلُ ذلك الْكِتَابُ الذي يُسَمُّونَهُ كِتَابَ الْعُهْدَةِ يَنْبَغِي أَنْ لَا يَجُوزَ وَأَقَرَّ ابن الصَّلَاحِ على ذلك الْأَئِمَّةُ بَعْدَهُ وهو ظَاهِرُ الْمَعْنَى جِدًّا فإن الْقُرْآنَ وَكُلَّ اسْمٍ مُعَظَّمٍ كَاسْمِ اللَّهِ أو اسْمِ نَبِيٍّ له يَجِبُ احْتِرَامُهُ وَتَوْقِيرُهُ وَتَعْظِيمُهُ وَلَا شَكَّ أَنَّ كِتَابَتَهُ وَجَعْلَهُ في كَفَنِ الْمَيِّتِ فيه غَايَةُ الْإِهَانَةِ له إذْ لَا إهَانَةَ كَالْإِهَانَةِ بِالتَّنْجِيسِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ بِالضَّرُورَةِ أَنَّ ما في كَفَنِ الْمَيِّتِ لَا بُدَّ وَأَنْ يُصِيبَهُ بَعْضُ دَمِهِ أو صَدِيدِهِ أو غَيْرِهِمَا من الْأَعْيَانِ النَّجِسَةِ التي بِجَوْفِهِ فَكَانَ تَحْرِيمُ وَضْعِ ما كُتِبَ فيه اسْمٌ مُعَظَّمٌ في كَفَنِ الْمَيِّتِ مِمَّا لَا يَنْبَغِي التَّوَقُّفُ فيه
Artinya, “Sungguh Imam Ibnus Shalah telah memfatwakan bahwa tidak boleh menulis sesuatupun dari Al-Qur'an pada kafan karena menjaganya dari nanah jenazah. Demikian pula menulis tulisan yang dinamakan Kitabul 'Ahdi hendaknya tidak boleh. Para ulama yang hidup setelah Ibnus Shalah pun sudah menetapkan persetujuan atas fatwanya. Ini sudah sangat jelas argumentasinya. Karena Al-Qur'an dan setiap nama yang diagungkan, seperti nama Allah atau nama nabi hukumnya wajib dimuliakan, dihormati dan diagungkan. Tidak ada keraguan sama sekali bahwa menulisnya dan meletakkannya di kain kafan merupakan penghinaan yang paling besar. Karena tidak ada penghinaan sebagaimana penghinaan membuatnya terkena najis. Kita pasti tahu bahwa tulisan yang ada di kafan mayit pasti akan terkena sebagian darah, nanah atau najis lainnya dari tubuh mayit. Karenanya, meletakkan tulisan nama-nama yang diagungkan di kafan mayit termasuk hal-hal yang hendaknya tidak diragukan lagi keharamannya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawal Fiqhiyah Al-Kubra, juz II, halaman 7).
Dari perbedaan di atas, maka ustaz Ahmad Muntaha menegaskan bahwa bergantung siapa ulama yang diikuti. Jika mengikuti mazhab Hnafi diperbolehkan. Sedangkan mazhab Syafii tidak diperbolehkan.
Menurut Ustaz Ahmad Muntaha kasus ari-ari dikubur dengan ditambah ayat Al Quran seperti Al Fatihah sama halnya dengan menulis ayat Al Quran di badan mayit yang hendak dikubur.
Oleh karenanya, Ustaz Ahmad Muntaha menyarankan agar menulis menggunakan jari tangan saja tanpa tinta. Tujuan tabarukan atau mengambil keberkahannya dapat dicapai, dan sekaligus terhindar dari keharaman menajiskannya.