free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Pendiri Kerajaan Mataram Islam Panembahan Senopati Pernah Bertapa di Blitar, Nama Tempatnya Situs Watu Atos

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

30 - Aug - 2023, 00:04

Placeholder
Situs Watu Atos di Desa Minggirsari, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar

JATIMTIMES-Sejarah panjang Kerajaan Mataram Islam tak bisa dilepaskan dari sosok pendirinya yaitu Panembahan Senopati. Senopati bernama asli Danang Sutawijaya. Ia berhasil membawa Mataram yang mulanya hanya sebuah desa menjadi kerajaan yang perlahan-lahan semakin besar dan menguasai Jawa.

Panembahan Senopati adalah putra Ki Ageng Pamanahan, pendiri perdikan Mentaok yang jadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam. Sejarah yang diceritakan secara umum, Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya membantu Raja Pajang Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) membunuh Arya Penangsang. Atas keberhasilan ini, Sultan Hadiwijaya kemudian menghadiahkan hutan mentaok (sekarang Kotagede Yogyakarta) kepada Pamanahan.

Baca Juga : Bathoro Katong, Putra Raja Majapahit yang Mendirikan Kabupaten Ponorogo

Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Pamanahan status Mataram Islam (perdikan Mentaok) hanyalah sebuah kadipaten di Kerajaan Pajang. Pamanahan wafat pada 1575 dan digantikan Sutawijaya. Sutawijaya yang tampil sebagai pemimpin baru justru melepaskan Perdikan Mentaok dari kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram Islam pada 1582. Sutawijaya mendeklarasikan diri sebagai raja dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, yang menunjukan raja berkuasa atas pemerintahhan dan keagamaan. Sedangkan gelar Senopati untuk sebutan panglima perang.

Di awal berdirinya, Kerajaan Mataram Islam adalah kerajaan agraris yang beribukota di Kotagede. Senopati benar-benar berhasil mendirikan kerajaan baru di Jawa. Dibawah kepemimpinannya, Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan berhasil menguasai Kerajaan Pajang yang tidak stabil akibat perang saudara.

Panembahan Senopati juga berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati, desa-desa tumbuh menjadi kota yang makmur dan ramai. Tidak butuh waktu lama, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa yang takluk dan bergabung dengan Mataram Islam. Kerajaan-kerajaan itu antara lain, antara lain Kedu, Bagelen, Pajang, dan Mangiran, kemudian sebagian wilayah bang Wetan yaitu Blora, Madiun, Pasuruan, Ponorogo serta sebagian wilayah Utara Jawa yaitu Jepara, Demak, dan Pati. Mataram Islam terus berkembang menjadi Negara yang besar.

Dari Kotagede kita bergeser ke Kabupaten Blitar, sebuah kabupaten agraris di Jawa Timur. Di Blitar kita akan travelling sejenak mengenang perjalanan Panembahan Senopati sebelum menjadi raja pertama Mataram Islam. Ya, di Blitar Panembahan Senopati memiliki sebuah petilasan di Desa Minggirsari, Kecamatan Kanigoro. Nama petilasan itu adalah Situs Watu Atos/Watu Gilang.

Sebagai informasi, Watu Atos/Watu Gilang di Desa Minggirsari baru saja ditetapkan LDA Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai situs cagar budaya. Penetapan ini dilakukan   setelah dilakukan kajian oleh LDA, Watu Gilang/Watu Atos dipastikan memiliki keterkaitan dengan sejarah Kesultanan Mataram dan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

“Lembaga Dewan Adat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat hanerangaken bilih patilasanipun Panembahan Senopati Mataram Watu Atos/Gilang  sarta patilasanipun Mbah Onggo wonten ing dusun Minggirsari , kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar taksih hanggadahi sesambetan kaliyan Karaton Surakarta Hadiningrat minangka kalanjenganipun saking Karaton Mataram,”  jelas Ketua LDA Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Koes Murtiyah Wandansari dikutip dari Surat Keterangan Pengagengan LDA untuk Situs Watu Gilang/Watu Atos.

 LDA Keraton Surakarta menegaskan Situs Watu Gilang/Watu Atos di Desa Minggirsari menyimpan sejarah yang luar biasa. Situs ini memiliki kisah yang memiliki kaitan erat dengan Panembahan Senopati dan sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Sejarah situs ini berawal dari kisah Sunan Giri Prapen yang meramalkan akan muncul kerajaan di Jawa yang lebih besar dari Kesultanan Pajang. Ki Gede Mataram (Ki Ageng Pamanahan) selaku santri dari Sunan Kalijaga melaporkan ramalan tersebut kepada gurunya.

Sunan Kalijaga kemudian menyuruh Ki Gede Mataram untuk bertapa brata menggapai wahyu di Kembang Semampir.  Hasil pertapaan Ki Gede Mataram itu menuju ke Danang Sutawijaya, muncul sasmita gambaran bahwa anak muda inilah yang kelak akan menjadi raja besar di tanah Jawa dengan mendirikan Negara baru. Danang Sutawijaya adalah nama  Panembahan Senopati sebelum menjadi Raja Mataram. Peristiwa ini mungkin terjadi sebelum 1584. Tahun 1584 adalah tahun meninggalnya Ki Gede Mataram dan dua tahun kemudian, Senopati bertahta sebagai raja pertama Mataram Islam.

Danang Sutawijaya kemudian menjemput takdir dengan melakukan perjalanan ke Jawa Timur untuk sowan kepada Sunan Giri Prapen di Giri Kedaton. Setelah bertemu empat mata, Sunan Giri Prapen kemudian memberikan laku kepada Danang Sutawijaya untuk napak tilas leluhurnya. Napak tilas itu dilakukan Danang Sutawijaya dalam perjalanan pulang dari Surabaya. Ia mengunjungi petilasan-petilasan leluhurnya dengan menyusuri Kali Brantas. Salah satu petilasan leluhur itu adalah Watu Atos di Desa Minggirsari, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Watu Atos, batu besar berbentuk seperti bola itu dulunya merupakan petilasan Eyang Agung Kanigoro.

Danang Sutawijaya kemudian naik ke atas batu dan memulai meditasi dengan khusyuk. Ia menyerap semua energi leluhur yang ditinggalkan di atas batu tersebut. Ia bertapa selama berbulan-bulan dan mendapatkan kepuasan berupa pencerahan baru dari leluhur yang telah meninggalkan jejak spiritualnya di batu hitam bundar tersebut.

Baca Juga : Kayutangan Heritage Juara 5 Desa Wisata 2023, Wali Kota Malang Bakal Beri Apresiasi

Di kemudian hari, ramalan Sunan Giri Prapen benar-benar menjadi kenyataan. Danang Sutawijaya akhirnya menjadi raja dan mendirikan negara baru Kesultanan Mataram dengan ibukotanya di Kotagede. Ia menjadi raja dengan gelar Panembahan Senopati (berkuasa 1586-1601).

Puncak dari kejayaan negara baru ini adalah ketika masa kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (berkuasa 1613-1645). Sultan Agung, cucu Senopati itu berhasil membawa Mataram berjaya dengan menguasai hampir seluruh wilayah Jawa. Sultan Agung juga menjadi raja Mataram yang berjuang melawan kolonialisme Belanda.

Mataram Islam lahir hampir bersamaan dengan datangnya Belanda di Nusantara. Dalam perkembangannya, banyak tokoh-tokoh pejuang yang muncul dari trah Dinasti Mataram Islam. Setelah Sultan Agung, nama besar dari Dinasti Mataram yang hingga kini terus dikenang perjuangannya melawan Belanda adalah Pangeran Diponegoro. Dari Keraton Surakarta ada Susuhunan Pakubuwono VI  (raja yang berjuang bersama Diponegoro) dan Pakubuwono X.Serta Pangeran Sambernyawa/KGPAA Mangkunegara I dari Kadipaten Mangkunegaran.

Blitar nampaknya menjadi salah satu daerah di Jawa Timur yang jadi perhatian Panembahan Senopati. setelah mengangkat dirinya menjadi Raja pertama Kesultanan Mataram dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, Panembahan Senopati juga memberikan gelar-gelar kebangsawanan dan kenaikan pangkat untuk anggota keluarga, saudara, putra-putranya dan patihnya. Beberapa pengangkatan itu diantaranya memakai gelar Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Balitar. Pangeran Balitar yang pertama adalah Raden Mas Bagus, putra Panembahan Senopati dengan permaisuri Retno Dumilah dari Madiun. Keturunan dari Raden Mas Bagus inilah yang kemudian mewarisi gelar bangsawan Pangeran Balitar, Pangeran Blitar dan Ratu Mas Blitar secara turun temurun.

Lalu apa yang mendorong Senopati menjadikan nama Blitar sebagai gelar kebangsawanan? Apakah pemakaian gelar ini ada kaitan perjalanan Senopati yang pernah bertapa di Situs Watu Atos/Watu Gilang di Desa Minggirsari? Jawabannya tentu saja sangat mungkin. Karena dengan bertapa di tempat ini Senopati mengetahui sejarah panjang leluhurnya di Blitar dan kemudian mengenangnya dengan menjadikan gelar kebangsawanan turun temurun. Dan sekitar 7 kilometer arah situs ini, terdapat tempat bersejarah yang jadi tempat pendarmaan raja pertama Majapahit Raden Wijaya yaitu Candi Simping. Raja-raja Mataram Islam dan keturunannya menganggap Majapahit adalah leluhurnya. Ada kemungkinan dalam perjalanan ini Senopati juga sempat singgah di Makam Raden Wijaya.

 Namun tentunya untuk selanjutnya kita harus melakukan kajian lain sebagai pembanding. Perlu diingat Sejarawan H.J De Graaf pernah menyampaikan, pemakaian gelar Blitar  serta Puger dan Singasari mungkin karena Senopati ingin membuat tiruan Kerajaan Mataram Islam di Jawa Timur.Mataram Islam sebenarnya adalah daerah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa. Mataram diapit oleh  Bagelen serta Pajang. Pola ini sama dengan Kerajaan Singasari di  Jawa Timur yang diapit oleh Blitar dan Puger. Jadi dengan pengangkatan Pangeran Singasari, Pangeran Balitar dan Pangeran Puger, Raja pertama Mataram Panembahan Senopati mungkin bermaksud menyatakan haknya atas suatu daerah yang serupa dengan apa yang sudah dimilikinya di Jawa Tengah. Dengan demikian, pengangkatan seperti itu dapat dianggap sebagai semacam program pemerintahan dan mungkin juga sebagai suatu pernyataan perang. Karena bukan rahasia lagi, sejak dinobatkan sebagai raja Mataram, Senopati sangat berambisi menguasai Jawa Timur.

Menariknya, meskipun memakai gelar Pangeran Balitar, belum ditemukan catatan tentang keturunan Pangeran Balitar I yang menjadi bupati di Blitar. Artinya memakai gelar Blitar, Singasari ataupun Puger tidak harus jadi bupati di daerah itu. Seperti halnya Pangeran Balitar I, tercatat ia menjabat bupati Madiun selama 13 tahun mulai 1601 sampai dengan 1613.  Jabatan ini membuat ia mendapat gelar baru, yaitu Pangeran Adipati Juminah Petak/Adipati Mangkunegara I. Kemungkinan ia menjabat bupati Madiun dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kenaikan takhta saudaranya dari lain ibu, yaitu Raden Mas Jolang sebagai raja kedua Mataram dengan gelar Panembahan Hanyakrawati.

Panembahan Hanyakrawati memiliki putra bernama Raden Mas Rangsang yang kelak menjadi raja ketiga Mataram dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusumo. Juminah memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Sultan Agung. Keakraban hubungan paman dan keponakan ini dibuktikan dengan beberapa tahun setelah ayahnya wafat, Sultan Agung menikahkan ibunya yang menjanda, Ratu Mas Hadi dengan Pangeran Adipati Juminah. Dengan pernikahan ini, gelar Juminah naik lagi menjadi panembahan. Nama itulah yang kita kenal sekarang sebagai Panembahan Juminah, putra Senopati yang dimakamkan di Giriloyo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Panembahan Senopati situs watu atos mataram blitar sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni