JATIMTIMES - Pernah memiliki tetangga, satu keluarga di Tulungagung ini puluhan tahun mandiri dan tinggal ditengah sawah jauh dari tetangga. Adalah keluarga Sudarmadi (55) Sulastriningsih (55) yang tercatat sebagai warga RT 02, RW 3, Kelurahan Kepatihan.
Mereka adalah generasi ketiga setelah orang tua dan kakeknya bermukim di area persawahan ini sejak sekitar tahun 1942 atau sebelum kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga : Mahasiswa UB Meninggal di Gunung Arjuna, Keluarga Tolak Visum
Anak semata wayang pasutri ini, Bagus Dwi Permana (29) yang menemui kedatangan wartawan Jatimtimes menceritakan kehidupannya, menjadi keluarga tanpa tetangga ini.
"Dulu ada orang Kediri, namanya Pak Suyitno pernah investasi membeli sawah hingga 5 hektare dan dikelola oleh adiknya bernama pak Suhari," kata Bagus, Selasa (22/8/2023).
Saat itu, Suhari yang punya istri dari Jawa Barat tinggal dan membangun rumah didepan bangunan yang ia tinggali bersama orang tuanya.
"Beliau tinggal disini untuk menggarap lahan, bersama istri namun tidak dikaruniai momongan," ujarnya.
Masih melekat dalam ingatan Bagus, Suhari yang pekerja keras merupakan pribadi yang baik dan ramah terhadap tetangga satu-satunya.
"Seperti saudara, hingga suatu ketika pamit ke Jawa Barat kedua orang tua saya mengantar ke sana sepekan lamanya," imbuhnya.
Kejadian ini tepatnya pada tahun 2011 lalu, kini Suhari telah pergi atau meninggal dunia, setahun lalu.
"Sebelum meninggal, beliau masih sering menghubungi keluarga kami. Namun, setahun lalu (2022), beliau sakit dan kabarnya meninggal dunia," ucapnya sembari mimik bersedih.
Semasa hidup tanpa tetangga, tangan Suhari pernah terkena bacokan sabitnya sendiri. Saat inilah, kesedihan hidup di tempat terpencil begitu terasa.
"Saat tangannya terluka parah, kita berusaha minta pertolongan. Namun, tak kunjung datang dan akhirnya kita antar berboncengan tiga ke rumah sakit dengan sepeda motor," ungkapnya.
Rumah keluarga Sudarmadi ini dulunya merupakan gubug tempat kakeknya bernama almarhum Mbah Asir dan diteruskan almarhum Mbah Saderi yang meninggal pada tahun 2006.
Kemudian, dari Almarhum Mbah Saderi ini lahir Sulastriningsih atau ibunda dari Bagus.
Bagus sendiri merasakan keadaan yang tidak lazim dialami oleh anak-anak lain seusianya.
Misalnya, ia harus bersekolah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Dasar ke Kelurahan Kepatihan dengan jarak sekitar 4 kilometer.
"Sejak selepas kelas 3 SD, saya berangkat dan pulang sekolah sendiri," ujarnya.
Sedangkan dari rumah ia tinggal dengan Kelurahan Kepatihan jauhnya juga sekitar 4 kilometer. Bahkan, untuk tetangga terdekatnya jarak yang harus ditempuh sejauh sekitar 1 kilometer.
"Listrik kami ini jaraknya sekitar 950 meter, spedometer jauh di perumahan masuk Desa Ringinpitu (Kecamatan Kedungwaru)," terangnya.
Kembali Bagus menceritakan apa yang ia ketahui dari orang tuanya. Salah satunya, Almarhum Mbah Saderi kakeknya punya alasan tinggal di rumah yang terpencil di tengah persawahan ini.
"Dulu kakek tinggal disini karena jadi semacam relawan pembagi air dari irigasi, tidak pulang kerumah karena lebih dekat di mbaran (rumah singgah)," bebernya.
Rupanya, kehidupan ini berlanjut ke anak cucunya yang secara turun temurun meninggali rumah ini.
"Jalannya ya jalan orang ke sawah, di barat dulu hanya jalan sungai lalu ada jalan tembus ke jalan utama yang sekarang mulai ada warung karena ada pasar hewan," jelasnya.
Jika musim hujan tiba, sampai sekarang rumah tinggal Bagus dan keluarganya ini selalu banjir dan kesulitan untuk keluar rumah. Air saat hujan ini disebut Bagus selalu nyaris selutut tingginya.
Di rumah keluarga Sudarmadi ini, jika ke arah timur atau kiri rumahnya mulai ada pemukiman berjarak sekitar 1,5 kilometer. Kemudian untuk arah barat atau kanan sekitar 1 kilometer dan arah utara (belakang) berjarak sekitar 1 kilometer, serta ke depan saat ini baru ada satu rumah berjarak lebih dari 500 meter.
"Rumah yang depan itu baru dihuni, tapi masih jauh jaraknya karena kalau disini tidak bisa untuk usaha warung," tambahnya.
Sejak pasar hewan terpadu selesai dibangun, akses jalan yang ada di selatan rumah Bagus ini dikeraskan dengan cor. Sejak itu pula, Sudarmadi dan istrinya mendirikan warung makan dan kopi sebagai usaha sampingan selain sebagai tukang bangunan.
Sedangkan Bagus sendiri pernah usaha di bengkel, namun saat ini ia masih resign dan memilih membantu orang tuanya.
"Kami disini hanya bertiga, jika ayah pergi ibu selalu ikut karena takut jika ditinggal sendiri. Sekali saya ditinggal seminggu lamanya saat orang tua ke Jawa Barat mengantar kepulangan tetangga saya itu," lanjut Bagus.
Terkait keamanan, Bagus menceritakan pernah kehilangan ayam yang ada di rumahnya. Namun, kejadian ini telah lama berlalu dan saat ini disebutnya sudah aman.
"Dulu saat saya kecil katanya pernah ada yang tinggal di belakang sana, namanya Mbah Ikuk. Namun juga sudah meninggal," imbuhnya.
Untuk perangkat dari Kelurahan Kepatihan, Bagus mengatakan hingga saat ini jarang sekali datang ke rumahnya. Jika datang, menurutnya hanya ada keperluan meminta pajak tempat tinggalnya tiap tahun.
Meski hanya satu rumah, Bagus berharap agar akses jalan menuju rumahnya hendaknya bisa dipaving seperti jalan lain pada umumnya.
Bagus dan kedua orangtuanya sudah terlatih dengan keheningan dan kesunyian puluhan tahun lamanya. Jikalau siang, rumah dan pekarangannya sudah terbiasa jadi tempat parkir orang-orang yang menggarap lahan persawahan di sekitarnya.
Meski sangat sepi, keluarga ini sudah biasa pulang dan pergi tengah malam melintasi jalan makadam yang gelap gulita. Namun, ia tidak membantah suara yang berasal dari warung-warung sekitar pasar hewan cukup mengusik keheningan yang mereka rasakan selama ini.
"Karena tutupnya warung itu menjelang subuh, suara musiknya keras. Jadi kalau malam terdengar dari rumah saya ini," tandasnya.
Untuk bantuan, belum lama ini atau di masa pemerintahan Jokowi keluarga terpencil ini memperoleh bansos sebagaimana keluarga lain yang berhak mendapatkan.