JATIMTIMES - Dapat dikatakan pasar malam merupakan proses transaksi dagang yang dilaksanakan pada malam hari, layaknya pasar tradisional yang beroperasi di siang hari. Segala hal yang diperjualbelikan pun sama seperti pasar tradisional, yang membedakan hanyalah waktunya saja, yakni malam hari.
Pasar Malam ini adalah sebuah arena mirip pasar tradisional namun identik dengan festival atau fair, di mana permainan karnaval dan wahana permainan anak-anak, seperti komidi putar, bianglala dan kereta api mini juga tersedia.
Baca Juga : Soal Pasar Blimbing dan Gadang, Pansus Pasar DPRD Kota Malang Beri Deadline September
Beberapa camilan juga dijual seperti es krim, roti bakar, burger, dan gulali. Pasar malam biasanya digelar satu sampai beberapa hari dalam sepekan. Pasar ini juga identik dengan tawar-menawar harga antara penjual dan pembeli.
Sekarang, pasar malam sudah menjadi arena yang menguntungkan secara ekonomi. Banyak yang memanfaatkan pasar malam untuk ajang mengumpulkan rupiah dengan cara menjual makanan dan minuman, pernak-pernik, hingga jasa parkir kendaraan.
Lantas, bagaimanakah sejarah kemunculan pasar malam di Indonesia?
Dilansir dari akun Tiktok @goodnewsfromindonesia pada Rabu, (23/8/202 di Indonesia, pasar malam telah memiliki keterikatan kuat dengan masyarakat. Pasalnya riwayat pasar malam memang bisa ditelusuri sebelum masa kemerdekaan. Terutama sudah ada sejak abad ke 20.
Pasar malam muncul akibat efek dari hadirnya listrik di Nusantara, tepatnya sejak akhir abad ke-19. Awalnya, listrik baru dipakai untuk kebutuhan operasional pabrik gula dan pabrik teh. Tapi, lambat laun, pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan listrik untuk kebutuhan umum melalui perusahaan swasta bernama N V. Nign.
Setelah itu, s’Lands Waterkracht Bedriven (LWB) dibentuk sebagai perusahaan listrik yang dikelola langsung pemerintah pada 1927. Listrik pun semakin mudah dijangkau masyarakat, khususnya di kawasan perkotaan.
Pusat kota yang sudah dilengkapi dengan penerangan menarik perhatian banyak orang di malam hari. Karena banyak orang yang berkumpul, sejumlah orang pun memanfaatkan hal tersebut untuk berjualan.
Namun lambat laun, dengan banyaknya orang berjualan di malam hari itu, menimbulkan dampak liberalisasi ekonomi Indonesia menjadi begitu luas. Salah satu bukti nyatanya ialah pesatnya pertumbuhan industri perkebunan. Tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga Pulau Sumatera, khususnya di Sumatera Timur. Bahkan sejak akhir abad ke-19 Sumatera Timur menjadi pusat industri perkebunan modern.
Perusahaan perkebunan (onderneming) yang ada di Sumatera Timur pada saat itu bukan hanya dimiliki oleh Belanda saja, melainkan banyak pengusaha asing lainnya seperti Jerman, Polandia, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Pertumbuhan industri juga meningkatkan kebutuhan terhadap tenaga kerja. Para tenaga kerja ini sengaja direkrut dan dipekerjakan di perkebunan, dari sinilah muncul istilah 'kuli'.
Tidak hanya dari Hindia-Belanda, para kuli juga didatangkan dari luar negeri. Khusus di Sumatera Timur, para kuli banyak didatangkan dari Pulau Jawa, Tiongkok, dan India.
Sebelum mereka mulai bekerja, kuli-kuli terlebih dahulu diikat dengan perjanjian kerja atau yang lebih dikenal dengan kontrak. Kontrak ini biasanya disetujui selama satu tahun dan gaji diberikan di awal sebelum mulai kerja.
Baca Juga : Jalan di Tempat, DPRD Kota Malang Minta Ketegasan Diskopindag Soal Pasar Besar
Akan tetapi, banyak kuli yang bekerja hingga mati akibat beban kerja yang berat atau karena dihukum akibat melakukan pelanggaran. Dengan kondisi seperti itu, banyak para kuli yang pada akhirnya menderita sakit dan bahkan sampai meninggal dunia. Tidak heran mereka lebih memilih melarikan diri karena tidak tahan menanggung beban kerja dan aturan perusahaan perkebunan yang sangat tidak manusiawi.
Namun, setelah melihat banyak kuli perkebunan yang satu persatu mulai melarikan diri, perusahaan perkebunan pun akhirnya menyadari bahwa kehadiran tenaga kerja itu juga penting. Demi menjamin para kuli tetap merasa nyaman dan betah bekerja di perkebunan, maka perusahaan membuat kebijakan strategis. Salah satunya, pasar malam.
Pasar malam dibuat sebagai sarana hiburan bagi para kuli untuk melepas penat mereka. Biasanya pasar malam digelar saat para kuli sudah menerima gaji. Pengelola pasar malam menawarkan berbagai sarana hiburan bagi para kuli, perjudian, minuman keras, seni pertunjukan, menjual pakaian, dan barang berharga.
Sayangnya, kehadiran pasar malam ini secara langsung menyedot penghasilan para kuli. Sebagian besar dari mereka menghabiskan hasil kerjanya di pasar malam.
Bukan hanya datang untuk membeli kebutuhan hidupnya, para kuli juga melampiaskan kepenatan yang mereka derita setelah bekerja dengan membeli beraneka macam jajanan, bermain judi, membeli minuman keras, atau sekedar jalan-jalan. Hal ini mereka lakukan sebagai bentuk pelampiasan menikmati kesenangan dunia setelah satu bulan bekerja.
Pasar malam dengan segala sarana dan kelengkapannya menjadi senjata ampuh bagi perusahaan perkebunan untuk memikat para kuli yang haus akan hiburan. Keadaan seperti inilah yang membuat para kuli tidak sayang menghabiskan seluruh penghasilan mereka, meski pada akhirnya harus terjerat hutang.
Akan tetapi tidak semua kuli perkebunan berpikiran yang sama seperti itu. Sebab ada juga dari mereka yang justru memanfaatkan sebagian gajinya untuk ditabung demi menutupi keperluan yang lebih besar di kemudian hari. Sikap seperti itu yang dilakukan oleh para kuli Tionghoa pada saat itu.
Saat ini, pasar malam menjelma sebagai sebuah kekutan ekonomi, terutama bagi rakyat kecil. Tidak heran jika pasar malam tetap eksis dan selalu memikat hati masyarakat Indonesia.
Omong-omong, pasar malam yang kali pertama digelar di Nusantara berada di Pasar Gambir. Lokasinya ada di Koningsplein atau yang kini lebih dikenal sebagai Lapangan Monas. Sejak 1906, pasar malam ini digelar sebagai perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Setelah itu, pasar malam juga muncul di daerah-daerah lain seperti di depan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Biasanya, pasar malam tersebut digelar saat perayaan Maulid Nabi Muhammad dan dikenal dengan sebutan Sekaten.