JATIMTIMES- Berakhirnya Perang Diponegoro menjadi episode baru bagi perjalanan Blitar, salah satu daerah kekuasaan Keraton Kasunanan Suakarta di Jawa Timur. Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih Blitar sebagai bagian dari wilayahnya. Seorang putra dari Surakarta bernama Ronggo Hadi Negoro, ditunjuk pemerintah kolonial sebagai bupati pertama untuk Kabupaten Blitar.
Ya, jika mendengar nama Ronggo Hadi Negoro, orang Blitar masa kini cenderung lebih mengetahui nama itu adalah nama pendapa milik Pemerintah Kabupaten Blitar. Pendapa Ronggo Hadi Negoro, selain sebagi tempat untuk menjamu tamu dan kegiatan bupati, juga difungsikan sebagai rumah dinas Bupati Blitar.
Baca Juga : Meriahkan Bulan Suro, Kampung Budaya Polowijen Gelar Festival Topeng Malang 2023
Jika melihat sejarah, nama pendapa itu sejatinya diambilkan dari nama tokoh yang kemudian menciptakan tatanan fondasi untuk pemerintahan Kabupaten Blitar yang bisa kita saksikan hari ini. Dia adalah Raden Tumenggung Adipati Ronggo Hadi Negoro.
Berdasarkan catatan sejarah, Kabupaten Blitar baru terbentuk pada tahun 1830 pasca Perang Diponegoro. Pada waktu itu Hindia Belanda sedang melakukan penataan dengan adanya residen baru. Belanda kemudian menggabungkan dua kabupaten yakni Kabupaten Sarengat dan Kabupaten Hantang menjadi satu kabupaten yakni Kabupaten Blitar. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menunjuk seorang dari Surakarta bernama Ronggo Hadi Negoro untuk memimpin Kabupaten Blitar.
Dikutip dari buku Wong Blitar karya Herry Setyabudi, sebelum 1830, Blitar sebenarnya sudah memiliki struktur pemerintahan, namun bentuknya masih tradisional dan pemimpin daerahnya hanya bergelar Panji. Tradisi kebangsawanan daerah di Blitar pada masa itu juga sangat lemah, hingga Belanda leluasa membentuk kelompok elite pribumi baru yang sesuai dengan seleranya.
Bupati muda (onder-regent) Blitar pertama bernama Mas Bei Partowijoyo, hanyalah anak seorang bekel di Surakarta. Di masa-masa ini, Blitar adalah daerah yang terisolasi dan terbelakang dalam perkembangan kolonisasi wilayah pedalaman Jawa.
Mendobrak tradisi, Ronggo Hadi Negoro pantas disebut sebagai pioner dan jadi orang paling berpengaruh di Kabupaten Bitar pada akhir abad ke-18. Sebagai bupati, Ronggo Hadi Negoro sanggup menjembatani dua kepentingan yakni, kebutuhan finansial kerabat Keraton Surakarta sekaligus kepentingan kaum pemodal dari Eropa.
Hadi Negoro tampil sebagai bupati yang cemerlang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Ia banyak dipuja puji karena mampu menjadi pelaksana lapangan bagi kepentingan Susuhanan Pakubuwono Surakarta soal keuangan melalui praktik sewa menyewa tanah-tanah kepada perkebunan Belanda.
Meskipun dilebur gabungan Kabupaten Sarengat dan Kabupaten Hantang pada 1830, Kabupaten Blitar sebagai bagian dari Gubernemen Hindia Belanda dipastikan benar-benar baru terbentuk pada 1863. Di tahun ini pula, karir Raden Tumenggung Adipati Ronggo Hadi Negoro sebagai pemimpin Ronggoschap atau onder regent Blitar yang secara otomatis dikukuhkan sebagai Regent Blitar pun kian meroket.
“Peran sang bupati tidak hanya diperhitungkan sebagai bupati pilihan Pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi perannya juga cukup besar dan menonjol saat diberlakukannya sistem tanam paksa atau cultuurstelsel sampai sistem liberalisasi sektor perkebunan,” jelas Herry Setyabudi dalam buku Wong Blitar.
Lalu siapakan Ronggo Hadi Negoro? Tokoh yang dikenal sebagai bupati pertama Kabupaten Blitar. Ya, Ronggo Hadi Negoro adalah sosok yang disebut-sebut masih memiliki kekerabatan dengan penguasa Keraton Kasunanan Surakarta. Sebelum menjadi bupati, Ronggo Hadi Negoro juga dianggap sebagai pendiri komunitas Blitar, jauh sebelum terbentuk wilayah Kabupaten Blitar selepas bencana hebat Gunung Kelud 16 Mei 1848 yang telah meluluhtantakan Blitar.
Pendapat lain tentang Ronggo Hadi Negoro disampaikan Kees Groeneboer yang menyatakan bahwa Hadi Negoro berasal dari keluarga Arab atau Bengali. Awalnya Hadi Negoro hanyalah seorang pembantu rumahan atau jongos di istana gubernur Raffles. Kees juga menyebut Hadi Negoro adalah anak haram dari Raja Surakarta yang dilahirkan oleh seorang perempuan jalang dalam perjalanan. Di masa mudanya itulah, Hadi Negoro menjadi pelayan bagi Raffles.
Baca Juga : Hari Jadi Ke-699 Blitar, Bupati Mak Rini Serahkan e-KTP bagi Penghuni Panti Jompo
Setelah menjadi pelayan Raffles, Hadi Negoro melanjutkan hidupnya dengan meniti karir di pemerintahan. Karir pertamanya dimulai di Kediri sebagai pegawai pemerintah di bawah pengawasan khusus seorang residen Belanda. Karirnya di pemerintahan terus menanjak hingga menjabat Bupati Blitar. Ia juga disebut-sebut sebagai salah satu bupati paling kaya di pulau Jawa.
Menurut Herry Setyabudi dalam bukunya yang berjudul Wong Blitar, sisi lain kehidupan Ronggo Hadi Negoro banyak yang belum terkuak karena minimnya sumber data dan catatan. Sumber- sumber yang ada sedikit banyak menjelaskan bahwa Hadi Negoro merupakan sosok pribumi Jawa yang mengawali hidupnya dari ketiadaan menjadi berada, form zero to hero.
Data tahun 1861 dalam buku Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap menyebut Ronggo Hadi Negoro sebagai pemimpin daerah yang sanggup menciptakan iklim perdamaian antara umat Islam dan Kristen di desa Maron Districk Srengat Regentschap Blitar.
Di Maron pada waktu itu memang terdapat suatu komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) sebagai Jemaat induk dan empat pepanthan yang berada di luar Desa Maron. Warga jemaat induk dibagi lagi menjadi empat kelompok, yaitu kelompok Mateus, Markus, Lukas, dan Yohanes.
Jumlah seluruh warga gereja yang berada di jemaat induk dan pepanthan-pepanthan berjumlah 732 jiwa. Gereja yang yang terletak di Barat Daya berdiri sekitar tahun 1850-an, dirintis oleh seorang penginjil pribumi bernama Kyai Matheus, merupakan salah satu jemaat Kristen yang paling tua di wilayah bekas Karisidenan Kediri.
Semenjak awal Jemaat Kristen GKJW Maron tinggal di tengah-tengah lingkungan pedesaan bersama penduduk yang beragama Islam. Menurut cerita sejarah berdirinya Desa Maron, jemaat Kristen