JATIMTIMES - Sejak siang hari, para ibu rumah tangga di Desa Bendilwungu, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, terlihat sibuk. Tidak seperti biasa, nyaris di semua toko sembako dipadati kaum hawa yang berbelanja dengan kebutuhan sama.
Barang yang dicari ini seragam dan seperti telah dikomando untuk berlomba-lomba mencari kebutuhan berupa srondeng, bahan sambal goreng, kacang tanah, telur dan janur.
Baca Juga : Tahun Baru Islam 1445H: Refleksi Hijrah dan Kemanusiaan
"Bahan ini kita beli untuk lauk nasi buat selamatan takir plonthang," kata Zuan (44) seroang ibu rumah tangga, Selasa (18/7/2023) siang.
Masih menurut Zuan, berburu bahan kebutuhan berkat untuk kenduri merupakan tradisi turun temurun yang hingga saat ini masih bertahan.
Dari bahan ini, berkat yang diletakkan di takir Plonthang berisi nasi, lauk berupa srondeng, kacang goreng, sambal goreng dan telur yang didadar dan irisan jeroan atau daging ayam yang di suwir.
"Tiap rumah membawa berkat sesuai dengan jumlahnya. Misalnya, kalau rumah saya ada empat maka paling sedikit ya empat takir atau boleh lebih sekalian di niati sedekah," ujarnya.
Di lokasi lain, kaum pria di RW 1, 2 dan 3 juga sibuk menyiapkan tempat sejak siang hari. Tempat kenduri suroan dilakukan di tengah jalan dan ditiap perempatan di Desa ini.
"Tiap tahun kendurian malam 1 Muharam atau malam Suro dilakukan dijalan, utamanya diperempatan," kata Adi, salah seorang warga.
Lepas Maghrib, warga berbondong-bondong menuju tempat yang disiapkan dengan membawa alas masing-masing. Dengan tertip, ratusan warga dari semua penjuru ini duduk dan menunggu ritual suroan dimulai.
"Ini salah satu budaya, kemudian dipadukan dengan keyakinan masyarakat sini. Selain di kajatne (dibacakan hajat versi adat Jawa), juga dibacakan tahlil dan doa-doa ritual keagamaan," imbuhnya.
Selain ratusan takir plonthang yang dikumpulkan ditengah perempatan, ada ambengan besar yang kemudian dibacakan item per item oleh tokoh adat, Munaji (60).
Beberapa makna disampaikan dalam bahasa Jawa khas ngajatne, diantaranya Mbah Munaji mengucapkan tentang Sego Golong.
Sego golong yang dibuat dari nasi putih dan dibentuk genggaman ini mempunyai makna Jawa nggolongke karep atau tujuan bulat uanh telah diniati dan disepakati.
Kemudian ingkung, atau ayam jago yang dipanggang dan di masak ini punya filosofi kekuatan dalam menuju kebaikan.
"Jenang sengkolo, mugio nebihaken saking sedoyo kolo," ucap Mbah Mun.
Simbolisasi jenang sengkolo yang terbuat dari beras dan gula merah serta diberikan nasi putih ditengahnya punya makna sebagai merah putih (warna bendera Indonesia) dan dimaksudkan agar dijauhkan dari segala mara bahaya.
Kemudian juga ada urap-urap yang terdiri dari sayur seperti kangkung, lembayung, kacang panjang, kecambah dan kelapa muda yang diparut dan dibumbui.
Baca Juga : Singgung Soal Rumput, Mas Dhito Pastikan Pembangunan Stadion Berstandar FiFA
Makna dari makanan yang turut dikajatne ini adalah manusia atau masyarakat terdiri dari berbagai keragaman. Namun, meski beraneka ragam, punya tugas yang sama untuk mengabdi pada Allah atau Tuhan yang maha esa.
Makanan dalam kenduri ini juga tak ketinggalan sambel goreng dan ini dimaknai sebagai adanya orang yang paham tentang ilmu dan derajatnya ditinggikan oleh sang pencipta.
Untuk melengkapi kendurian ini, tak ketinggalan disediakan buah seperti pisang dan ada kembang tiga warna atau kembang telon yang dihiaskan pada buceng.
Setelah ngajatne atau menyampaikan niat versi Jawa selesai disampaikan Mbah Munaji, kemudian langsung dibacakan ritual keagamaan dengan membaca tahlil yang dipimpin oleh Komarudin (50), tokoh agama setempat.
Ratusan warga yang mayoritas muslim ini dengan penuh khidmat, mengikuti bacaan mulai dari hidiyah surat fatihah, tahlil hingga doa penutup.
Selepas rangkaian acara selesai, berkat yang telah diberikan doa ini dibagi dengan sukaria dan tertib tanpa rebutan.
Sebagian warga menyantap makanan berkat takir Plonthang ini dilokasi Kenduri, sebagian yang lain dibawa pulang kerumah masing-masing.
Rangkaian kegiatan ini, dilanjutkan dengan tirakatan atau melekan hingga pagi hari di tanggal 1 suro.
Selama melekan, ada warga yang menikmati hiburan yang telah disiapkan dan ada yang memilih bergerombol untuk saling beramah tamah menjalin silaturahmi antar warga.
"Kita syukuri, tahun ini kita bisa bertemu dan dalam keadaan sehat. Semoga tahun depan kita masih bisa bersama-sama lagi berkumpul seperti ini," pungkas Rohman, warga yang terus mengabaikan momen suroan dengan ponselnya.
Penulis Anang Basori,
Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia (Unsia)