free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Pendidikan

LIRA Malang Raya Desak Bupati Malang Terbitkan Perbup Atur Komite Sekolah

Penulis : Tubagus Achmad - Editor : Yunan Helmy

08 - Jul - 2023, 16:59

Placeholder
Ketua Tim Advokasi LIRA Malang Raya Wiwid Tuhu Prasetyanto (tengah) saat memberikan keterangan usai mendalami dugaan pungutan yang terjadi di SMPN 3 Singosari, Jumat (23/6/2023). (Foto: Tubagus Achmad/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Malang Raya saat ini tengah fokus menangani dan mendalami aduan masyarakat perihal dugaan pungutan yang terjadi di SMPN 3 Singosari. 

Tim Advokasi LIRA Malang Raya juga telah melakukan konfirmasi serta permintaan klarifikasi kepada pihak SMPN 3 Singosari, baik dari kepala sekolah yang saat itu masih dijabat Muji Mangastuti serta Ketua Komite Heri Wibowo sebanyak dua kali. Yakni pada Jumat (23/6/2023) dan Selasa (27/6/2023). 

Baca Juga : Kota Malang Wujudkan Pendikan Setara untuk Anak Istimewa melalui Jarik Ma' Siti

Ketua Tim Advokasi LIRA Malang Raya Wiwid Tuhu Prasetyanto menjelaskan, pendidikan dasar merupakan tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah daerah kabupaten/kota. 

Terlebih lagi, pendidikan dasar merupakan komponen paling dasar dalam rangka penguatan kapasitas manusia, terutama pada aspek moral dan literasi dasar, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 tentang Pemerintah Daerah. 

Dalam aturan tersebut, disebutkan dengan tegas dan jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. 

Dengan tanggung jawab yang diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah, maka sudah menjadi sebuah kewajiban yang diimplementasikan dengan pemberian seluruh keperluan dasar sekolah. 

"Seharusnya menjadi sebuah kewajiban yang diaplikasikan dengan memberikan 'seluruh' keperluan dasar sekolah, penyediaan sarana dan prasarana, guru yang profesional, dan tanpa kebijakan yang sifatnya diskriminatif terhadap anak didik," ujar Wiwid, Sabtu (8/7/2023). 

Meskipun dalam undang-undang tersebut sudah cukup tegas dan jelas, namun pada praktik kehidupan sehari-hari, masih banyak ditemukan permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat terkait adanya pembebanan biaya kepada peserta didik atau wali murid dalam bentuk pungutan-pungutan yang tidak berdasarkan hukum atau bisa disebut sebagai pungutan liar. 

Wiwid mengatakan pungutan tersebut dikemas dengan eufimisme atau penghalusan kata-kata menjadi sumbangan. Namun bentuk sumbangan tersebut tidak sukarela. Pasalnya, ditentukan besaran jumlah dan batasan pelunasannya. 

Selain itu, banyak yang berdalih bahwa pungutan tersebut digunakan untuk membantu penyelenggara pendidikan atau lembaga sekolah dalam menyediakan sarana dan prasarana, serta pendidik atau guru yang profesional. 

"Yang notabene kesemua hal tersebut seharusnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, yang mana pemerintah untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud sudah dijamin dengan komitmen keberadaan 20 persen dari total anggaran adalah digunakan untuk kepentingan Pendidikan," jelas Wiwid. 

Pertemuan.

Menurut Wiwid, ironisnya eufimisme terhadap pungutan liar sering dilakukan dengan cara-cara yang mengakibatkan diskriminasi terhadap peserta didik atau dengan kata lain terdapat suatu cipta kondisi inferioritas atau rendah diri dengan menjadikan peserta didik atau wali muridnya tidak mampu untuk menolak atau melawan. 

"Sebab khawatir menjadi korban diskriminasi atau setidak-tidaknya takut dikucilkan dan atau mendapatkan perilaku perundungan atau bullying, yang pada akhirnya tentu akan mengganggu tumbuh kembang anak dalam menempuh pendidikan," terang Wiwid. 

Lebih lanjut, dalam catatan penting temuan lapang yang kerap kali ada di dalam permasalahan pembebanan biaya tambahan atau pungutan liar kepada peserta didik atau wali murid, di antaranya: 

1.    Permintaan dibuat oleh komite sekolah, sehingga seolah-olah sekolah secara kelembagaan seperti tidak mengetahui adanya permintaan sebagaimana dimaksud.

2. Permintaan pembayaran seolah-olah dibuat berdasarkan kesepakatan yang mengikat, meskipun terdapat suatu cipta kondisi untuk menekan peserta didik atau wali muridnya untuk hanya harus setuju.

3. Permintaan pembayaran seoalah-olah dibuat secara sukarela, tetapi besaran nilai pembayaran dan jangka waktu pembayaran ditentukan.

4. Tidak terdapat transparansi perencanaan dan penggunaan anggaran yang diambil melalui nomenklatur sumbangan, dengan tidak adanya persebaran dokumen tertulis untuk bisa dijadikan bukti.

Baca Juga : 207 Atlet Bersaing di Kejuaraan Gulat Tingkat Provinsi di Kota Batu, 12 Altet Terbaik Diturunkan

5. Mendudukkan peserta didik atau wali muridnya untuk harus berpartisipasi memberikan sumbangan, bilamana ingin memiliki prestasi, dengan pernyataan lembaga sekolah selalu saja kekurangan tenaga pendidik berkualitas, kekurangan sarana dan prasarana, tanpa menunjukkan pos-pos pengeluaran mana saja yang sudah dipenuhi oleh anggaran pendidikan 20 persen milik pemerintah.

6. Pembayaran pungutan dijadikan suatu persyaratan tertentu yang seolah-olah wajib, seperti misalnya syarat mengambil rapor atau ijazah, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, mengikuti lomba dan lain-lain.

7. Komite sekolah sering tidak memiliki komposisi sebagaimana ketentuan Pasal 4 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah, dengan dipimpin tidak sebagaimana amanat Pasal 6 ayat (4) Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 dan lalai untuk memenuhi ketentuan Pasal 13 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Sehingga menjadi gagal memberikan pertimbangan kepada sekolah, dan untuk mengawasi pelayanan sekolah serta menindak lanjuti keluhan atau saran atau aspirasi peserta didik atau wali murid, serta untuk berupaya kreatif dan inovatif, atau pada pokoknya gagal memenuhi ketentuan Pasal 3 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016.

Dalam kaidah hukum yang berkorelasi dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pada Pasal 34 ayat 1, 2 dan 3. Kemudian Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sunbangan Biaya Pendidikan poin pokoknya yakni pada Pasal 9 ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan Pendidikan".

Lalu Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 khususnya pada Pasal 197 dan Pasal 181 huruf a, c dan d perubahan pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Selanjutnya, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

Di mana pada Pasal 13 ayat 1 huruf b Undang-undang tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa "perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan". 

"Frasa memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak akan cukup relevan dengan perkara melakukan pemungutan kapada peserta didik untuk tujuan menguntungkan diri pribadi atau golongan secara ekonomi," ujar Wiwid. 

Selain itu, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 421 tentang Penyalahgunaan Jabatan, yakni seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Sementara itu, Wakil Ketua LIRA Malang Raya Moh. Ula mengatakan, dari berbagai pertimbangan hukum tersebut, maka LIRA Malang Raya membuat kesimpulan dan saran. Yakni demi menjamin tidak ada unsur kesengajaan mensiasati celah peraturan perundang-undangan untuk kepentingan tertentu yang bertentangan dengan hukum dan atau kealpaan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap ragam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya negara menjamin terselenggaranya pendidikan dasar yang kompeten, maka perlu ada sebuah regulasi.  

"Perlu terdapat suatu regulasi dan atau peraturan teknis di tingkat pemerintah daerah, yang pada pokoknya memuat setidak-tidaknya hal yang dapat mengantisipasi permasalahan berkaitan dengan temuan-temuan in case," ujar Ula. 

Terpisah, Gubernur LIRA Jawa Timur M Zuhdy Achmadi menegaskan, bahwa upaya komite sekolah dalam hal penggalangan dan  sering menimbulkan gejolak di kalangan wali murid. 

Pria yang akrab disapa Didik ini mengatakan, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan tentang regulasi, khususnya pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah. Apalagi di sana terdapat pasal-pasal karet yang membuat komite sekolah kerap bertindak di ruang abu-abu.

Hal ini tentunya diperlukan satu regulasi lagi yang spesifik untuk memperjelas pasal-pasal tersebut. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang harus mencari solusi agar tercapai program wajib belajar sembilan tahun. "Kami mendorong pemkab segera terbitkan perbup guna memperjelas pasal-pasal yang masih abu-abu," pungkas Didik. 


Topik

Pendidikan LIRA Malang Raya pungutan sekolah Kabupaten Malang Pemkab Malang



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Tubagus Achmad

Editor

Yunan Helmy