free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Panembahan Juminah, Bupati Madiun yang Wafat Saat Memimpin Pembangunan Makam Sultan Agung

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

02 - Jul - 2023, 17:04

Placeholder
Jalan tangga menuju makam Giriloyo, tempat jasad Panembahan Juminah dikebumikan.(Foto : Instagram @jejakberkendara)

JATIMTIMES - Dinasti Mataram Islam memiliki banyak situs bersejarah yang tersebar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu diantara peninggalan bersejarah yang hingga kini masih aktif digunakan adalah Makam Raja-Raja Mataram di Imorigi, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain diperuntukkan bagi keluarga kerajaan, Makam Imogiri juga jadi destinasi yang dapat dikunjungi wisatawan di hari-hari tertentu.

Makam Raja Mataram Imogiri atau Pajimatan Imogiri adalah kompleks makam bagi raja-raja Mataram Islam beserta keturunannya.Makam ini dibangun oleh Raja ketiga Kesultanan Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1632. Di kompleks makam yang luasnya mencapai 10 hektar ini dimakamkan raja-raja yang pernah bertahta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta beserta keluarganya.

Baca Juga : Hari Bhayangkara Ke-77, Polresta Malang Kota Terima Hibah Tanah untuk 3 Polsek dari Pemkot Malang

Sebelum pembangunan Makam Raja Imogiri, Kesultanan Mataram sebenarnya telah memiliki makam Kotagege sebagai tempat pemakaman raja dan keluarganya. Lokasi makam raja di Kotagede berada di sebelah selatan Masjid Gedhe Mataram. Di makam Kotagede ini dimakamkan Ki Ageng Pamanahan (pendiri perdikan Mentaok) Sultan Hadiwijaya/Joko Tingkir (Raja Kesultanan Pajang) dan raja-raja Mataram pendahulu Sultan Agung yakni Panembahan Senopati dan Panembahan Hanyakrawati.

Dilansir dari buku Puncak Kekuasaan Mataram karya H.J De Graaf, di masa pemerintahannya, Sultan Agung memerintahkan membuat makam  yang letaknya tinggi diatas bukit. Perintah pembangunan makam baru ini setelah Sultan Agung diangkat sebagai susuhunan pada tahun 1624. Sebelum Sultan Agung, dulu hanya para wali yang berhak atas gelar susuhunan dan ini (gelar susuhunan) pun diberikan setelah mereka wafat (anumerta).

Sultan Agung adalah raja Mataram pertama yang bergelar susuhunan. Dua raja Mataram sebelumnya hanya bergelar panembahan, yakni Panembahan Senopati (kakek Sultan Agung) dan Panembahan Hanyakrawati (ayah Sultan Agung).

Susuhunan atau Sunan adalah gelar yang merujuk pada penguasa monarki. Meskipun digunakan kaum bangsawan, penggunaan gelar juga ditujukan kepada orang yang dihormati. Gelar ini berasal dari bahasa Jawa Kuno susuhunan yang berakar dari kata suhun. Istilah "susuhunan" dapat diartikan sebagai "junjungan".  Sedangkan Panembahan, adalah orang yang dijunjung atau levelnya berada di bawah gelar sultan atau raja besar.

Nama kecil Sultan Agung adalah Raden Mas Rangsang. Dia naih tahta pada tahun 1613  dengan gelar Panembahan Hanyokrokusumo atau Prabu Pandita Hanyokrokusumo. Pada tahun 1624 setelah berhasil menakukkan Madura, sang raja mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusumo. Kemudian pada sekitar tahun 1640-an, gelarnya diganti menjadi Sultan Agung Senapati ing Alaga Abdurrahman.

Hanya satu tahun berkuasa dengan gelar terbarunya, susuhunan pertama Mataram 
mendapatkan gelar bernuansa Arab dari pemimpin Ka'bah di Makkah, yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram. Dari berbagai gelar inilah tokoh yang satu ini sering disebut dalam catatan sejarah dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Susuhunan" juga dikata "Sunan". Gelar "Sunan" juga dipakai pemimpin agama Islam dan raja Islam (di Giri Kedaton), dalam hal ini setara dengan sebutan "Sultan". Setelah Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Susuhunan merupakan gelar khusus bagi para penguasa Surakarta, sedangkan para Raja dari Yogyakarta , yang juga keturunan dari Mataram memiliki gelar Sultan.

Sebagai susuhunan pertama Mataram, Sultan Agung ingin jika dirinya wafat dimakamkan diatas bukit, sama seperti wali-wali Allah yang memiliki pengaruh spiritual. Sejak zaman Hindu Jawa, kebiasaan mengkebumikan jenazah di atas bukit telah dilakukan untuk melestarikan pengaruh spiritual. Sultan Agung ingin, dirinya dan keturunannya kelak dimakamkan diatas bukit yang tinggi. 

Sultan Agung menyerahkan pembangunan makam baru diatas bukit itu kepada pamannya, Panembahan Juminah atau Panembahan Blitar. Panembahan Juminah adalah putra ke-18 Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah, permaisuri yang berasal dari Madiun. Juminah tercatat pernah menjabat Bupati Madiun selama 13 tahun antara 1601 sampai dengan 1613 saat masih bergelar Pangeran Adipati. Setelahnya, Juminah kembali ke ibukota Mataram sebagai pejabat tinggi kerajaan hingga mendapatkan gelar Panembahan, gelar kebangsawanan yang lebih tinggi.

Makam raja di bukit yang tinggi mulai dibangun pada 1629-1630 dengan dipimpin Panembahan Juminah yang saat itu sudah berusia lanjut. Sebagai susuhunan pertama Mataram, Sultan Agung ingin agar makam yang besar ini nantinya bisa menjadi bangunan mercusuar Dinasti Mataram Islam, sekaligus bangunan untuk memulihkan kewibawaanya yang hilang akibat kegagalan serangan Mataram ke Batavia.

Kabar menyedihkan datang saat tengah berlangsung pembangunan makam tinggi di atas bukit, Panembahan Juminah meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan, atas perintah Sultan Agung, jasad bangsawan keturunan Pangeran Timur dari Madiun itu kemudian dimakamkan di makam yang tengah dibangun diatas bukit tersebut. Di kemudian hari makam tersebut dikenal dengan nama Makam Giriloyo.

Wafatnya Panembahan Juminah mengakibatkan perubahan penting dalam rencana Sultan Agung. Pertama, ia kecewa karena bukan dirinya yang pertama kali dimakamkan di tempat yang terhormat ini. Sultan juga menganggap makam yang tengah dibangun itu terlampau kecil bagi dia dan keturunannya. Beragam alasan itu kemudian mendorong Sultan Agung untuk membangun makam baru lagi yang letaknya berdekatan dengan makam Giriloyo, yaitu Imogiri. Di makam Imogiri ini, Sultan Agung menjadi orang pertama yang dimakamkan.

Pembangunan makam baru di Imogiri itu dilakukan dengan penuh perhatian. Untuk dinding makam, digunakan kayu wungle dari Palembang. Kualitasnya benar-benar sempurna, menurut keterangan hingga tahun 1917 rumah makam Sultan Agung di Imogiri masih sangat baik keadaanya.

Baca Juga : Sukseskan Pemutakhiran Data PBB-P2, Bapenda Kabupaten Madiun Gelar Sosialisasi dan Luncurkan Program Si Kampung di Kebonsari.

Lalu apa yang menyebabkan Sultan Agung memberikan penghormatan yang begitu besar untuk pamannya Panembahan Juminah? Apa pengaruhnya sehingga dia diberikan suatu keistimewaan? Kenapa Juminah tidak dimakamkan di Kotagede saja?. Di tulisan ini kita akan kembali membahas tentang siapa Panembahan Juminah, orang yang begitu istimewa.

Panembahan Juminah bernama kecil Raden Mas Bagus. Dia adalah salah satu bangsawan paling berpengaruh di Mataram di awal abad ke-16. Di masa pemerintahan Panembahan Senopati, Juminah yang saat itu bergelar Pangeran Adipati itu pernah menjabat sebagai bupati di Madiun. Seperti disampaikan di awal, Juminah menjabat bupati di Madiun antara tahun 1601 sampai dengan 1613. Gelar Panembahan diterimanya bersamaan dengan penobatan keponakannya Sultan Agung sebagai susuhunan.

Sebagai salah satu bangsawan terpandang di Mataram, Panembahan Juminah tercatat pernah ikut terlibat dalam banyak pertempuran. Catatan sejarah menyebutkan ia ikut bertempur melawan Tuban pada 1619 dan puncaknya ikut dalam dua kali serangan Mataram ke Batavia. Namun, Juminah ikut dalam serangkaian pertempuran besar ini sebagai kerabat dekat raja, bukan sebagai panglima perang yang besar dan handal.

Sebelum bergelar Panembahan, Juminah bergelar Pangeran Adipati. Ia ditunjuk oleh Panembahan Senopati sebagai Adipati Madiun setelah usianya cukup dewasa. Dialah bangsawan pertama dari Mataram yang bergelar Pangeran Blitar (Juminah). Sebelumnya, di awal Madiun jatuh ke tangan Mataram, Senopati menunjuk putra kakaknya Pangeran Mangkubumi sebagai bupati Madiun. Keponakan Senopati itu bernama Bagus Petak.

Sebelum menunjuk Juminah sebagai bupati Madiun, Senopati mengangkat keponakannya sebagai bupati di daerah yang pernah diperintah oleh permaisurinya, Retno Dumilah. Barulah setelah dewasa, Pangeran Adipati Juminah diberikan kedudukan resmi sebagai bupati di Madiun.

Panembahan Adipati Juminah dan keturunanya memerintah Madiun secara turun temurun hingga Perjanjian Giyanti 1755. HJ de Graaf berpendapat, ditunjuknya Panembahan Juminah dan keturunannya sebagai bupati Madiun secara turun temurun ada beberapa sebab. Selain keturunan penguasan Mataram, Panembahan Juminah adalah cucu dari Pangeran Timur, penguasa Madiun yang amat dicintai rakyatnya.

Ditunjuknya Juminah sebagai bupati Madiun merupakan pilihan paling tepat pada waktu itu. Sebagai keturunan asli Madiun, Juminah dirasa merupakan sosok paling tepat menjadi penghubung antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Madiun. Juminah adalah putra Senopati dan cucu dari bupati pertama Madiun Pangeran Timur.

Sebelum pecah Perjanjian Giyanti 1755, Panembahan Juminah dan keturunannya turun temurun memimpin Madiun sebagai bupati. Panembahan Juminah memiliki putra bernama Adipati Balitar (Bupati Madiun 1645-1677) sekaligus cucu dari bangsawan bernama Pangeran Balitar Tumapel (Bupati Madiun 1677-1703). Pangeran  Balitar Tumapel tidak lain adalah ayah dari Ratu Mas Blitar yang kemudian bergelar Ratu Pakubuwono, permaisuri Sunan Pakubuwono I. Ratu Mas Blitar memiliki saudara laki laki bernama Pangeran Ario Blitar yang menjabat Bupati Madiun periode 1707-1709.

Terkait gelar Blitar yang dipakai Panembahan Juminah dan keturunanya dijelaskan H.J De Graaf dalam bukunya Awal Kebangkitan Mataram. Setelah mengangkat dirinya menjadi Raja pertama Kesultanan Mataram dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, Panembahan Senopati juga memberikan gelar-gelar kebangsawanan dan kenaikan pangkat untuk anggota keluarga, saudara, putra-putranya dan patihnya. Beberapa pengangkatan itu diantaranya memakai gelar Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Juminah. Juminah yang dimaksudkan ini adalah sama dengan sebutan Blitar.

Menariknya, terkait dengan daerah Blitar yang banyak digunakan sebagai gelar Pangeran Kerajaan Mataram dan penguasa Madiun namun tidak satupun yang pernah ada yang menjabat bupati di Blitar di zaman Kesultanan Mataram, dijelaskan secara panjang lebar dan terinci oleh De Graaf. Menurut De Graaf, mengambil nama suatu daerah sama sekali tidak berarti bahwa orang itu berkuasa di daerah tersebut. Kemudian ternyata bahwa para pemegang gelar ini memerintah di daerah-daerah yang berlainan dari daerah yang namanya mereka pakai. Seperti Pangeran Blitar yang secara turun temurun menjadi bupati di Madiun, daerah asal Retno Dumilah, namun belum ditemukan satupun catatan mengenai mereka yang menjadi bupati di Blitar Jawa Timur.


Topik

Serba Serbi Yogyakarta Imogiri diy



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya