JATIMTIMES - Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar melalui Kantor Urusan Internasional (KUI) bekerjasama dengan Aliansi Keputrian Timur Tengah dan Afrika (AKTA) sukses menyelenggarakan seminar internasional dengan tema Kepemimpinan, HAM dan Kebebasan Perempuan.
Informasi yang diterima JATIMTIMES, seminar internasional dengan tema Kepemimpinan, HAM dan Kebebasan Perempuan diselenggarakan pada 29 Januari 2023. Seminar menghadirkan beberapa narasumber. Masing-masing Dr. Andiwi Meifilina, S.Sos., M.M.,M.I.Kom (KUI UNISBA - Indonesia), Haryati, S.Pd (Al-Zahra University – Iran dan Ketua AKTA tahun 2020) dan Fajriyah Nayla Salsabila (Universitas Ez-Zitouna, Tunisia dan Ketua AKTA tahun 2023).
Baca Juga : DPRD Sampang Gelar Rapat Paripurna Bahas LKPJ Bupati TA 2022.
Dr Andiwi dari KUI Unisba Blitar menyampaikan, seminar internasional yang digelar kali ini memiliki beberapa tujuan. Diantaranya meningkatkan kesadaran atau awareness tentang perempuan dalam kepemimpinan, hukum dan kebebasan perempuan. Seminar ini juga dalam rangka mendorong peran perempuan dalam pembangunan Indonesia khususnya di bidang pemerintahan, pendidikan, sosial dan politik
“Melalui seminar ini Unisba Blitar bersama AKTA berupaya meningkatkan peran dan kualitas perempuan dalam pembangunan bangsa. Serta tak kalah penting adalah peningkatan kompetensi untuk perempuan dalam kepemimpinan,” kata Andiwi.
Dalam paparannya selaku narasumber, Andiwi menyampaikan, budaya patriarki masih mendominasi nilai yang hidup di masyarakat di Indonesia. Hal ini menyebabkan pola perilaku, kebiasaan, peraturan perundang-undangan hingga sektor ekonomi, politik dan agama memiliki perspektif patriarki pula. Hal ini berdampak pada posisi perempuan yang sub-ordinat, marjinal, rentan mendapatkan kekerasan dan multi beban. Pengaturan perlindungan perempuan bersumber dari konstitusi maupun konvensi Internasional.
“Jaminan perlindungan hukum perempuan tertuang dalam konstitusi secara umum menyebutkan kedudukan yang sama antara laik-laki dan perempuan. Konteks ini tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang secara umum masih bersifat netral gender,” jelasnya.
Andiwi menambahkan, perempuan membutuhkan affirmative action untuk mengejar ketertinggalannya agar dapat sejajar dengan laki-laki. UUD 1945 juga telah mengalami perubahan yang signifikan untuk memberikan jaminan tersebut. Perlindungan hukum memiliki 2 arus baik sebagai upaya preventif maupun upaya penanganan. Jaminan keberadaan dan pemenuhan hak asasi manusia pada perempuan merupakan perlindungan hukum bersifat preventif yang harusnya eksplisit tercantum dalam UUD 1945.
“Selanjutnya peraturan perundang-undangan di bawahnya mengatur secara lex specialis. Meski ini merupakan perjalan panjang, Namun harus tetap konsisten dijadikan upaya penegakan hak asasi perempuan. Begitu pula pada perlindungan hukum sebagai langkah penanganan pada problematika penegakan hak perempuan. Secara umum, pengakuan hak asasi perempuan sebagai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan tertuang dalam Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D. Secara spesifik terdapat 11 rumpun hak yang melindungi perempuan,” imbuhnya.
Baca Juga : Dinas Damkar dan Penyelamatan Banyuwangi Pantang Menyerah di Tengah Fasilitas dan Sarpras Terbatas
Lebih lanjut Andiwi menyampaikan, dewasa ini perjuangan panjang kaum perempuan masih menghadapi banyak kendala atau kontroversi. Kendala atau kontroversi tersebut dapat berasal dari faktor eksternal maupun dari faktor internal. Begitu pula permasalahan anak sudah berada di warna kuning menjelang merah, ada LGBT, narkoba, macam-macam. Anak dijadikan aset bangsa sehingga harus ada kongres anak dan juga ada riset anak.
Dari sisi norma, perempuan menjadi pemimpin sudah sangat kuat sekali dari UUD sangat jelas disebutkan dan dari berbagai UU sudah ada peraturan yang kuat, dan saat ini sedang dibahas UU Desa dimana perempuan sangat memungkinkan untuk masuk.
“Kemudian adanya hambatan ke depan bagi Indonesia bahwa harus ada pendidikan politik yang tuntas bagi perempuan. Ada pendidikan kewarganegaraan yang baik di sekolah-sekolah, tantangan agama Islam yang bias gender (seperti ada fatwa larangan memilih perempuan) padahal secara universal, perempuan maupun laki-laki sama,” tegasnya.