JATIMTIMES - Menko Polhukam Mahfud Md mengomentari kasus Mario Dandy Satrio (20) terhadap David Ozora (17).
Mahfud menilai jika kasus tersebut tak bisa diselesaikan lewat mekanisme keadilan restoratif (restorative justice).
Baca Juga : Mahfud MD Mengaku Siap Jelaskan soal Transaksi Janggal Rp 300 T di Kemenkeu ke DPR
"Pasal yang dipakai untuk mengancam Mario itu termasuk tindak (pidana) berat, tidak bisa pakai mekanisme RJ," kata Mahfud dalam cuitan di akun Twitternya, @mohmahfudmd, Sabtu (18/3/2023).
Mahfud mengatakan tak semua tindak pidana bisa diselesaikan lewat jalur damai berkeadilan.
"Dunia hukum tahu bahwa tidak setiap tindak pidana bisa pakai Restorative Justice (RJ) loh," katanya.
Dalam kasus ini, Mario Dandy disangkakan melakukan penganiayaan berat berencana terhadap David. Mario Dandy melibatkan temannya Shane Lucas (19) dan pacarnya, AG (15).
Shane juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara AG berstatus sebagai anak berkonflik hukum alias pelaku.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta sebelumnya telah menutup opsi restorative justice dalam penyelesaian kasus penganiayaan David Ozora (17) oleh Mario Dandy (20) dan Shane Lukas (19).
Adapun tertutupnya peluang untuk Mario Dandy dan Shane itu lantaran penganiayaan yang dilakukan keduanya menyebabkan korban terluka berat.
Baca Juga : Kremlin Tolak Perintah ICC untuk Tangkap Putin
"Untuk Tersangka Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas Rotua Pangodian Lumbantoruan tertutup peluang untuk diberikan penghentian penuntutan melalui RJ karena menyebabkan akibat langsung korban sampai saat ini tidak sadar/luka berat, sehingga ancaman hukumannya lebih dari batas maksimal RJ, dan menjadikan penuntut umum untuk memberikan hukuman yang berat atas perbuatan yang sangat keji," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Ade Sofyansah melalui keterangan tertulis, Jumat (17/3).
Ade mengatakan restorative justice hanya bisa dilakukan jika ada pemberian maaf dari keluarga korban. Jika tidak ada, alternatif penyelesaian perkara tersebut tidak bisa diterapkan.
Sedangkan untuk pernyataan Kajati DKI Jakarta Reda Manthovani yang menawarkan penerapan diversi terhadap anak AG yang berkonflik dengan hukum, Ade menjelaskan hal itu semata-mata mempertimbangkan masa depan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Sebab, lanjut dia, Anak AG tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban.
Diketahui, diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
"Statement Kajati DKI Jakarta memberikan peluang untuk menawarkan memberikan diversi kepada Anak AG yang berkonflik dengan hukum semata-mata hanya mempertimbangkan masa depan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, oleh karena perbuatan yang bersangkutan tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban. Namun, apabila korban dan keluarga tidak memberikan upaya damai khusus terhadap pelaku Anak AG yang berkonflik dengan hukum, upaya restorative justice tidak akan dilakukan," tutur Ade.