JATIMTIMES - Wacana boikot Dana Desa (DD) rupanya terus menggelinding disampaikan kepala desa di Kabupaten Tulungagung. Setelah kepala desa Jarakan, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung, Suad Bagiyo, kini Kades Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru, Agus Waluya juga menyampaikan wacana yang sama.
Alasannya, niat memperbaiki desa justru dapat tersandung masalah hukum akibat aduan yang Prematur direspons Aparat Penegak Hukum.
Baca Juga : Bawa 6 Tuntutan, Ini Hasil Hearing Masyarakat Sumberagung dengan DPRD Tulungagung Terkait Jalan Rusak
Pasalnya, aduan yang belum ditelaah dan disinyalir tidak melalui mekanisme yang benar justru berpotensi sebagai upaya mencari-cari kesalahan.
"Mereka (para Kades) khawatir, jika di kelola justru akan timbul masalah di kemudian hari. Mengingat, persepsi penggunaan dana tersebut kadang berbeda antara pihak satu sama pihak lain," kata Agus Waluya.
Kepala Desa Plosokandang yang akrab disapa Jendral ini, memaparkan ada banyak Kades khawatir dalam mengelola Dana Desa untuk tahun ini.
"Kalau pengelolaan Dana Desa yang dilaksanakan kemudian dicari-cari kesalahannya pasti siapapun juga resah, apalagi taruhannya penjara, mending tidak dapat" ujarnya.
Meski demikian, Ia berupaya menggunakan Dana Desa tersebut sebaik mungkin, agar bisa bermanfaat untuk masyarakat.
"Tidak semua kepala desa dan perangkat itu mahir dalam mengelola laporan keuangan, sehingga pemikiran mereka juga berbeda beda," ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Desa Jarakan, Kecamatan Gondang, Suad Bagiyo juga menyampaikan adanya wacana yang berkembang diantara sejumlah kades jika takut mengelola Dana Desa untuk tahun ini.
"Benar, kalau memang Dana Desa yang dilaksanakan kemudian di cari-cari kesalahan, lalu pertaruhannya hukuman maka ada baiknya wacana menolak Dana Desa (DD) ini," kata Suad, Kamis (26/1/2023).
Menurut Suad, sebelum ada DD pembangunan di tiap desa sudah jalan meski tidak secepat saat ini.
"Dulu tanpa DD, kita bisa jalan. Pembangunan, apapun hasilnya juga bisa dirasakan masyarakat," ujarnya.
Namun, kemudian setelah muncul DD dan pembangunan begitu pesat justru kepala desa banyak yang menghadapi masalah hukum.
"Persoalannya, kepala desa dan perangkat ini bukan ahli mengelola keuangan seperti yang terjadi di instansi lain," imbuhnya.
Kemudian, jumlah tenaga pendamping, DPMD dan Inspektorat tidak memadai untuk melakukan tugasnya mengontrol dan mengawasi penggunaan DD di 257 desa di Kabupaten Tulungagung.
Baca Juga : Bahas Biaya Haji, Dewan Minta Kemenag Hentikan Perkataan yang Menyakitkan Calon Jemaah Haji
"Akhirnya, begitu dilaksanakan dengan tafsir dan perhitungan versi panitia di tingkat desa, kemudian di laporkan oleh lawan politik atau LSM dan di teliti oleh APH baru tiba-tiba dikatakan ada kesalahan," ungkap Suad.
Kalau kesalahan itu atas rekomendasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), maka kesalahan atau kelebihan bayar yang mungkin terjadi, justru direkomendasikan dibetulkan atau jika ada kerugian, agar mengembalikan ke kas negara.
"Nah, disini yang terjadi APIP belum turun tiba-tiba ada pemeriksaan dari pihak berwajib. Dasarnya, laporan atau aduan yang para kepala desa tidak jelas siapa dan apa motifnya," tambahnya.
Kemudian, kalau dalam pemeriksaan itu hanya di dasarkan pada obyek yang diadukan, Pemdes tidak akan banyak keberatan. Namun, kemudian tiba-tiba petugas yang memeriksa ini minta salinan tahun anggaran yang sudah berlalu yang belum diperiksa oleh inspektorat dengan alasan kekurangan auditor.
"Begitu diminta LPJ tahun sebelumnya yang mungkin sudah kelewat dua atau tiga tahun, biasanya ditemukan masalah dan sudah keluar dari substansi aduan," paparnya.
Suad berharap, pemerintah daerah meningkatkan kinerja fungsi DPMD dan APIP agar jika ada kesalahan bisa langsung di cegah atau dibenarkan agar pihak desa tidak sampai terseret hukum.
Atas dasar ini, Kepala Desa yang tidak ada niat korupsi kemudian terseret masalah hukum, akhirnya membuat wacana menolak DD dari pemerintah.
"Biar hanya Alokasi Dana Desa (ADD) saja yang digunakan untuk operasional dan memberi insentif perangkat desa yang kita kelola," terangnya.
Sebelumnya, keresahan ini disampaikan seluruh kades di Boyolangu. Menurut Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kecamatan Boyolangu, respon prematur APH disebut sebagai tindakan yang justru tidak sesuai UU Desa.